Laman

Rabu, 09 Mei 2012

Hukum Udara



1.      Konvensi Paris 13 Oktober 1919
Konvensi Paris 13 Oktober 1919 merupakan konvensi internasional yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di Paris yang diikuti oleh 27 negara yang terdiri dari negara-negara sekutu, dan Amerika Latin. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 11 Juli 1922 dan merupakan konvensi pertama mengenai pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara.
Konvensi Paris ini dijalankan hanya dengan negara-negara yang menang Perang Dunia I dan negara yang merupakan bekas musuh hanya dapat menjadi negara pihak, itupun setelah terdaftar menjadi keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau atas keputusan 3 atau 4 negara anggota pada konvensi.[1]
Namun, pada tahun 1929 setelah direvisi dengan Protokol 15 Juli 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris benar-benar menjadi konvensi yang bersifat umum karena sejak berlakunya Protokol tersebut tahun 1933, terdapat 53 negara telah menjadi pihak.


a.       Rejim Udara
Menurut pasal 1 konvensi, kedaulatan penuh dan ekslusif negara-negara anggota terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Kedaulatan ini terbatas oleh batas-batas wilayah negara tersebut, yaitu di mana suatu negara mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayah negaranya saja, dan kedaulatan ini tidak berlaku di wilayah luar negara tersebut. Sehingga, suatu negara hanya dapat melaksanakan kedaulatannya secara penuh hanya dalam wilayahnya. JG Starke mengungkapkan munculnya konsep teritorial menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan negara terhadap orang-orang dan harta benda yang mengenyampingkan negara-negara lain.[2]
Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu yang terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas permukaan tanah tersebut, laut dan udara. Selain itu, pada pasal 2 konvensi, setiap negara memperbolehkan untuk memutuskan hak lintas pesawat udara negara lain melintas di atas wilayahnya sesuai syarat-syarat yang dimuat dalam konvensi dan setiap negara boleh membatasi perlintasan di atas wilayahnya dengan alasan militer atau kepentingan keamanan publik. Dan pada pasal 3 konvensi mengizinkan pada setiap negara untuk melarang penerbangan pesawat-pesawat asing ataupun nasional di zona-zona tertentu di wilayahnya.
Konvensi Paris 1919 juga membentuk Komisi Internasional yaitu suatu organisasi untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi.[3]

b.      Rejim Pesawat Udara
Menurut konvensi Paris 1919, sistem setiap pesawat udara agar mendapatkan izin penerbangan harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Sistem ini sesuai dengan logika konvensi yang didasarkan atas prinsip kedaulatan negara yang menyelenggarakan lalu lintas udara internasional atas dasar konvensional.

c.       Perkembangan Konvensi Paris 1919
Banyak terjadi perubahan terhadap konvensi ini, dimulai dengan Protokol Tambahan tanggal 1 Mei 1920, kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, dan berakhir dengan Protokol 15 Juni 1929. Selain itu, Jerman juga mengajukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada yang dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal 10-15 Juni 1929.[4]

2.      Konvensi Chicago 1944
Konvensi Chicago merupakan konvensi yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional. Konvensi ini merupakan revisi dari konvensi Paris 1919, karena disebutkan kebebasan navigasi udara dalam Konvensi Paris merupakan hasil konsensi internasional yang diberikan kepada negara-negara penandatanganan konvensi. Konvensi Chicago ini diadakan di Chicago atas undangan Amerika Serikat dan dihadiri oleh 53 negara (tanpa Uni Soviet) pada tanggal 1 November-7 Desember 1944. Konvensi ini mulai berlaku tanggal 7 April 1947.
Pada pasal 9 konvensi Chicago 1944 mengatur tentang area terlarang, yang merupakan modifikasi dari Konvensi Paris. Yang termasuk dalam area terlarang ini yaitu tidak ada lagi perbedaan pesawat yang diperbolehkan memasuki zona larangan terbang dan negara yang memiliki kedaulatan lah yang memerintahkan pesawat yang melanggar zona untuk mendarat dan diperiksa. Hal ini sangat berbeda dengan konvensi Paris yang menyebutkan bahwa pesawat yang melanggar zona larangan diwajibkan untuk segera mendarat di lapangan udara terdekat di luar zona.[5]
Selain itu, konvensi Chicago diilhami oleh proyek Amerika Serikat yang menyarankan pengakuan terhadap lima kebebasan udara, seperti berikut :
1.      Dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai (innocent passage) dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan bakar dan reparasi/perbaikan (technical stop)
2.      Tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial, yaitu (a) hak untul menurunkan di semua negara pihak para penumpang dan barang dagangan yang dimuat di wilayah negara pihak yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan dari negara tersebut, (b) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan negara tersebut, (c) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua wilayah negara pihak dan menurunkannya di wilayah negara-negara pihak lainnya.
Ciri-ciri yang mendasari rejim Chicago ini adalah pemisahan kelima kebebasan tersebut. Bila kedua kebebasan dasar di atas diberikan de plano kepada semua pesawat udara sipil negara pihak tanpa otorisasi khusus dan hanya atas dasar ketentuan konvensi. Ketiga kebebasan komersial hanya diterima untuk pesawat-pesawat udara pengangkut yang melakukan pelayanan udara internasiona yang teratur atas dasar konvensi tambahan yang biasanya dinamakan traffic convention.[6]
·         Pembentukan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO)
Suatu organisasi dengan nama International Civil Aviation Organization (ICAO) merupakan suatu organisasi teknik yang didirikan oleh Konvensi Chicago dan merupakan sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional ini bertujuan untuk mengembangkan teknik dan prinsip-prinsip navigasi internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman.

B.     Status Yuridik Ruang Udara

1.      Wilayah Udara Nasional
Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan.
Hal ini juga dinyatakan oleh pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 Konvensi PBB tentang hukum laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperolehkan secara bebas lintas terbang di atas wilayah negara yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu negara.
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamatan atas pesawat-pesawat udara merupakan aspek sangat penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh negara-negara. Demikianlah untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional di bidang kerja sama pengawasan atau pun keamanan.

2.      Lingkup Ruang ( Delimitasi ) Ruang Angkasa
Ruang merupakan dasar untuk menentukan suatu sistem hukum. Sehubungan dengan ini ruang angkasa merupakan jenis ruang yang baru dikenal dan yang paling menonjol ialah luas yang pada kenyataannya melampaui segala ukuran yang ada di dalam suatu kerangka hukum dan hubungan fisiknya dengan bumi kita.
Teori delimitasi ini lahir untuk memperkuat argumentasi klaim batas kedaulatan sebuah negara atas ruang udara sesuai dengan prinsip-prinsip hukum udara internasional. Namun teori ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui batas ketinggian jelajah pesawat udara komersial. Sehingga apabila terjadi kecelakaan pesawat udara dapat dipakai sebagai dasar argumentasi yuridisnya. Permasalahan mengenai sampai sejauh mana suatu negara berdaulat atas ruang udara diatas wilayahnya mulai muncul sejak Perang Dunia I, namun pasca Perang Dunia II persoalan justru mengarah ke arah yang lebih jauh , yakni ruang angkasa (outer space).
Dalam hukum ruang angkasa berlaku prinsip kebebasan yang tercantum dalam outer space treaty 1967 . Traktat Ruang Angkasa 1967 ini disahkan sepuluh tahun setelah Uni Soviet mengorbitkan Sputnik I. Prinsip kebebasan dalam outer space treaty 1967 itu terangkum dalam kalimat: “ Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lain, bebas untuk dieksplorasi dan pemanfaatan oleh setiap negara dan ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya itu tidak dapat dimiliki oleh negara-negara manapun juga, dengan alasan pemakaian atau pendudukan atau dengan cara apapun”. Hal ini berarti bahwa ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya bebas untuk dimanfaatkan. Akan tetapi, kepemilikan atas ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya tidak dibenarkan.
Hukum udara internasional mengenal beberapa teori delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Antara lain Schater Air Space Theory diperkenalkan oleh Oscar Scahater. Jenks Free Space Theory (teori ruang angkasa bebas) diperkenalkan oleh C Wilfred Jenks, Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan Cooper’s Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb Cooper.
Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan tentang delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Mereka memberikan warna tersendiri dan pemahaman yang mendalam serta teliti. Pendapat mereka dijadikan sebagai doktrin (pendapat para ahli hukum) sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional yang dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para hakim dalam memutus sebuah perkara hukum.
Namun ada juga beberapa teori yang dilahirkan dari organisasi internasional, perjanjian internasional, cara bekerja sebuah pesawat angkasa, cara bekerja transmisi gelombang radio, dan teori orbit satelit, antara lain:
1.      Teori ICAO (International Civil Aviation Organization). Teori ini berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap annex-nya yang menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai batas maksimum yang dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan pesawat udara sebagai setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can derive support in the atmosphere from the reaction of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan secara jelas dan pasti batas ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang udaranya. Dapat dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30 mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.

2.      Teori Transmisi Radio. Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar melalui perantaraan konduktor atmosfir udara dan dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi, di mana ketinggian berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan bumi.

3.      Teori Outer Space Treaty 1967. Teori ini memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah orbit suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan batas ketinggian minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.

4.      Teori GSO (Geo Stationary Orbit). Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong” di mana negaranya dilalui garis khatulistiwa termasuk Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin yang ketinggiannya berkisar 36.000 km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan negara-negara equator (khatulistiwa) untuk memperoleh preferential rights atas GSO (Ida Bagus Rahmadi Supancana, E Saefullah Wiradipradja, Mieke Komar Kantaatmadja, 1988). Ide ini diusulkan pada sidang ke-22 sub-komite hukum UNCOPOUS (United Nations Committee of Peacefull of Outer Space) untuk memperkuat argumentasi yuridis atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negara-negara khatulistiwa.

5.      Teori Pesawat Lockheed U-2 Milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang berkisar 78.000 kaki. Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR. Sehingga menimbulkan perang argumentasi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika karena pesawat udaranya telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah ruang angkasa yang bebas dari klaim kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR berpegang pada Air Code Soviet yang berbunyi “The Complete and exclusive sovereignity over the airspace of USSR shall be long to the USSR. Air space of USSR shall be deemed to be the air space above the land and water territory of the USSR including the space above territorial waters as determined by laws of USSR and by international treaties”.

6.      Teori Space Shuttle atau teori Orbiter. Dilahirkan dari argumentasi yuridis masalah status hukum pesawat ulang-alik yang banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum udara. Beberapa ilmuan hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum ruang angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum udara internasional. Karena sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah, kadang sifatnya sebagai pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono, 1987). Untuk memperkuat argumen yuridis terhadap teori ini berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang angkasa dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan misinya, yaitu : meluncur ke ruang angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching (peluncuran), tahap orbital (penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke bumi memasuki atmosfir). Turunnya pesawat dengan gaya aerodinamis menggunakan reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori tersebut adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar disusul dua roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari permukaan bumi.

C.   Rejim Yuridik Navigasi Udara
1.      Pengertian Hukum Pesawat Udara
Definisi yuridik pesawat udara tidak memperhitungkan fungsinya sebagai pesawat yang mempunyai tujuan transportasi komersial atau non komersial, barang dagangan atau surat-surat. Penekanan hanya diberikan pada lingkungan di mana dia bergerak. Konvensi Chicago dan juga Konvensi Paris hanya memperhitungkan unsur resistensi udara dan mendefinisikannya sebagai yang dapat menggerakkan benda di udara berkat reaksi udara (Annex II, Bab 1 Konvensi).
2.      Perbedaan Antara Pesawat Publik dan Pesawat Sipil
Status pesawat udara tergantung dari sifatnya apakah publik atau sipil, pesawat tersebut dibedakan karena fungsinya dan bukan kualitas pemiliknya. Sesuai pasal 3 Konvensi Chicago dan sebelumnya Konvensi Paris pesawat udara publik adalah yang digunakan untuk dinas militer.
3.      Kebebasan Udara
Hanya di ruang udara internasional terdapat kebebasan udara yang dinikmati oleh semua jenis pesawat-pesawat udara. Di ruang udara yang membawahi wilayah-wilayah negara hanya ada kebebasan yang dimanfaatkan dalam kerangka kedaulatan negara yang berada dibawahnya.
Berikut beberapa hal yang dibedakan dalam kategori pesawat udara :[7]
a.       Pesawat-pesawat udara sipil yang tidak melakukan pelayanan pengangkutan komersial yang terdiri dari orang-orang, barang dagangan atau surat-surat menikmati hak lintas yang dilaksanakan dalam dua bentuk kebebasan yaitu kebebasan transit tanpa mendarat dan kebebasan untuk mendarat dengan tujuan non komersial.
b.      Pesawat-pesawat udara yang melakukan pelayanan pengangkutan komersial yang tidak reguler juga menikmati kedua kebebasan tersebut diatas.
c.       Pesawat-pesawat udara yang melakukan pelayanan pengangkutan komersial reguler, sepanjang menyangkut kebebasan, diatur oleh kedua perjanjian Chicago lainnya yaitu yang berkenaan dengan transit dan pengangkutan udara internasional.
d.      Pesawat-pesawat yang melakukan cabotage ialah pelayanan komersial oleh penerbangan intern dari suatu tempat ke tempat yang lain dari wilayah negara yang sama dan yang secara prinsip harus mempunyai kebangsaan dari negara tersebut.
e.       Pesawat-pesawat publik tidak dapat de pleno menikmati satu pun dari kedua kebebasan klasik mengenai hak lintas damai.


[1] Boer Mauna., Hukum Internasional, Penerbit Alumni : Bandung, 2000, hal. 381.
[2] JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. hal 210. 
[3] Opcit., hal. 382
[4] Ibid., hal. 383
[6] Opcit., hal. 385
[7] Nguyen Quoc Dinh, Patrick Daillier, Alain Pellet. 1157-1158

2 komentar:

  1. kita juga punya nih jurnal mengenai Udara silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2821/1/53.pdf

    BalasHapus