Laman

Sabtu, 26 Mei 2012

INVANSI MILITER DALAM PERANG AMERIKA SERIKAT DAN IRAK DI MASA KEPEMIMPINAN SADDAM HUSSEIN

Kerangka Dasar Teori
Dalam menganalisa suatu permasalahan, diperlukan kerangka pemikiran sebagai acuan. Teori adalah bentuk penjelasan paling umum yang memberitahukan mengapa sesuatu terjadi.[1] Adapun makalah ini menitik beratkan pembahasan dengan menggunakan Teori Ketimpangan Kekuasaan dan Teori Rangsangan Ekonomis dan Ilmiah yang dikembangkan oleh Walter S. Jones.
Makna teori ketimpangn kekuasaan adalah Diyakini bahwa apapun pangkal tolaknua perang cenderung dapat dicegah bila kekuasaan antara kedua belah pihak yang berhadapan cukup seimbang. Sebaliknya, ketidakseimbangan cenderung mengundang agresi. Kekososngan keuasaan, misalnya yang terbentuk oleh perlucutan senjata secara sepihak, dapat menggoyahkan stabilitas hubungan internasional dan merangsang tindakan militer. Penganut Real politik, yakin bahwa peristiwa dan masalah yang mengarah ke konflik selalu ada dan penyebab langsung pecahnya perang biasanya adalah kegagalan penyeimbangan kekuasaan secara simetris. Prinsip dasarnya adalah, “bila anda ingin damai, maka bersiaplah berperang”. Maka Amerika dalam setiap operasinya kerap mengatasnamakan “penjagaan perdamaian” untuk melancarkan aksi militernya terhadap negara lain. [2]
 Serta makna dari teori rangsangan ekonomis dan ilmiah ini adalah bahwa baik perang maupun ancaman perang merangsang peningkatan kegiatan ilmiah, inovasi teknik, dan kemajuan industri. Dimana dapat dikatakan aspek ekonomi eksternal terutama dari peperangan adalah lonjakan industri tersebut. Bahwa ekonomi yang lambang dapat dirangsang melalui penciptaan tuntutan artifisial.[3]
Dari pemaparan makna teori tersebut dapat dilihat bahwa alasan ekonomi menjadi cambuk dari proses pengembangan perekonomin suatu negara, dan dalam kasus peperangan antara Amerika dan Irak ini memperlihatkan bahwa persoalan ekonomi dan ilmiah menjadi penyebab yang sangat berpengaruh, seperti dicermati bahwa alasan yang mendorong Amerika  untuk tetap menyerang Irak walau telah ditolak oleh badan keamanan PBB adalah bahwa Amerika menduga Irak memiliki senjata nuklir yang dapat menggoyahkan keamanan dunia, serta masih menjadi perdebatan bahwa perang akan memberikan kerugian besar besar bagi perekonomian domestiknya, tetapi sekaligus memberikan pemasukan yang besar dengan melalui jalan perang Amerika dapat menguasai tambang minyak Irak yang merupakan penghasil terbesar setelah Saudi Arabiah.

PEMBAHASAN
Amerika Serikat memiliki kebutuhan konsumsi minyak sangat besar, negara ini secara geografis cukup luas dengan jumlah penduduk mencapai 300 juta yang memadati wilayah seluas 9.826.630 km². Walaupun dengan cadangan minyak yang tinggi yaitu 22,5 Milliar barrel, tapi dengan tingkat produksi 7.6 juta barrel per hari plus konsumsi yang gila-gilaan tingginya, maka minyak Amerika Serikat niscaya tidak akan lebih lama dari 9 tahun umurnya. Untuk itu Amerika Serikat selalu berusaha untuk menguasai negara-negara yang kaya minyak termasuk Irak. Sejumlah pejabat Irak semacam deputi PM Tareq Aziz dan wakil Presiden Taha Yasin Ramadhan secara terang-terangan menuduh AS ingin menguasai sumur-sumur minyak Irak yang merupakan terbesar kedua setelah Arab Saudi.
Tuduhan pejabat Irak tersebut tampaknya memang tidak mengada-ada. AS sendiri mulai memberi perhatian pada minyak di Timur Tengah sejak 50 tahun lalu, yaitu ketika konggres AS saat itu menggelar sidang khusus untuk mengeluarkan keputusan tentang jumlah minyak yang harus diimpor AS setiap bulannya. Perhatian AS pada minyak di Timur Tengah semakin besar setelah aksi boikot minyak Arab menyusul Perang Arab-Israel 1973.[4] Dengan menguasai minyak Irak, AS dapat dengan mudah mempermainkan harga minyak dunia, karena selama ini penentuan harga minyak masih dikuasai OPEC, bukan oleh satu negara tertentu. Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruh AS di kawasan Teluk tidak saja akan mengamankan suplai minyak bagi AS dan sekutunya, tetapi juga mengantarkan AS sebagai negara yang dapat mengontrol kepentingan ekonomi (minyak) negara lain.
Invasi AS ke Irak menurut penghitungan ekonomi, dengan invasi AS ke Irak dan menguasai ladang-ladang minyak disana, Amerika sedikitnya akan meraih 4 triliun dolar dalam beberapa tahun. Dengan biaya perang yang memakan biaya hanya sebesar $ 200 miliar, tentu bukan masalah mengingat keuntungan yang akan diraih. Bush tentu telah sangat berhitung dengan berbagai situasi tersebut. Bush tentu sangat yakin bahwa perang kali ini akan berlangsung cepat dan kemenangan ada dipihak AS. Keyakinan itu beralasan. Mengingat, setelah Perang Teluk II, Irak sebenarnya telah habis. Terlebih lagi, embargo ekonomi selama 10 tahun lebih ini telah menyebabkan Irak terjebak dalam kemiskinan. Dalam kondisi negara seperti ini, apalah dayanya melawan kekuatan AS yang begitu 'hiperpower'. Skenario seperti itu (kekalahan Irak) yang membuat Bush begitu ngotot untuk menyerang Irak di tengah keterpurukan ekonomi negerinya. Meski sesungguhnya Bush sadar bahwa biaya perang yang akan dikeluarkan besar, karena kurangnya dukungan internasional. Bush yakin bahwa dengan scenario kemenangan ada di pihak AS, maka biaya perang tersebut akan segera tergantikan.[5]
 Adalah mustahil bahwa motif penyerangan terhadap Irak murni politik. Motif penguasaan minyak Irak adalah agenda tersembunyi (hidden agenda) dibalik aksi rencana ini. Invasi ini merupakan usaha AS untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya untuk hajat hidup penduduknya dengan peningkatan industrialisasi. Kepentingan nasional sendiri menurut pengertian Hans Morgenthau adalah kemampuan minimum negara/bangsa untuk melindungi identitas fisik, politik/ekonomi, dan kultural negaranya/bangsanya dari ancaman negara lain. Aturan tentang produksi minyak yang diterapkan OPEC dapat disebut sebagai ancaman politik/ekonomi bagi Amerika Serikat. Dengan menguasai Irak yang merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di dunia setelah Arab Saudi, akan memberi keuntungan besar pada AS, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Secara nasional, AS akan dipasok minyak murah dari Irak sekaligus mengurangi ketergantungannya pada minyak Arab Saudi. Invasi ini juga diharapkan akan mengangkat kembali perekonomian AS yang memang sedang lesu. Pada tingkat global, penguasaan atas minyak Irak, yang akan berkonsekuensi pada pelemahan kekuatan negara-negara Arab Teluk, akan memperkokoh hegemoni AS atas dunia. Lebih dari 60% kebutuhan minyak Eropa, juga Jepang, diimpor dari teluk Persia, Inilah yang membuat Perancis, Jerman dan Rusia menentang gagasan regime change AS istilah untuk penggulingan rezim nasional Baath Irak.
Dan mengacu pada persoalan ketimpangan kekuasaan yang menggrogoti situasi tersebut bahwa ternyata ketimpangan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan tingkat kapasitas industri, penduduk, dan usur-unsur fisik perang yang potensial. Melainkan juga pada unsur-unsur politis yang abstrak dan beraneka ragam, dan yang terpenting di antaranya adalah kemampuan menarik dan mengendalikan sekutu-sekutu yang bersedia menumbangkan sumber dayanya demi keamanan bersama. Faktor penting lainnya adalah adanya ‘keinginan’. Persekutuan yang sangat kuat dan kompak sekalipun akan timpang bila salah satu anggotanya menolak berperang. Sebaliknya, bila sebuah negara dengan sumber daya alam dan dukungann terbatas mampu mencegah ketimpangan bila ia bertekad bulat untuk mencegah ketimpangan kekuasaan tersebut. Bukan berarti kekuasaan dua negara yang punya kemungkinan akan saling berhadapan harus disamakan seutuhnya. Namun cukup dengan meyakinkan para agresor bahwa baginya lebih banyak tersedia kerugian daripada keuntungan. Dengan cara itu ketimpangan kekuasaan sebagai penyebab perang dapat dikendalikan
Pasalnya, pasca tragedi 9/11, atas pengeboman WTC yang di klaim Amerika atas serangan musuh, Amerika kerap dan menjadi intens dalam memerangi terorisme. Terbukti dengan dirilisnya kebijakan luar negeri “war on terror” sehingga dengan segenap tenaga AS berusaha mencari dan mengklain sosok teoris tersebut. Pelaksanaan kebijakan war on terror ini juga sejalan dengan upaya “demokratisasi” yang dijalankan dalam skenarion Amerika. Kepemimpinan Saddam Husein di Irak jelas tidak mengakomodasi sebuah pemerintahan yang demokratis. Gaya otoriter Saddam Husein sungguh membuat AS geram. Belum lagi ada konspirasi minyak yang disebut-sebut melandasi invasi dan serangan Amerika terhadap Irak. Belum lagi, atas nama perdamaian Amerika juga menuduh Irak memiliki dan mengembangkan nuklir sebagai senjata pemusnah masal. Dalam Geneva Convention dalam Hukum humaniter Internasional diatur atas kepemilikan persenjataan perang dimana senjata pemusnah masal, dalam kasus ini dilarang. Hal ini jelas menjadi landasan Amerika untuk memberikan sedikit “shock therapy” kepada anak kecil yang tidak meu menuruti kehendaknya.
Hubungan penjelasan dengan teori sebab perang “ketimpangan kekuasaan” terletak oada bagaimana Amerika dengan segenap kemampuan baik tangible secara ekonomi dan birokrasi polotiknya serta kemampuan intangible atas kemampuan konspirasi mempengaruhi dunia mampu dengan mudah menciptakan perang untuk memenuhi tujuan nasionalnya. Amerika melancarkan dugaan dugaan atas fakta yang belum terbukti untuk menghalalkan serangan militernya. Misalnya pada kasus perang melawan terorisme, Amerika melancarkan skenario bahwa Saddam Husein terlibat aktif dalam keanggotaan Al Qaeda, kelompok terrorisme yang harus bertanggungjawab atas penyerangan 11 September 2001.
Di bawah kepemimpinan George W Bush, AS berkekuatan menghimpun masyarakat dunia untuk memaklumi perbuatan militernya kepada Irak. Selanjutnya konspirasi Amerika atas tuduhannya kepada Irak memiliki senjata pemusnah masal, maka Irak harus diberi pelajaran. Amerika juga menyatakan fakta-fakta atas penindasan Saddam Husein kepada rakyatnya dalam kediktatoran dan kepemimpinan otoriternya. Maka, lagi-lagi kekuasaan Amerika memang membuktikan bahwa ia lebih mampu untuk mengatur dunia memahami setiap sikapnya terutama atas penyerangannya terhadap Irak. Dibalik semua itu setelah invasi berakhir tidak satupun dari tuduhan Amerika yang bisa dibuktikan apalagi kepemilikan senjata pemusnah masal. Logikanya, jika Amerika benar yakin bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal dan ini melanggar perjanjian IAEA, maka Amerika seharusnya tidak akan semudah itu melayangkan serangan militernya kesana. Karena Irak jika memang punya pasti berkemampuan untuk membalas serangan Amerika. Faktanya, invasi AS ke Irak justru banyak sekali meninggalkan korban oleh Irak dan tidak satupun dari senjata pemusnah massal tersebut ditemukan di Irak pada akhirnya. Terlihat jelas bagaimana ketimpangan kekuasaan atas Amerika membuatnya berkemampuan menciptakan keadaan, perang, untuk memenuhi kepentingan dan kehendak nasionalnya.


[1]  Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan metodologi,  LP3ES,  Jakarta, 1990, hal.186
[2]  Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional, Gramedia, Jakarta, 1993, hal.179
[3] Ibid. Hal 211.
[4] Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, Kompas, Jakarta, 2003. hal57.
[5] Sunarsip, Minyak di Balik 'Krisis Irak', http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar