A. Makna Patron dan Klien
Manusia merupakan individu yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu memerlukan orang lain dalam mengisi kekosongan atas apa yang tidak dapat dilakukannya demi memenuhi kebutuhan fisik ataupun psikologisnya. Keterkaitan antara kondisi di mana setiap manusia akan pasti membutuhkan keberadaan manusia yang lain tersebut, mengantar penjelasan atas makna dari patron dan klien sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Di mana yang satu tidak akan bisa berdiri tegak tanpa ada pihak lain yang menjadi acuan dan sandarannya.
Patron diartikan sebagai pelindung yaitu seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi dan klien adalah pengikut (orang merdeka) yang mengakui perlindungan dari tuannya yang melindunginya dari kesewenangan siapa saja.[1]
Hubungan yang terjadi antara patron dan klien sendiri bersifat timbal balik, yang berbeda dengan hubungan pemaksaan. Melainkan interaksi yang terjadi antara patron dan klien memperlihatkan kaitan yang saling menopang satu dan lainnya. Dengan tingginya rasa saling membutuhkan di antara patron dan klien, sehingga tanpa ada instruksi dari patron, seorang klien akan dengan sendirinya mengerjakan apa saja yang dapat memberikan keuntungan bagi patronnya, seperti klien membersihkan kebun milik patronnya. Begitu pula sebaliknya di mana patron tanpa dimintai tolong oleh kliennya, ketika patron menyaksikan bahwa di rumah kliennya tidak ada beras atau gula, maka si patron akan membelikan beras dan gula tersebut.
Penggambaran ini memperlihtkan bahwa hubungan antara patron dan klien sangatlah erat, tetapi harus digaris bawahi pula bahwa tidak menutup kemungkinan klien akan berpindah ke patron yang lain, dan patron akan memutuskan hubungan dengan kliennya, hal tersebut dipengaruhi oleh sebagaimna patron dan klien tersebut dapat menjaga hubungan mereka dengan saling mengisi satu sama lain.
Dikaitkan dengan persoalan politik, Leon Daguit menyebutnya sebagai hubungan antara kelompok yang berstatus lebih tinggi dan kelompok yang berstrata rendah di luar kecenderungan hubungan vertikal yaitu “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah” (gouverner).[2]
B. Hubungan Pemerintah dan Mahasiswa sebagai Patron dan Klien
Kehidupan politik yang baik adalah ketika situasi kepemimpinan tidak hanya melahirkan pihak koalisi semata, tetapi juga melahirkan pihak oposisi yang bertugas memonitoring kinerja pemerintah guna menjalankan aturan demi terciptanya kehidupan sosial bermasyarakat yang aman dan sejahtera.
Dari pembentukan posisi tersebut, telah tergambarkan bahwa pemerintah sebagai pengayom telah mengambil peran patron dalam mengayomi masyarakatnya dan suara rakyat yang dalam hal ini diwakilkan oleh mahasiswa telah mengambil peran sebagai klien yang mendampingi pemerintah sebagai patronnya guna terus mengingatkan kondisi masyarakat mereka. Walau sebenarnya dapat dicermati bahwa pemerintah seharuhnya mengabdi kepada masyarakat, karena pemerintah berada pada posisi yang dapat memerintah atas dari legitimasi yang diberikan oleh masyarakat.
Dalam prinsip budaya Bugis-Makassar yang tertanam dalam masyarakat Sulawesi Selatan yang menjunjung tinggi keterbukaan dan pengakuan pada diri pribadi yang maksudnya bahwa sesorang yang merasa mampu mengembangkan dirinya dan menjadi seorang yang dapat memimpin, maka dia akan berusaha untuk mewujudkan hal tersebut, serta ketika melihat suatu ketidakbenaran misalnya dalam suatu proses kepemimpinan maka masyarakat akan sangat tegas agar hal tersebut dikembalikan pada keadaan yang seharusnya, walau harus menumpahkan darah.
Maka dalam sejarah Bugis-Makassar, bukan menjadi hal baru ketika rakyat menyaksikan rajanya berlaku buruk, dan menyampaikan hal tersebut kepada pemangku kekuasaan lain di kerajaan terebut, hingga membuat raja mereka pun diturunkan. Dicontohkan pada kerajaan Gowa, ada raja yang bergelar Karaeng Tunipasulu (raja yang dikeluarkan dari pemerintahannya) yang juga berarti raja yang dimakzulkan/diturunkan dari tahtanya. Serta di kerajaan Bone, seorang raja bernama La Inca’ bergelar Matinro-E ri Addenenna (raja yang mangkat/dibunuh di tangga istananya) disebabkan oleh akhlaknya yang tidak bagus, sehingga neneknya bernama Arung Majang pergi menemui dan membunuh La Inca’ di tangga istananya.[3]
Hal tersebut bukan berarti bahwa dengan membunuh adalah satu-satunya jalan, melainkan ini memaparkan bahwa masyarakat sangat tegas dalam menjunjung tinggi kebenaran, masyarakat akan terus bergerak demi mencapai perubahan yang lebih baik. Semangat itulah yang hingga kini masih terpatri dalam diri dan cita-cita mahasiswa Makassar, di mana mereka dengan tegas melawan sistem pemerintahan yang telah berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat, bahkan mengakibatkan masyarakat tercekik dengan kehidupan sosial-ekonomi yang semakin sulit. Di sinilah terlihat Mahasiswa melaksanakan tugasnya sebagai klien guna mendampingi pemerintah sebagai patron dan mengingatkan atas amanah yang telah diberikan oleh masyarakat kepada mereka untuk menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera.
Ajaran kesosialaan masyarakat Bugis-Makassar yang berpatokan pada kasihilah dan hormatilah sesama manusia seperti anda mengasihi dan menghormati dirimu sendiri, menjadi landasan untuk menuntut setiap anggota masyarakat memedomani diri mereka dengan sikap kejujuran dalam menunjukkan ketaatan kepad ade (Bugis) atau ada (Makassar)yang dipandang menjamin sirik (budaya) mereka.[4]
Hal tersebut pun mengarahkan masyarakat yaitu mahasiswa untuk terus menilai para pengayomnya untuk mencerminkan kejujuran dalam masa kepemimpinannya, sebab pemerintah sebagai patron merupakan pusat pengatur tata tertib yang ada di masyarakat, maka jika pusatnya saja telah tidak jujur, dengan sendirinya tata tertib yang dibuatnya pun akan tidak berdampak baik, bahkan akan sangat dimungkingkan malahan hanya memberikan mudharat kepada rakyat yang dipimpinnya, sebab rakyat pun memiliki acuan kepada siapa yng memimpin mereka. Sehingga sinergitas ketegasan klien (mahasiswa) agar kejujuran itu dapat tertanam dengan baik menjadi sesuatu yang sangatlah berpengaruh. Dan kesadara dari patron sendiri untuk menanamkan karakter jujur tersebut juga merupakan kunci utama, jadi tidak hanya berfokus pada peran salah satu pihak, melainkan kepda kedua pihak yang harus saling mendukung.
Tetapi kini melihat beberapa unjuk rasa yang mengaitkan antara mahasiswa (klien) dan pemerintah (patron) yang saling menyerang dan menyalahkan seperti yang terjadi dalam unjuk rasa penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang lalu, di mana diberitakan bahwa “ratusan mahasiswa Universitas Muslim Indonesia yang dibantu warga yang menyerang kantor gubernur Sulawesi Selatan. Warga meminta SBY tidak meniakkan harga BBM. Ratusan mahasiswa Universitas Muslim Indonesia dibantu warga menyerang aparat di kantor gubernur Sulawesi Selatan dengan menggunakan batu ketapel serta anak panah . Tidak terima kantor mereka diserang ratsuan pegawai negeri yang berada di dalam kantor gubernur membalas mahasiswa dengan lemparan batu”.[5]
Kasus ini tentu menjadi peristiwa yang sangat disayangkan dan pemaknaan patron dan klien yang seharusnya menempatkan pemerintah dan mahasiswa dapat bersama menjalankan amanah masyarakat luas demi menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik, telah tergugurkan dan bahkan sama sekali tidak mencerminkan karakter masyarakat Bugis-Makassar yang mencintai sikap saling menghidupkan dan mendukung (sipatuo, sipatokkong). Tetapi dalam menelaah persoalan ini pun, pola pikir masyarakat di laur Sulawesi Selatan, langsung mencap masyarakat Makassar sebagai masyarakat perusuh, sebab dari setiap kejadian tersebut diinterfensi oleh faktor eksternal yang tidak berasal dari masyarakat Makassar itu sendiri.
Semisal adalah faktor pengalihan isu yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan yang sedang dikritik oleh mahasiswa yang menjalankan perannya sebagai klien atas kebijakan yang pihak berkuasa keluarkan akan sangat merugikan masyarakat luas, sehingga demi memperoleh dukungan masyarakat maka pihak yang dikritikpun menggunakan cara menyusupkan oknum tidak bertanggung jawab yang berpura-pura menjadi bagian dari mahasiswa dan mereka bertindak dengan memprofokatori sehingga terhadi bentrok, sehingga isu utama yang diusung mahasiswa menjadi kabur, dan media lebih memilih mengekspose titik bentroknya semata, karena titik itu memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Maka sebagai masyarakat kecermatan dan kepekaan dalam menyaring informasi adalah hal penting untuk memahami suatu peristiwa.
[1] Dr. Mukhlis PaEni., Dr. Edward L. Poelinggomang, M.A., Dra. Ina Mirati. Batara Gowa: Messianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 2002. Hal. 38
[2] Ibid.
[3] Andi Amriyadi Alie. Nilai-nilai Demokratis pada Empat Etnis di Sulawesi Selatan. FIK-LSm. Makassar. 1999. Hal. 107.
[4] Mukhlis. Dinamiki Bugis Makassar. PLPIIS-YIIS. Makassar. 1986. Hal. 59.
[5] _______, Unjuk Rasa BBM Ricuh: Mahasiswa Serang Kantor Gubernur Sulsel. 30 maret 2012. <http://www.makassartv.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=7486:unjuk-rasa-bbm-ricuh-mahasiswa-serang-kantor-gubernur-sulsel&catid=3:berita-umum&Itemid=56>.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar