Suatu paham kebangsaan yang menjadi bekal bagi berdirinya suatu bangsa, ialah suatu kejayaan bersama di zaman yang lampau dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangan-kemenangan, sebab penderitaan itu menimbulkan kewajiban-kewajiban, yang selanjutnya mendorong kearah adanya usaha bersama.
Pengorbanan yang dilakukan oleh para founding father suatu negara pun merupakan upaya untuk memperlihatkan bahwa masyarakatnya merupakan orang-orang yang merdeka atas dirinya dan budaya lokal merupakan jati dirinya, sehingga pengklaiman oleh negara lain terhadap budaya tersebut merupakan tindakan yang telah melewati ambang toleransi dan dibutuhkan tindakan tegas untuk menanganinya.
Menilik atas tindakan pengklaiman budaya Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia merupakan bentuk ketidakpatutan terhadap pelanggaran identitas nasional suatu bangsa yang akan mengakibatkan pergeseran nilai dari identitas budaya tersebut dan kerancuan persepsi di dunia global.
Suatu negara tentu diharuskan untuk membangun citra negaranya dan mengembangkan bangsanya dengan proses yang bersifat dinamis dan berkelanjutan. Seperti upaya Malaysia dengan menggunakan promosi pariwisata sebagai alat pencitraan negaranya sekaligus untuk menarik wisatawan datang ke Malaysia. Namun tindakan pemerintah Malaysia yang keliru menggunakan dan memasukkan budaya-budaya Indonesia kedalam promosi pariwisatanya sangatlah tidak dapat diindahkan.
Konflik kebudayaan antara Indonesia-Malaysia bermula ketika ada beberapa pemuda dari negara tetangga tersebut (baca: Malaysia) menyanyikan sebuah lagu yang berjudul “Rasa sayange” dalam acara pembukaan forum pertukaran pemuda Jepang-Asean di Tokyo pada pertengahan bulan Oktober 2007, bukan hanya itu, lagu ini dijadikan jingle dalam salah satu iklan pariwisata Malaysia. Hal tersebut menunjukkan secara implisit bahwa lagu tersebut adalah milik Malaysia. Setelah itu kesenian dan kebudayaan indonesia dikejutkan lagi dengan adanya alat musik asal malaysia yang disebut dengan “malay bamboo” yang setelah dilihat lebih jelas lagi ternyata sangat mirip bahkan tidak ada bedanya dengan “angklung” yang berasal dari Jawa Barat. Permasalahan kemudian berlanjut lagi pada persoalan dunia seni dan budaya Indonesia, munculnya tarian di Malayisa yang mereka namakan dengan “barong dance” yang sama sekali tidak ada bedanya dengan tarian Reog Ponorogo yang berasal dari Ponorogo, Jawa timur. Terakhir kini, muncul lagi dengan adanya iklan Malaysia Truly Asia 2009 yang menampilkan Tarian Pendet dari Bali.[1]
Menilik atas tindakan pengklaiman budaya Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia merupakan bentuk ketidakpatutan terhadap pelanggaran identitas nasional suatu bangsa yang akan mengakibatkan pergeseran nilai dari identitas budaya tersebut dan kerancuan persepsi di dunia global.
Suatu negara tentu diharuskan untuk membangun citra negaranya dan mengembangkan bangsanya dengan proses yang bersifat dinamis dan berkelanjutan. Seperti upaya Malaysia dengan menggunakan promosi pariwisata sebagai alat pencitraan negaranya sekaligus untuk menarik wisatawan datang ke Malaysia. Namun tindakan pemerintah Malaysia yang keliru menggunakan dan memasukkan budaya-budaya Indonesia kedalam promosi pariwisatanya sangatlah tidak dapat diindahkan.
Konflik kebudayaan antara Indonesia-Malaysia bermula ketika ada beberapa pemuda dari negara tetangga tersebut (baca: Malaysia) menyanyikan sebuah lagu yang berjudul “Rasa sayange” dalam acara pembukaan forum pertukaran pemuda Jepang-Asean di Tokyo pada pertengahan bulan Oktober 2007, bukan hanya itu, lagu ini dijadikan jingle dalam salah satu iklan pariwisata Malaysia. Hal tersebut menunjukkan secara implisit bahwa lagu tersebut adalah milik Malaysia. Setelah itu kesenian dan kebudayaan indonesia dikejutkan lagi dengan adanya alat musik asal malaysia yang disebut dengan “malay bamboo” yang setelah dilihat lebih jelas lagi ternyata sangat mirip bahkan tidak ada bedanya dengan “angklung” yang berasal dari Jawa Barat. Permasalahan kemudian berlanjut lagi pada persoalan dunia seni dan budaya Indonesia, munculnya tarian di Malayisa yang mereka namakan dengan “barong dance” yang sama sekali tidak ada bedanya dengan tarian Reog Ponorogo yang berasal dari Ponorogo, Jawa timur. Terakhir kini, muncul lagi dengan adanya iklan Malaysia Truly Asia 2009 yang menampilkan Tarian Pendet dari Bali.[1]
Dan diketahui akibat hal tersebut menimbulkan protes keras oleh masyarakat Indonesia. Dan dari konsep nasionalisme serta kesatuan bangsa dengan perasaan Malaysia merupakan musuh eksternal bersama yang mengganggu kesatuan tanah air, dapat diaplikasikan dengan tindakan rakyat Indonesia dengan maraknya aksi protes, demonstrasi, hingga perang di dunia maya yang merupakan ekspresi dari rakyat Indonesia yang merasa dirugikan atas tindakan Malaysia tersebut. Sebab rakyat Indonesia telah menggangap bahwa Malaysia berusaha mencuri perlahan-lahan budaya dari Indonesia.
Tetapi rakyat Indonesia pun tidak serta merta menyalahkan seratus persen kepada pihak Malaysia, sebab menjadi sentilan yang sangat pedih bagi rakyat Indonesia bahwa beraninya negara tetangga dalam melakukan pengklaiman budaya tersebut, dikarenakan oleh sikap rakyat Indonesia yang ternyata selama ini kurang memeperhatikan budaya-budaya lokalnya, dan hanya merasa marah ketika mengetahui bahwa ada negara lain yang berusaha mengatas milikkannya, sedangkan upaya rakyat Indonesia sendiri dalam melestarikan budaya-budaya tersebut masih sangat minim. Maka menjadi pelajaran bagi masyarakat Indonesia saat ini untuk lebih mengahrgai keranekaragaman dan kekayaan yang ada di negaranya dan menjadikannya sebagai jadi diri bangsa yang dapat mendunia.
[1]Budi Agus Riswandi & Shabhi Mahmahsani, KLAIM ASING ATAS KEBUDAYAAN NEGERI:(BELAJAR LAGI DARI KASUS TARIAN PENDET), 15 April 2011, <http://pusathki.uii.ac.id/artikel/artikel/klaim-asing-atas-kebudayaan-negeribelajar-lagi-dari-kasus-tarian-pendet.html>.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar