Sejarah manusia selalu diliputi atas pasang surut zaman, mulai dari merebaknya berbagai macam peristiwa yang membuka cakrawala berfikir untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, salah satunya adalah pergerakan kaum perempuan yang dikenal dengan Feminisme. Memulai gaungnya di awal abad 18 oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.[1] Gerakan ini muncul karena rasa keprihatinan atas nasib perempuan yang selalu saja berada di bawah tekanan kaum maskulin (laki-laki), baik dibidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik.
Ruang gerak yang sempit membuat perempuan tidak dapat memberdayakan dirinya, mereka sebagian besar menghabiskan waktunya dengan bekerja membersihkan rumah, mengurusi anak, dan yang terpenting adalah melayani kaum laki-laki. Semua itu karena pandangan masyarakat yang menganggap perempuan sebagai makhluk nomor dua yang hanya boleh menerima perintah dan tidak boleh menyuarakan pendapat. Bahkan dalam sejarah Yunani yang dianggap sebagai sejarah peradaban manusia termaju di masanya, memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan dalam polis hanya laki-laki lah yang boleh berperan sementara perempuan dan budak diabaikan haknya, meski sama-sama warga negara.[2]
Struktur sosial ini adalah hasil dari budaya patriarki yang mengagungkan kaum lelaki sebagai simbol kekuatan, padahal perempuan pun bisa melakukan hal yang sama, hanya saja penekanan atas batas-batas berperilaku membuat kelebihan perempuan terpasung. Padahal pengambilan keputusan tersebut berdampak untuk kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga sebagai warga negara seharusnya berada pada taraf yang sama.
Merebaknya minat partisipasi perempuan di kanca perpolitikan di latar belakangi oleh gerakan Feminisme Liberal. Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.[3] Setiap manusia demikian menurut mereka punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan ialah sebagian juga disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa tidak hanya keadaan masyarakat tertutup yang menjadikan ruang gerak perempuan menjadi terbatas dalam memberdayakan skillnya, tetapi juga karena adanya kepasraan dalam diri pribadi yang tidak mau berjuang dan menerima begitu saja setiap aturan tanpa mempertanyakan imbal balik manfaat dari aturan tersebut, sehingga perempuan menjadi pasif dan tidak dapat menyerap perkembangan zaman. Perempuan modern saat ini harus mampu berjalan berbarengan dengan kaum laki-laki, melalui peningkatan kecakapan intelektual, teknologi, penanaman jiwa kepemimpinan dan kemandirian, dengan tidak melupakan kodrat ilahianya sebagai makhluk lembut dan berwibawa.
Negara yang maju pun dapat dinilai melalui tingkatan taraf kemakmuran rakyatnya dan sejauh mana negara tersebut berperan dalam pemberdayaan perempuan, ini memperlihatkan bahwa perempuan bagai ladang emas yang dahulu diabaikan yang lambat laun memperlihatkan indahnya jika ditangani dengan baik dan benar.
Sebagaimana dalam survey yang dilakukan oleh National Democratic Institute (NDI) menyatakan bahwa negara-negara yang memperlakukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memiliki keunggulan-keunggulan antara lain; standar hidup yang tinggi/lebih baik dan angka korupsi yang cenderung lebih rendah; keterlibatan perempuan dalam semua level, baik lokal, regional maupun nasional memiliki dampak positif pada kehidupan sosial ekonomi warganya, keluarga-keluarga serta kelompok-kelompok yang kurang beruntung; dalam masa rekonsiliasi dan rekonstruksi pasca perang atau bencana, pelibatan perempuan mempercepat proses-proses yang dilakukan.[4]
Sebagaimana dalam survey yang dilakukan oleh National Democratic Institute (NDI) menyatakan bahwa negara-negara yang memperlakukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memiliki keunggulan-keunggulan antara lain; standar hidup yang tinggi/lebih baik dan angka korupsi yang cenderung lebih rendah; keterlibatan perempuan dalam semua level, baik lokal, regional maupun nasional memiliki dampak positif pada kehidupan sosial ekonomi warganya, keluarga-keluarga serta kelompok-kelompok yang kurang beruntung; dalam masa rekonsiliasi dan rekonstruksi pasca perang atau bencana, pelibatan perempuan mempercepat proses-proses yang dilakukan.[4]
Hal tersebut dapat dicapai karena adanya semacam pemahaman terbuka atas keterkaitan pandangan dan keikutsertaan antara laki-laki dan perempuan, yang dimana selama ini setiap keputusan berasal dari isi kepala para laki-laki, maka dengan kesempatan perempuan berperan akan memunculkan counterpart ide, gagasan dan solusi dari pihak perempuan.
Hal tersebut menjadi saling melengkapi dengan hal-hal yang telah ada atau malah menciptakan hal-hal baru yang belum pernah ada karena perbedaan persepsi, emosi dan psikologi antara laki-laki dan perempuan. Dapat dinyatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan di ruang publik/ranah politik justru memperkaya dan memperlengkap wacana dan pendekatan dalam mengambil kebijakan.
Selain itu pula, menurut Eva Kusuma Sundari sebagai seorang politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), perempuan memiliki kepekaan terhadap hal yang berkaitan dengan etika yang membuat seorang politisi perempuan segan untuk korupsi.[5] Pendapat tersebut sejalan dengan hasil riset oleh NDI yang telah dipaparkan sebelumnya, sehingga fakta tersebut pun dapat dijadikan salah satu upaya dalam membantu menciptakan bentuk dari clean government.
Sejarah pun memperlihatkan bahwa dalam dunia politik perempuan dapat menjadi pemimpin besar dan membawa kemasyuran. Di Jerman, kepala pemerintahan/kanselir dijabat oleh seorang perempuan, Angela Merkel. Margareth Thatcher di Inggris, Aung San Suu Kyi aktivis pro demokrasi Myanmar dan pemimpin national league for democracy, Benazir Butho perdana menteri Pakistan dan merupakan perempuan pertama yang memimpin sebuah Negara Islam di masa paska kolonial, Golda Meir merupakan salah satu pendiri Negara Israel yang dijuluki sebagai wanita besi dalam perpolitikan Israel, Helen Clarke di Selandia Baru, Tarja Helonen di Finlandia, Sirleaf Johnson di Liberia, Aquino & Arroyo di Filipina, Hasina & Zia di Bangladesh, serta Megawati Soekarno Putri di Indonesia sebagai Presiden perempuan pertama yang menjabat ditengah polemik pemerintahan, dan masih banyak lagi perempuan yang menduduki jabatan politik strategis di seluruh dunia sebagai bukti yang tidak terbantahkan bahwa perempuan dapat berpartisipasi dan memimpin di ranah politik. Para perempuan itu mampu mendobrak tradisi patriarki di negaranya masing-masing, bahkan memberikan kontribusi atas aktualisasinya; bahwa mereka juga ikut menentukan proses politik yang terjadi.
Di Indonesia sendiri saat ini semakin membuka peluang yang besar bagi keikutsertaan perempuan dalam perpolitikan, dengan disahkannya Undang-undang Partai Politik No.12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang memberikan jaminan 30% quota keterwakilan perempuan.[6]
Undang-undang ini sebagai langkah besar bagi kaum perempuan untuk memperlihatkan bahwa kelihaian mereka tidak hanya dengan bahan makanan yang dapat disulap menjadi masakan yang lezat, tetapi juga perempuan peka terhadapat masalah sosial dan politik serta mampu bersama kaum laki-laki merembuk dan membentuk kebijakan demi kemajuan masyarakat.
Tetapi masih saja ada kalangan yang memandang sebelah mata kemampuan perempuan dalam perpolitikan tersebut, termasuk kelompok agama yang fanatik, yang saat ini kami tekankan kepada kelompok fanatik dalam agama Islam yang berlandaskan ayat tertentu yang diterjemahkan sebagai landasan untuk melarang peranan perempuan dalam perpolitikan dan berada pada kedudukan pemerintahan karena hal tersebut adalah bagian untuk laki-laki.
Salah satu ayat yang sering dijadikan landasan kalangan tersebut adalah surah al-Nisa’ ayat 34. Berisikan pernyataan tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan. Yang terjemahannya berbunyi, “Kaum laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (Perempuan), karena mereka laki-laki telah menafkahkan dari sebagian hartanya…”.
Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memberikannya kepada perempuan. Kepemimpinan merupakan pernyataan kontekstual bukan normatif, seandainya Al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu.[7]
Serta jika dihadapkan dengan realitas yang ada saat ini, maka yang terlihat sekarang posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu. Bahkan berdasarkan hasil pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60% perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya. [8]
Hal tersebut memperlihatkan semakin jelas bahwa perempuan pun dapat melakukan hal-hal luar biasa yang selama ini dianggap tidak mungkin dapat dikerjakan oleh mereka. Sehingga pandangan yang selama ini mengatakan bahwa Islam tidak memperbolehkan perempuan ikut andil dalam perpolitikan adalah keliru karena Al-Qur’an dan hadis sendiri mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia perpolitikan. Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodrati sebagai perempuan.
2]“Perempuan dalam Politik ”. Terdapat di http://pennystockinvestment.blogspot.com.
[4] Dzunuwanus Ghulam Manar, PEREMPUAN DI RANAH POLITIK: ANCAMAN ATAU PELUANG?. Dimuat di Majalah OPINI, media kreatif dan sikap kritis mahasiswa, Majalah Mahasiswa FISIP Universitas Diponegoro Edisi 36/I/2010 Rubrik Telaah Jurusan, Semarang, 13 Januari 2010. hal 9-12.
[5] “Perempuan Agak Segan Korupsi”. Terdapat di http://bataviase.co.id.
[7] Istibsyaroh Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya. Makalah, HAK POLITIK PEREMPUAN PERSPEKTIF ISLAM: KAJIAN TAFSIR MAWDÛ`Î. BAB III. Hal. 4. Terdapat di http:www.ditpertaris.net.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar