Laman

Che Guevara dan Fidel Castro

Hasta La Victoria Siempre.

Campur aduk

Bukan apa yang mereka cari, tapi apa yang mereka yakini.

Nelayan

BAHU MEMBAHU DEMI KEHIDUPAN YANG LEBIH INDAH.

Gunungan

Wujud syukur atas rezeki yang dilimpahkan Allah.

Bakul Telur

Peluh untuk sesuap nasi membuat ibu ini terus semangat menjajahkan jualannya.

Senin, 23 Desember 2013

Kalian Istimewa, Kalian Keluarga Baru Kami

TIM KKN UMY 2013 Bersama Keluarga Besar Panti Islam Yayasan Ibadah Bunda (PAIYIB)

PROLOG
“Akh? KKN??? Kok bisa??? Ya gak adil donk. Anak HI kan jatahnya magang. Kok ada KKN? Apa relevansinya dengan ilmu kita??? Mau diajarin politik tuh tempat kita KKN???”

Ini lah kesemrawutan yang terjadi di kalangan mahasiswa HI UMY angkatan 2010 yang telah memasuki semester 6, semester terakhir mereka mengambil teori.  Ancang-ancang pun untuk segera memilih institusi untuk praktek kerja atau magang telah dilakukan, tetapi setelah adanya informasi perubahan regulasi ke KKN, mahasiswa HI jadi ribut, suara-suara ketidaksetujuan semakin keras terdengar.
Banyak kawan yang merasa perubahan kebijakan ini tidak tepat atas implementasi ilmu yg diperoleh di kelas. Selain itu, HI adalah jurusan yang selama beberapa tahun belakang tidak memiliki kebijakan KKN. Aspirasi pun terus disampaikan ke pihak jurusan, dan akhirnya setitik cahaya mulai menampakkan diri. Jajak pendapat di buka. Tetapi harapan tinggal harapan. Regulasi KKN tetap saja disetujui dengan tawaran keringanan bahwa mahasiswa HI UMY 2010 dapat membuat tema dan mencari lokasi yang sesuai dengan tema tersebut.
Pencarian anggota tim dimulai, hingga terkumpul lah Jey, Tari, Syasya, Wulan, Tety, Irwan, Bambang, Fahri, Helmi, dan Afif. Sebuah kolaborasi yang terbilang unik. Dari yang paling “kafir” hingga yang paling “suci” ada, dari yang paling “liberal” hingga “sosialis” yang mengarah “komunis” berbaur jadi satu.
Perekrutan diperluas. Ya, anak HI butuh anak jurusan lain.
Suatu hari yang juga mendung salah seorang anak Jurusan Komunikasi tiba-tiba saja megirimkan pesan singkat yang menyatakan kesediaannya. Dia adalah Youmi. Janji untuk berjumpa pun dibuat dan Café Rumah Bamboo menjadi saksi bisu pertemuan tim HI dengan dara keturunan Bali tersebut. Radita yang biasa disapa Rara, anak asli Tangerang pun ikut bergabung. Sudah 12 orang dan masih terasa ada yang kurang. Kekosongan itu terisi ketika 4 wanita cantik Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UMY ikut bergabung. Panggil mereka Arin, Novi, Tami, dan A’yun.
16 anak manusia telah terpilih. Ini lah awal kami, tim KKN UMY 2013 melangkahkan kaki menuju Panti Asuhan Islam Yayasan Ibadah Bunda (PAIYIB), lokasi yang tidak sebatas gedung putih bertamankan bunga-bunga indah, tetapi PAIYIB  kedepannya menjadi rumah kedua kami.

PAGI ITU
Mari kita awali kisah sederhana ini di Pagi itu. Pagi yang kala mentari menyapa dengan malu, awan putih mendominasi langit biru, hingga hati bertanya-tanya, akan kah hujan turun pagi itu? Kami tentu berharap tidak. Karena pagi itu kami akan memulai sebuah kisah baru. Berjumpa dengan kawan-kawan di PAIYIB. Kawan-kawan yang sebulan kedepan akan menjadi bagian terpenting kami. Hari itu hari Rabu, tanggal 8 Mei 2013.
Terbayang dalam ekspektasi kami bahwa proses KKN ini akan sangat sederhana. Selain lokasi KKN yg di tengah kota dan jadwal yg dapat disesuaikan dengan waktu kuliah, kawan-kawan panti pun sudah cukup usia untuk memahami dinamika sosial yg ada, sehingga kami merasa hal-hal tersebut akan sangat membantu. Tetapi ternyata betul kata orang tua kita, manusia tidak hanya terdiri dari warna merah atau biru saja, setiap orang ada warnanya, yg tidak dapat disamakan dengan warna-warna yang lain.
Tidak hanya warna para anggota tim KKN yang sangat beragam dan berusaha ingin dileburkan dalam 1 paham, tetapi selalu saja benturan-benturan menghadang. Entah itu miss informasi, entah itu ketidak beresan penjalanan kewajiban, atau pun dalam hal remeh temeh, seperti cinta lokasi (haha hal terakhir itu masih praduga saja). Tetapi ini lah kami. Kami sekali lagi bukan merah atau biru saja. Kami rainbow. Selalu hadir ketika hujan mulai redah, selalu ada untuk membuat hari kelabu menuju cahaya.
Hal tersebut kami pun rasakan ketika berintraksi dengan kawan-kawan panti. Mereka penuh warna yang indah dan bersinar terang. Dari yang paling kalem, hingga yang paling semangat sangat mudah dijumpai di antara mereka.
Susah, sedih, kesal hingga amarah membuncah, rasa kecewa dan prustasi pun tidak lupa untuk menghampiri perjalanan KKN ini.  Tapi ini lah proses. Tahap pembelajaran bagi kami untuk memahami sesama anggota tim, memahami kawan-kawan panti, serta kelompok kecil masyarakat yang ada.
Pagi hari kami jalani dengan piket hingga sore, pagi terlalu panjang dan kita habiskan di ruang tamu mungil sambil bersender pada sofa cokelat yang busanya kini mungkin telah mulai mengempes karena terus diduduki oleh Wulan. Hahaha
Sore menyapa, jam dinding menunjuk ke angka 4. Kami berpindah ke aula berukuran 4x3 di lantai dua, ruangan yang menyimpan banyak memori. Walau di atas rak buku terdapat tulisan besar bukti peninggalan kampus lain, tetapi kami cuek saja, kami bilang dalam hati, It’s time for us, yg lalu biarkan berlalu, tidak peduli apakah akan ada pembanding-bandingan dengan yang telah usai, tapi ini lah kami.

MALAM ITU
Mentari mulai lelah dan senja mengintip di ufuk barat. Sebentar lagi malam tiba. Walau kami hanya mengabiskan waktu di malam hari kurang dari seperdua dari waktu di pagi hari, tetapi malam lah yang mengumpulkan kawan-kawan panti bersama kami. Malam dan langit hitamnya pula lah yang semakin mendekatkan kami kepada mereka.
Teringat kala malam-malam yang akan kami lalui di panti semakin sedikit, malam-malam itu pun semakin sepi. Canda tawa, keriuhan, ejekan, dan tanggapan-tanggapan kritis yang sering terdengar di malam-malam sebelumnya, menjadi tak semeriah biasanya. Hanya ada 2-3 kawan-kawan  panti yang menemani materi malam itu.
Harap-harap cemas bahwa malam-malam kami akan ditutup tanpa kehadiran mereka, seakan menjadi momok yang menakutkan (lebay haha). Tetapi benar adanya, semangat membuncah untuk berbagi ilmu di malam-malam itu terkikis waktu dan kewajiban lain. Segala upaya kami lakukan, dari mengirimkan pesan singkat untuk hadir ke kelas, atau pun menjemput kawan-kawan putri dari rumah mereka, tetapi kami pun tidak dapat memaksakannya, karena dari awal sudah ada kesepakatan tidak tertulis yang kita pegang.
Malam-malam itu menjadi murung, tetapi malam terlalu panjang untuk diratapi. 2-3 kawan-kawan panti yang hadir, kami jadikan suntikan semangat yang sangat berarti.
Akhirnya malam terakhir pun menjumpai kami. Malam di hari Senin, tanggal 10 Juni 2013 menjadi malam terakhir kami. Malam yang sebenarnya tidak ingin kami temui. Seperti prosesi penyerahan yang sebulan yang lalu kami agendakan di pagi itu, prosesi sederhana penarikan tim KKN pun kami laksanakan juga.
Berbeda dengan prosesi penyerahan tim KKN, pada prosesi penarikan Alhamdulillah tidak ada lagi kesalahan pemanggilan “Mas” oleh MC kepada Bapak Zahrul Anam selaku dosen pembimbing lapangan. hahaha Tidak lupa sebuah lagu dari Ipang berjudulkan Sahabat Kecil menjadi curahan hati yang malu-malu kami utarakan. Kami sepakati tidak ada air mata di malam itu, yang ada adalah senyum bahagia, karena malam itu menjadi awal baru kami untuk selanjutnya berkenalan dengan kawan-kawan panti tanpa harus dibebani tugas dari almamater kami.
Ya, Malam itu pun telah terlalui. Malam itu kini menjadi memori yang diam-diam kami tertawakan bersama. Kami pun ingin mengaku kepada malam, bahwa kami akhirnya berucap syukur atas adanya aturan baru KKN ini. Aturan yang akhirnya memberikan kami kenangan-kenangan tersebut. Terima kasih malam, eh terima kasih juga pagi, jangan kapok untuk kami ajak main lagi.

Tambahan:
Terima kasih kami ucapkan kepada Allah SWT karena telah mempertemukan kami dengan keluarga besar Panti Asuhan Islam Yayasan Ibadah Bunda (PAIYIB) yang memberikan sambutan hangat kepada kami dan atas pengajaran yang telah dibagi bersama. Terima kasih kepada Ibu Anti dan Bapak. Kepada Mbak Nia, kepada Ibu Siti dan Ibu (satunya lagi aku lupa namanya), serta kepada kawan-kawan panti. (Kepada Oki, Faiz, Rifan, Riswan, Rafi, Wisnu, Cahyana, Indro, Deny, Eko, Dimas, Nico, Arman “Cmet”, Arif, Bagus, Ega, Mas Gangsar, Mas Ranto, Siti, Eka, Nurul, Devara, Putri, Dewi, Mbak Dea, Retno, Reza, dan Fafa). Kalian Istimewa, Kalian Keluarga Baru Kami.

NB: Tulisan ini dibuat dalam rangka ucapan terima kasih atas penerimaan PAIYIB sebagai lokasi KKN kami, serta interaksi yg hangat bersama kawan-kawan tim KKN sangatlah penuh kenangan... ^_^

Jumat, 26 April 2013

Merangkai Emas Di Dusun Karang Rejek

 Jika biasanya orang-orang mengidentikkan Yogyakarta (Jogja) sebagai kota gudeg atau kota bakpia, serta penghasil perak yang mengangkat Kecamatan Kota Gede sebagai ikonnya, maka kini Jogja dapat dikatakan menjadi salah satu penghasil “emas” di Jawa, bahkan di Indonesia menyaingi Pertambangan Freeport di Papua. Tepatnya di Dusun Karang Rejek, Kecamatan Imogiri, Bantul DI Yogyakarta. Masyarakat khususnya ibu-ibu didampingi 5 mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memanfaatkan kepompong ulat sutra emas liar menjadi pernak-pernik bernilai ekonomis.

Awal pemanfaatan kepompong ulat sutra emas liar yang masyarakat sekitar sebut dengan nama kokon adalah karena banyaknya pertumbuhan ulat tersebut. Dibarengi dengan dorongan pengabdian dan kreatifitas yang muncul dari kelompok mahasiswa yang terdiri dari Rahmi Dewi Aryani (Dewi), Endang Jum’ati (endang), Sony Novrizal (Sony), Said Hamzali (Said), dan Ricky maulana (Ricky).

Melihat potensi besar yang dimiliki wilayah Karang Rejek yang dulunya dikenal sebagai desa pengemis, Dewi bersama kawan-kawan mendekati warga dan menawarkan tenaga mereka untuk mendampingi dalam mengolah kokon ulat sutra emas liar tersebut. Beberapa upaya dilakukan demi mengembangkan potensi itu, salah satunya dengan mengajukan ide pengolahan kokon ulat sutra emas liar ke ajang kompetisi Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM), dan ternyata dapat lolos, sehingga dana dari PKM digunakan sebagai modal awal.

 Dengan menggandeng beberapa dinas pemerintah terkait, seperti Dinas Sosial DIY (Dinsos), dan Dinas Pendidikan, Pemuda, Dan Olahraga Provinsi DIY (Dikpora), dilaksanakanlah pelatihan usaha dan suntikan motivasi kepada masyarakat, yang diberi nama Pelatihan Kreatifitas Kokon Ulat Sutera Emas Liar, dari pelatihan tersebut pun kelompok mahasiswa ini semakin memperlihatkan tekat mereka demi membantu dalam penciptaan masyarakat mandiri.

“Pelatihan telah 4 kali dilaksanakan sejak tanggal 25 Maret, tetapi PKM sendiri sudah dari Bulan Oktober tahun kemarin (tahun 2012)”. Ungkap Sony.

Walau pun sebenarnya, kokon tersebut telah diolah oleh salah satu perusahaan menjadi benang sutra sebagai komoditi ekspor dengan harga yang tinggi. Dan dalam bentuk olahan akhir, baik itu berupa baju atau kain, hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan berpunya. Maka dari pemikiran untuk lebih merakyatkan kekayaan alam tersebut, pengolahan kokon pun dibuat menjadi pernak-pernik seperti bros, gantungan kunci, dan gantungan hand phone (hp) dengan berbagai ukuran dan variasi bentuk yang dapat dipasarkan dengan harga yang lebih terjangkau.

”Sutra emas kan milik Indonesia, maka alangkah baiknya jika setiap elemen masyarakat dapat menikmatinya”. Papar Dewi.

Pelatihan yang diberikan kepada masyarakat pun tidak hanya dengan megajarkan bagaimana merangkai kokon menjadi pernak-pernik, melainkan masyarakat juga diberitahukan tentang proses awal yang dimulai dengan pemilahan jenis kokon, pewarnaan, perangkaian, hingga pengemasan.

“4 kali pelatihan ini, ibu-ibu sudah mulai dapat membuat bentuk kreasi mereka sendiri. Awalnya cuman bunga, tapi kemudian mereka buat macam-macam bentuk, ada kupu-kupu, anggur, bahkan juga pastel. Pelatihan selanjutnya tentang pengemasan biar terlihat lebih cantik”. Tambah Dewi.

Sambutan terbuka yang diberikan masyarakat semakin mendorong para mahasiswa untuk dapat lebih berkarya, disamping masih dijejali dengan kesibukan perkuliahan. Sekaligus demi menjalankan tri darma kampus yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Mereka tetap meluangkan waktu untuk memperoleh pengalaman dan pegetahuan yang dapat diimplementasikan langsung ke masyarakat. Peran para mahasiswa tidak hanya sebagai fasilitator pelatihan tetapi juga membantu masyarakat dalam proses periklanan hingga pemasaran.

Apresiasi yang tinggi diutarakan masyarakat Karang Rejek atas upaya yang dilakukan para mahasiswa. Ibu-ibu peserta pelatihan yang datang membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil, menilai agenda pelatihan sebagai kegiatan yang sangat bermanfaat.

“Biasanya kan sebelum ada pelatihan, ibu-ibu hanya di rumah, momong anak atau nonton sinetron. Setelah adanya pelatihan, ibu-ibu pun yang sebagian besar masih berusia muda dapat memperkaya keterampilannya, sekaligus menambah pemasukan”. Ungkap Ibu Yanti salah satu peserta pelatihan.

Harapan dari agenda tersebut pun, baik para mahasiswa dan masyarakat menginginkan agar dapat terus ada keberlanjutan. Walau sampai sekarang kendala terbesar adalah bahwa sumber bahan baku yaitu kokon ulat sutra emas liar sangat dipengaruhi musim dan belum dapat dibudidaya, sehingga akan ada kemungkinan, masa di mana akan sulit memperoleh kokon ulat sutra emas liar. Maka hal tersebut merupakan PR yang semoga cepat menemukan jawabannya. 
 
telah dimuat di SWAKA KR (edisi 9 April 1013)

Rabu, 03 April 2013

Kebijakan Jepang Terhadap Persoalan Lingkungan Hidup


 
Sumber Gambar: http://phys.org/news/2011-12-tokyo-fukushima-greenpeace.html


A.     Konsistensi Jepang dalam Menjalankan Kebijakan Lingkunan Hidup
Pemerintah Jepang tidak mau terburu-buru mengikuti trend lingkungan yang berlaku dan tidak begitu saja menyetujui kesepakatan internasional sebelum mengetahui kesiapan industri dan masyarakat Jepang. Namun bukan berarti pemerintah Jepang menentang kesepakatan internasional, tetapi lebih pada upaya mengkaji sisi positif dan negatif yang ada agar dapat diambil keuntungan dari isu internasional tersebut. Misalnya saja isu pemanasan global, pemerintah Jepang tidak langsung menerima kesepakatan pengurangan emisi CO2 karena ingin mengetahui faktor apa yang paling besar mempengaruhi pembuangan CO2. Dari fakor tersebut, pemerintah Jepang membuat alternative pengurangan CO2. Di Jepang, industri (44,6%), rumah tangga (36,7%) dan transportasi (18,1%) adalah penghasil CO2 terbesar. Industri ditekan agar lebih efisien guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, promosi penggunaan barang daur ulang di rumah tangga gencar dilakukan, dan pemerintah mendukung penuh proyek pembuatan mobil hybrid untuk mengurangi pengeluaran CO2.[1]
Masyarakat Jepang terkenal dengan komitmen dan konsistensinya karena itu apabila palu telah diketuk, maka tidak ada proses tawar-menawar hukum. Apabila pemerintah Jepang telah menyepakati suatu perjanjian dan dituangkan dalam bentuk peraturan, maka seluruh pihak dengan sendirinya akan mematuhi peraturan tersebut. Hal tersebut sempat juga disinggung oleh Mr. Tetsuro Fujitsuka, kebijakan lingkungan di Jepang jauh lebih lunak dari di Indonesia namun di Jepang tidak ada tawar menawar dalam implementasinya.[2] Di Indonesia walaupun peraturannya lebih ketat daripada di Jepang namun beberapa contoh kasus menunjukkan implementasinya jauh dari harapan, misalnya kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, AMDAL-nya tidak untuk perusahaan pengeboran gas tetapi izin tetap saja keluar, atau pembangunan pantai indah kapuk, AMDAL-nya sangat bermasalah namun pembangunan terus saja berjalan tanpa ada hambatan.
Untuk mewujudkan suatu kebijakan lingkungan, pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan tidak hanya menjadi motor penggerak tetapi juga contoh teladan. Misalnya dalam hal penggunaan kertas daur ulang, kertas tisu, dan mobil hybrid, Kementrian Lingkungan menjadi perintisnya. Begitu juga dengan kampanye penggunaan kertas bolak-balik, Kementrian Lingkungan yang pertama sekali melakukannya. Dalam penggunaan seragam kerja, karpet, selimut, sarung tangan karyawan PNS, pemerintah mengusahakan bahan dari bahan daur ulang.
Kebijakan yang akan dibuat tidak hanya milik elit pemerintahan, intelektual, atau usahawan tetapi juga mengikutsertakan seluruh stakeholder terkait. Misalnya dalam kampanye eco-produk, seluruh perusahaan manufaktur harus menyediakan informasi lingkungan dalam produk mereka, pemerintah memberikan ekolabel pada produk-produk yang telah memenuhi standar internasional, dan masyarakat diminta untuk membeli eko produk ketika berbelanja.[3]
Pemerintah mendukung penuh penggunaan kertas daur ulang. Industri kertas daur ulang didukung penuh oleh permodalan, teknologi dan pemasaran. Seluruh Bank diharuskan memberikan kemudahan permodalan bagi industri kertas daur ulang, pemerintah memberikan keringanan pajak, lembaga penelitian pemerintah mendukung dengan teknologi terbaru, dan pemerintah menyediakan diri menjadi pasar pertama industri kertas daur ulang. Semua usaha tersebut untuk menjadikan industri kertas daur ulang menjadi industri besar bahkan dapat mengekspor hasilnya ke luar negeri.
Realisasi pelaksanaan kebijakan melebihi target yang dicanangkan. Target yang ditetapkan bukanlah target minimalis, namun setiap diri orang Jepang selalu melihat sebuah target sebagai perolehan minimalis yang harus dicapai sedangkan kelebihan dari targetlah yang disebut prestasi. Karena itu orang Jepang yang selalu diberikan motivasi untuk berprestasi selalu bekerja untuk meraih prestasi bukan target. Misalnya saja pencapaian target pengurangan penggunaan kertas (109,4%), pengurangan konsumsi energi bahan bakar fosil (151,9%), pengurangan sampah atau limbah di kantor pemerintah (143,2%) melebihi dari yang target dicanangkan.[4]
Pemerintah giat mensosialisasikan program lingkungan ke masyarakat. Masyarakat dihimbau agar membeli produk yang mudah didaur ulang, hemat menggunakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan seperti bahan bakar fosil maupun terbaharukan seperti kertas. Pemakaian kertas bolak-bolik juga dilakukan disekolah, kantor-kantor swasta, dsbnya. Penggunaan listrik, air dan energi lainnya berkurang hingga 90% selama 5 tahun dari tahun 1995 hingga 2000. Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding naik kendaraan pribadi, dengan catatan kendaraan umum nyaman, aman dan cepat sampai ke tujuan.
Masyarakat mengikuti program lingkungan dimulai dari yang sederhana. Slogan “Think Globally Act Locally” terpatri pada sebagian besar masyarakat Jepang. Menurut penjelasan Dr. Tetsuro Fujitsuka, masyarakat Jepang sudah sadar lingkungan sehingga dalam pemilihan produk lebih senang membeli produk yang sudah mencantumkan ekolabel atau informasi lingkungan pada kemasannya. Dan tambahan lagi angka pengurangan limbah di masyarakat Jepang menurun hingga 70% selama 5 tahun, hal tersebut berarti berkurang 14%/tahun.[5]
Pemerintah memberi anggaran yang memadai pada kementrian lingkungan, walaupun tidak disebutkan berapa spesifiknya namun sebagai gambaran anggaran Kementrian Lingkungan nomor 2 tertinggi di antara departemen lainnya. Dr. Tetsuro mengatakan anggaran untuk Kementrian Lingkungan bukan cost tapi investasi jangka panjang, karena yang namanya anggaran pertumbuhan ekonomi, dan berbagai angka lainnya bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Apabila lingkungan tercemar otomatis masyarakat tidak sejahtera sehingga tujuan dari aktifitas ekonomi, sosial dan politik menjadi sia-sia belaka.

B.     Dinamika Jepang dalam memandang Kebijakan Lingkungan Hidup
Dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan hidup dipengaruhi 2 faktor internal mau pun eksternal. Peran politik domestik, NGO lingkungan, kelompok epistemik serta sektor industri memberi dinamika dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan, NGO lingkungan di Jepang tidak lepas dari isu lingkungan itu sendiri, dekade 1970 dan 1980 merupakan masa di mana Jepang sangat rentan dengan isu lingkungan, hal ini berkaitan dengan perkembangan industri, terutama konstruksi. Jepang mengalami masa di mana konsumsi perkapita beton dan baja yang paling tinggi di bandingkan dengan negara maju lainnya, dengan pengeluaran untuk pembangunan melebihi produk domestik bruto Amerika Serikat dan Inggris.[6] Lebih lanjut, kesadaran masyarakat cukup rendah terhadap lingkungan. Namun di sisi lain, Jepang memiliki efisiensi energi yang tinggi serta emisi karbon yang baik  di bandingkan negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) lainnya.
Memasuki dekade 1990an, terjadi perubahan drastis dalam posisi pemerintah Jepang terhadap isu lingkungan. Melalui United Nation Conference on Environment And Development tahun 1992, pemerintah Jepang seperti berusaha menangkal persepsi negatif mengenai buruknya kinerja pemerintah dalam isu lingkungan.[7] Usaha pemerintah Jepang terlihat melalui sikap proaktif Jepang dalam mengambil kepemimpinan dalam United Nations Framework convention on climate change (UNFCCC) COP di Kyoto.
Perubahan sikap pemerintah bukan berarti peningkatan kesadaran masyarakat akan isu Lingkungan semakin tinggi. Juga bukan berarti NGO lingkungan semakin mudah bergerak dalam mengusung isu lingkungan ketingkat nasional. Hal yang membawa perubahan masyarakat dalam isu lingkungan adalah gempa bumi Kobe 1995, rangkaian kecelakaan reaktor nuklir di Fukui tahun 1995 dan Fukushima tahun 1997, isu reklamasi pantai teluk Isahaya 1997, dan isu lingkungan lain yg terjadi antara tahun 1995-1997.[8] Maraknya pemberitaan mengenai isu lingkungan tersebut meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai rentannya Jepang terhadap ancaman dari segi lingkungan. Kondisi ini pula yang meningkatkan jumlah sukarelawan masyarakat untuk isu-isu lingkungan. Dapat dikatakan bahwa menguatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan di Jepang merupakan respon aktif atas isu-isu lingkungan yang terjadi
Mengenai keterlibatan dalam pembuatan kebijakan, NGO lingkungan di Jepang memiliki beberapa titik masuk dalam proses pembuatan kebijakan. Sejak tahun 1997 pula, diet mengesahkan Environmental Impact Assesment (EIA). Suatu garis besar tingkat menteri yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
EIA merupakan sistem dinamika pihak yang mengajukan proyek-proyek pembangunan dapat mengembangkan proyek dari sudut pandang perlindungan lingkungan, berdasarkan persetujuan instansi yang memberikan izin.[9] Sistem EIA juga memiliki sistem di tingakat pemerintahan lokal. Di tingkat ini lah masyarakat bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan mengenai dengar pendapat dan pemberian laporan ke tingkat pemerintah lokal mengenai proyek yang akan di laksanakn di wilayah tersebut[10].  Kritik terhadap EIA adalah terbatasnya informasi yang bisa didapatkan masyarakat tentang pemerintah, yang menunjukan bahwa pemerintah Jepang masih berusah mengendalikan pemberitaan ke publik untuk informasi berkaitan dengan isu lingkungan.
Untuk proses peradilan, isu lingkungan merupakan hal yang jarang terjadi dalam peradilan Jepang. Ini disebabkan mahalnya proses peradilan serta panjangnya proses untuk peradilan isu lingkungan. Keterbatasan NGO lingkungan dari segi pendanaan membuat sedikit NGO lingkungan yang mau mengambil resiko menuntut secara hukum kebijakan lingkungan Jepang. Selain itu, walaupun berhasil mencapai tingkat Mahkamah Agung, Mahkamah Agung akan lebih berpihak terhaadap kebijakan pemerintah.[11]
Sebagian besar pendanaan NGO lingkungan Jepang bersal dari iuran anggota mereka serta hasil usaha mandiri NGO. Sumber lainnya adalah sumbangan dari perusahaan maupun yayasan. Namun di tahun-tahun akhir ini, berbagai NGO mulai bergantung dari dana pemerintah, salah satunya adalah melalui Japan Environmental Corporation (JEC) yang berada dibawah Environment Agency. Dana yang dikeluarkan melalui JEC ditujukan untuk NGO lingkungan dengan ruang lingkup berskala lokal. Namun dana pemerintah tersebut menuai kritik karena sebagian besar mengalir ke NGO semi pemerintah dan NGO yang berafiliasi dengan sektor industri. Selain sumber dana internal dan dana pemerintah, beberapa NGO lingkungan yang memiliki organisasi induk di tingkat internasional juga banyak mendapat dari organisasi induk tersebut.

NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas kelompok dalam mata kuliah Politik Luar Negeri Jepang oleh ST Khadijah Tinni (20100510112) dan Fadli Syahdiyono (20100510109). Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

[1] Japan and The Whaling Ban: Resenment Sustain A Moribund Industrial Trade https:www.japantimes.co.jp

[2] Keiko Hirata. “Beached Whales: Examining Japan’s Rejection Of International Norm.

[3] Robert J mason. Wither Japan’s Environmental Movement ?An Assesmenty Of Problem And Prospect At National Level.

[4] https:www.japantimes.co.jp.

[5] Op.cit.  Robert J Mason.

[6] Robert J.Mason. Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 72.

[7] Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 73
[8]Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 74

[9] Enviromental impac Assesment. www.env.go.jp/en/policy.

[10] Overview of The Environmental Assessment System. http://www.epc.pref.osaka.jp.


[11] Loc.cit. Robert J Mason.