Laman

Selasa, 10 Januari 2012

Indonesia di Era Sistem Demokrasi Liberal (1945-1959)



Kata Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi demokrasi ialah rakyat yang berkuasa. Setelah Perang Dunia ke-II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Di Indonesia sendiri, saat ini sistem demokrasi yang dianut adalah demokrasi berdasarkan Pancasila yang masih dalam taraf perkembangan. Dan mengenai sifat dan cirinya masih terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Dalam perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia mengalami beberapa periodeisasi penerapan demokrasi yang lain, salah satunya adalah demokrasi liberal.

Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.

Di awal pelaksanaan demokrasi liberal di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, yang merupakan ciri khas dari demokrasi liberal yaitu multi partai. Kemudiaan pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.

Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multi partai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemiilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.

Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness. Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.

Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.

Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”. Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.

Di masa demokrasi liberal dengan bergonta-gantinya bentuk kabinet, dikenal ada 7 kabinet yang pernah terbentuk, yaitu:
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
f. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )

Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen. Sehingga banyaknya kubu yang mengakibatkan instabilitas keadaan politik, sehingga kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal oleh akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.

Selain keadaan politik yang tidak stabil, Indonesia pun di masa demokrasi liberal diserang oleh keadaan ekonomi yang kocar-kacir. Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi kondisi ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Ada pun faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut,
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Indonesia belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabkan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.

Dari berbagai persoalan ekonomi tersebut pemerintah pun tidak tinggal diam dan gigit jari, ada beberapa kebijakan yang sempat dicanangkan oleh pemerintah, yaitu:
1. Gunting Syafruddin yang merupakan kebijakan Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Yang ditujukan untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng, merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia).
3. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Ditujukan untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba merupakan sistem ekonomi yang dimana Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Yang ditujukan untuk memajukan ekonomi Indonesia dengan adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek), dengan tujuan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang merupakan program di masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, di mana pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara yang bertugas merancang pembangunan jangka panjang. Akan tetapi RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. Dan perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Serta adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan yang dilatarbelakangi oleh terjadinya ketegangan hubungan antara pusat dan daerah di masa kabinet Juanda. Sehingga dilaksanakanlah Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Dengan tujuan untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.

Dari setiap kebijakn yang telah di usahakan masih saja tetap menimbulkan ketidak senangan rakyat dan pemerintah dengan keadaan Indonesia masa itu, hingga akhirnya dikeluarkan lah dekrit presiden sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, yang menandakan akhir dari demokrasi liberal yang kemudian berganti menjadi demokrasi terpimpin di mana Indonesia berada dalam bentuk pemerintahan otoriter dengan pemusatan kebijakan ada di tangan presiden. Hingga sampai di masa orde baru (masa Soeharto) dikenallah demokrasi pancasila yang hingga kini menjadi landasan pemerintahan Indonesia.

Sumber data penulisan :
Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Dan Terpimpin, www.alhakiki.wordpress.com/2010/01/08/pemerintahan-pada-masa-demokrasi-liberal-dan-terpimpin/. Terakhir di unduh pada tanggal 13 April 2011.

Indonesia Masa Demokrasi Liberal (1950-1959), http://rinahistory.blog.friendster.com/2008/09/indonesia-masa-demokrasi-liberal-
1950-1959/. Terakhir di unduh pada tanggal 13 April 2011.

Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia, http://whatteenagersneed.blogspot.com/2011/02/masa-pemerintahan-demokrasi-liberal-di.html. Terkhir di unduh pada tanggal 13 April 2011.

Makalah Politik Hukum Di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Hukum), Oleh Zamrowi. Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Jayabaya 2010.

2 komentar: