Laman

Rabu, 16 Mei 2012

Review Film Dokumenter “The New Rulers of the World”


Film The New Rulers of The World yang diterbitkan tahun 2002 merupakan karya seorang jurnalis terkemuka dunia berkebangsaan Australia yang bekerja di Inggris  bernama John Pilgers. Dalam film tersebut Pilgers beserta kru-krunya berusaha mengungkap sisi sebenarnya dari globalisasi. Dimana globalisasi yang didesain guna menguntungkan segelintir penguasa pasar dan menyengsarakan para pekerja dan menjerat masyarakat yang lain. Film ini mengambil contoh situasi kesenjangan yang terjadi di Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan kekayaan alam yang melimpah tetapi berada dalam kuasa investor asing yang mendapatkan legalitas dari pemerintah setempat.
Kandungan film ini dapat di bagi menjadi tiga poin besar, yaitu eksploitasi pekerja (buruh), kasus utang luar negeri, dan globaliasi itu sendiri. Mengenai buruh, Pilgers memaparkan kondisi buruh pabrik di Indonesia yang bekerja di perusahaan multinasional seperti Nike, Adidas, GAP, jauh dari hak-haknya sebagai pekerja, di mana mereka memperoleh upah yang rendah, jam kerja yang tidak teratur, dan kondisi tempat kerja yang mengenaskan, dipaksa untuk terus bekerja dan seakan tidak punya pilihan lain selain terus melakukan apa yang diperintahkan oleh bos-bos pabrik.
Dalam memperlihatkan adanya ketidakadilan yang diterima oleh para buruh pabrik tersebut, Pilgers memaparkan salah satu contoh dari produksi celana tinju yang di jual seharga Rp. 112.000 di toko dan dari penjualan tersebut seorang buruh hanya memperoleh upah sebanyak Rp. 500 dan penjualan sepatu olah raga seharga Rp. 1,4 juta di toko dan dari penjualan tersebut para pekerja hanya memperoleh upah sebesar Rp.5000. Hal ini memperlihatkan bahwa ada pencurian nilai lebih yang dilakukan oleh perusahaan terhedap para pekerja. Dikarenakan perusahaan tidak dapat mengambil keuntungan dari bahan baku yang nilainya habis setelah produksi, maka pihak perusahaan pun mengambil keuntungan dengan mengharuskan para pekerja bekerja melebihi jam kerja yang wajar guna memproduksi produk dengan lebih banyak dan lebih cepat, sedangkan mereka di bayar dengan nilai sangat kecil jauh dari nilai penjualan produk yang mereka hasilkan, sehingga mereka pun tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Untuk kasus utang luar negeri, Filger memaparkan bahwa utang luar negeri telah menjerat Indonesia menjadi negara penghutang (idealnya sepanjang masa) sejak rezim Soeharto dimulai. Rezim yang memiliki tanda tanya besar dalam awal pemerintahannya, di mana pemerintahan tersebut berkuasa setelah Indonesia berada dalam situasi pelanggaran HAM terbesar dengan perkiraan pembunuhan rakyat mencapai angka 5 juta orang, dan mengantarkan Soeharto ke puncak pemerintahan sebab dianggap sebagai “pahlawan” dalam mengatasi persoalan tersebut.
Peminjaman utang yang berikan oleh badan keuangan dunia yaitu IMF dan World Bank (WB) di awal kepresidenan Soeharto yang dimaksudkan untuk membangun Indonesia yang baru keluar dari situasi krisis sosial dan dijangkiti perekonomian yang ambruk, dibarengi dengan pengesahan undang undang penanaman modal asing. Undang undang tersebut menjadi pintu gerbang Indonesia sebagai lahan empuk bagi para korporasi dunia dalam melebarkan pengaruhnya, dan dalam mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia serta menjadikan Indonesia sebagai pasar stategis dengan jumlah masyarakat (konsumen) yang sangat besar.
Dari kasus tersebut terlihat adanya sistem liberalisasi perekonomian suatu negara yang dipengaruhi oleh pihak eksternal. Dan dalam menelaah hal tersebut, Pilgers melakukan wawancara langsung dengan petinggi IMF dan WB. Pilgers mempertanyakan alasan lembaga keuangan tersebut tetap memberikan pinjaman kepada rezim yang diketahui korup dan dengan mekanisme yang tidak transparan.
Dan ternyata dari kebijakan pemberian utang tersebut, WB dan negara-negara kreditor mengambil keuntungan melalui proyek-proyek yang dikerjakan oleh perusahaan multinasional dari negara-negara asal masing-masing dengan menjadikan Indonesia sebagai negara yang digadaikan dengan diadakannya pertemuan oleh para penguasa pasar global dengan membahas pembagian kekuasaan atas sektor-sektor strategis yang ada di Indonesia. Sehingga meskipun WB dan negara kreditor memberi pinjaman 100%, namun sebenarnya sebagian besar uang tersebut digunakan untuk membuka lapangan pekerja negara kreditor dan hanya sekitar separuh uang pinjaman tersebut benar-benar diperuntukkan untuk membangun Indonesia dan masyarakat miskinnya.
Persoalan Globalisasi sendiri yang telah menjadi alasan para korporasi asing untuk memberikan standar kamajuan suatu negara telah berubah menjadi hal wajib yang harus dipenuhi oleh negara tersebut. Di mana makna globalisasi yang dimaksud oleh pihak yang mengagung-agungkannya ialah berarti modal- uang besar- yang dapat dipindahkan ke mana dan kapan saja dengan mudah. Tetapi ternyata globaliasi yang didengung-dengungkan oleh Amerika dan negara kapitalis liberal bahwa akan membawa kemakmuran bagi umat manusia ternyata mengakibatkan jurang pemisah yang begitu besar antara si kaya dan si miskin, dan globaliasi pun menimbulkan hutang-hutang yang sangat menyengsarakan.
Di tahun 1998 menjadi cambukan besar  bagi sistem globalisasi, dimana setelah runtuhnya perekonomian Asia yang juga sangat berdampak besar bagi Indonesia hingga membuat masyarakat Indonesia memaksa penurunan Soeharto sebagai presiden. Masa kepresidenan Soeharto selama 3 dekade ternyata telah menyelundupkan kekayaan negara kurang lebih 10 miliar dollar dari total utang luar negeri sebesar 30 miliar dollar, dan semua nilai yang dinikmari oleh Soeharto dan kroni-kroninya, kini menjadi beban dan harus dibayar oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah masyarakat kecil, hal ini dibebankan dengan pencabutan subsidi, tingginya harga pendidikan dan kesehatan, padahal masyarakat kecil tidak pernah mendapatkan uang tersebut.
Tidak hanya di Indonesia, penentangan terhadap besarnya pengaruh globaliasi yang membawa dampak sangat besar terhadap pembentukan perekonomian yang menjadi jurang kesejahteraan masyarakat pun terjadi di beberapa negara, dan yang paling mengejutkan terjadi di Seattle, Amerika Serikat. Hal tersebut memperlihatkan bahwa persoalan globaliasi bukanlah hal kecil yang hanya memperhitungkan keuntungan pihak tertentu, tetapi dalam arus globaliasi, masyarakat harus peka terhadap dampak sosial-ekonomi yang akan ditimbulkannya, karena globalisasi ditangan yang tidak tepat menjadi penjara bagi kehidupan masyarakat luas.


NB:
  • Mau nonton filmnya, klik link dibawah ini :
  • Jangan lupa mengunjungi http://johnpilger.com/ untuk mengetahui lebih lanjut film-film Pilgers yang lainnya. enjoy it ^^

 

1 komentar: