1. Sejarah Perkembangan
a. Resolusi-resolusi majelis umum
Pada Akhir tahun 1950an, PBB menyadari bahwa perkembangan kemajuan kegiatan antariksa, disamping dapat memberikan manfaat yang cukup besar bagi kemakmuran, juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Menyadari konsekuensi yang dapat timbul dari kegiatan antariksa ini PBB berupaya untuk dapat memberikan jaminan agar kemajuan kegiatan antariksa dari negara-negara hendaknya dapat memberikan manfaat bagi semua negara tanpa membedakan tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi dari negara bersangkutan. Dalam merealisasikan upayanya tersebut di atas, PBB dengan resolusi Majelis Umum No.1348 (XII) “Question of the Peaceful Uses of Outer Space” tanggal 13 Desember 1958.[1] Resolusi ini merupakan landasan bagi dibentuknya komite sementara yaitu komite Ad Hoc yang mempunyai tugas meneliti masalah-masalah keantariksaan termasuk yang berkaitan dengan aspek hukum kegiatan antariksa.
Resolusi yang berikutnya adalah resolusi majelis umum PBB No.1472 (XIV), tanggal 12 Desember 1959 menetapkan komite sementara itu menjadi komite tetap dengan nama “United Nation Committee on the Peaceful Uses of Outer Space” disingkat (UN-COPUOS).
b. Perjanjian Internasional yang diterima Majelis Umum
Setelah dikeluarkan beberapa resolusi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akhirnya negara-negara pada tahun 1967 sepakat untuk melakukan modifikasi hukum di ruang angkasa yang dituangkan ke dalam Perjanjian Ruang/Luar Angkasa (Space Treaty 1967),
sebagai kelanjutan deklarasi 1963 dan perjanjian internasional 1967, traktat angkasa tahun 1967 mengatur status ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya, serta mengatur usaha- usaha dan kegiatan manusia di ruang angkasa dan sekaligus menetapkan segala hak dan kewajiban negara-negara.[3]
sebagai kelanjutan deklarasi 1963 dan perjanjian internasional 1967, traktat angkasa tahun 1967 mengatur status ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya, serta mengatur usaha- usaha dan kegiatan manusia di ruang angkasa dan sekaligus menetapkan segala hak dan kewajiban negara-negara.[3]
Traktat Antariksa 1967 terdiri dari Mukadimah dan 17 Pasal yang memuat materi-materi pokok yang berkaitan dengan hak, kewajiban dan larangan bagi negara-negara dalam melaksanakan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Dalam mukadimah dinyatakan bahwa pembentukan Traktat Antariksa 1967 diilhami oleh harapan besar yang terbuka dihadapan umat manusia dengan berhasilnya penjelajahan manusia ke antariksa dan adanya kepentingan bersama seluruh umat manusia dalam kemajuan eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai. Sedangkan tujuannya antara lain : (I) mendorong kemajuan eksplorasi dan pendayagunaan antariksa berdasarkan prinsip-prinsip damai dan untuk maksud damai, (ii) meningkatkan eksplorasi dan penggunaan antariksa yang harus dilaksanakan untuk kemanfaatan semua bangsa tanpa memandang tingkat perkembangan ekonomi atau ilmu pengetahuan mereka, (iii) memperluas kerja sama internasional baik dalam aspek ilmu pengetahuan maupun aspek hukum dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai.
Mukadimah Traktat Antariksa 1967 tersebut telah menjiwai rumusan pengaturan yang dituangkan dalam 17 Pasal yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) Berlakunya hukum internasional dan Piagam PBB terhadap antariksa, (2) Pemanfaatan antariksa untuk kepentingan semua negara dan maksud damai, (3) Kebebasan eksplorasi dan penggunaan antariksa, (4) Larangan pemilikan nasional atas antariksa, (5) Larangan penempatan persenjataan di antariksa, (6) Tanggung jawab negara secara internasional atas kegiatan keantariksaan nasionalnya, (7) Kerja sama internasional dalam kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa, (8) Yurisdiksi negara yang memiliki dan mendaftarkan benda antariksanya, (9) Perlindungan dan pelestarian lingkungan, serta (10) Perlindungan terhadap antariksawan.
Selain itu majelis umum menerima 4 perjanjian tambahan yang melengkapi dan mengembangkan dokumen-dokumen yang telah ada yaitu:
1. Persetujuan mengenai penyelamatan astronot, pengembalian astronot dan restitusi benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa tanggal 22 april 1968, Res. No.2345 (XXII).
2. Konvensi mengenai tanggung jawab internasional untuk kerugian yang disebabkan benda-benda spasil tanggal 29 maret 1972, Res. 2223 (XXIX) 19 desember 1966.
3. Konvensi mengenai imatrikulasi benda-benda yang diluncurkan ke angkasa luar tanggal 14 januari1975, Res. 3235 (XXIX)
4. Persetujuan yang mengatur kegiatan-kegiatan negara di bulan dan benda-benda ruang angkasa lain, tanggal 18 desember 1979, Res 34/68.
2. Status Yuridis angkasa luar
a. Tidak dapat dimiliki
Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Space Treaty 1967, bahwa tidak ada suatu negara manapun diperbolehkan mengklaim kedaulatan atas ruang angkasa. Tidak ada diskriminasi antara negara berkembang dan negara maju. Dalam space treaty telah diatur beberapa prinsip, yaitu :
1. Ruang angkasa boleh dimanfaatkan oleh semua Negara untuk kepentingan semua negara.
2. Dalam praktek : siapa yang dapat menguasai teknologi maka dialah yang memiliki (ruang angkasa).
b. Kebebasan penggunaannya
Dalam Traktat Angkasa Luar dimuat beberapa asas-asas umum yang berhubungan dengan kegiatan di angkasa luar di antaranya yaitu hak untuk menggunakan angkasa luar namun tidak boleh sewenang-wenang. Pasal 1 Traktat ini sudah dengan jelas dan gamblang menyebutkan bahwa semua negara bebas untuk melakukan eksplorasi terhadap luar angkasa. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 2 yang menyatakan angkasa luar tidak dapat diklaim oleh satu negarapun, baik melalui okupasi maupun karena ditempati pertama kali. Hal ini disebabkan sifat angkasa luar yaitu Res Communis.
c. GSO (Geo Stationary Orbit)
GSO merupakan suatu kawasan yang berbentuk cincin selebar 150 kilometer dan setebal 70 kilometer yang melingkari bumi di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang lebih 35.871 kilometer, membentang ke arah barat melalui Afrika, Atlantik, Amerika Selatan dan Pasifik. Keberadaan GSO dikemukakan pertama kali oleh seorang sarjana terkemuka Inggris, Arthur Clark pada tahun 1945, GSO merupakan orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antena penangkap di bumi tidak perlu dipindah-pindahkan atau dirubah posisinya. Dibanding dengan orbit satelit lainnya, yakni Middle Earth Orbit (MEO), dan Low Earth Orbit (LEO), GSO merupakan tempat yang paling ekonomis dan efektif untuk menempatkan satelit, khususnya satelit komunikasi. Hal ini disebabkan satelit yang ditempatkan pada GSO dapat meliput permukaan bumi lebih luas dan dapat dimanfaatkan setiap saat.
Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat internasional adalah ketidakadilan dalam memanfaatkan GSO. Oleh negara-negara maju, GSO dipandang sebagai bagian dari ruang angkasa (outer space), sehingga di GSO berlaku prinsip kebebasan dalam pemanfaatan. Sebagai akibat berlakunya prinsip kebebasan bagi setiap negara dalam memanfaatkan GSO, maka berlaku pula prinsip first come, first served. Prinsip tersebut menyebabkan negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi dibidang ruang angkasa dapat memanfaatkan lebih dulu. Dalam prakteknya, GSO telah jenuh ditempati satelit yang sebagian besar milik negara-negara maju dan bukan negara-negara khatulistiwa. Sekali menempatkan satelit mereka di GSO, negara-negara maju tersebut biasanya tidak pernah meninggalkan slot di GSO yang digunakan untuk menempatkan satelit mereka.[4]
3. Pengaruh Kegiatan di Angkasa Luar
Kegiatan di angkasa luar sangat lah mengutamakan kerja sama antar negara-negara di dunia. Bentuk kerja sama yang dilakukan seperti kerja sama penyelamatan astronot hingga pembuatan stasiun-stasiun orbital di ruang angkasa. Tidak hanya itu, kegitan di angkasa luar merupakan bentuk apresiasi terhadap kemajuan di bidang ilmu, teknologi, dan hukum (baik nasional maupun internasional).
Sehingga sehubungan dengan itu, ada beberapa hal yang menjadi unsur utama dalam menelaah kategori kegiatan di angkasa luar tersebut, sebagai mana tertuang dengan acuan dari buku Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global karya Boer Mauna[5]:
a. Wewenang Negara Imatrikulasi
Dalam perjanjian angkasa luar pasal VIII menetapkan bahwa negara yang melakukan pendaftaran pesawat atau benda-benda yang diluncurkan ke angkasa luar menetapkan pesawat atau benda-benda dan personilnya di bawah yuridiksi negara tersebut apakah sedang berada di ruang udara atau angkasa luar akan tetap merupakan milik negara yang sama.
Dengan makna bahwa semua benda yang diluncurkan ke angkasa luar merupakan hak milik dari negara yang meluncurkannya, sehingga apabila jatuh ke daerah tak bertuan, atau di daerah dalam wilayah yuridiksi negara lain, maka hendak dikembalikan kepada negara asalnya.
b. Kewajiban Kerjasama
Dalam pemanfaatan ruang angkasa luar, setiap negara memiliki kewajiban untuk bekerja sama yang terkandung dalam Rescue Agreement 1968 dengan inti isi perjanjian tersebut yaitu[6]:
1. Perjanjian tersebut menekankan keharusan untuk bekerjasama di antara negara-negara perserta perjanjian dalam rangka penyelamatan dan atau pertolongan yang harus diberikan kepada awak suatu pesawat ruang angkasa atau benda angkasa beserta komponennya yang diketahui telah mengalami kecelakaan yang dapat menimbulkan berbagai kerugian.
2. Di samping itu, perjanjian tersebut membebankan suatu kewajiban kepada negara peserta perjanjian dalam rangka upaya penyelamatan sebagai berikut :
a. Memberi bantuan bidang operasi penyelematan kepada awak pesawat ruang angkasa tersebut telah mendarat di wilayah yang bukan menjadi yuridiksi dari suatu negara manapun, misalnya di laut lepas.
b. Mengembalikan awak pesawat ruang angkasa dengan selamat dengan segera kepada perwakilan negara peluncur.
c. Memberitahukan dan mengamankan atau mengembalikan benda-benda yang ditemukan tersebut.
c. Masalah Tanggung Jawab
Hukum internasional telah menjelaskan bahwa segala aktivitas yang dilakukan oleh suatu negara secara norma tidak boleh memberikan kerugian terhadap negara lain, sehingga secara moral setiap negara memiliki kewajiban untuk saling menjadi stabilas hubungan satu sama lain, begitu pula dalam pemanfaatan angkasa luar. Sebab dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memperlihatkan semakin tinggi pula pengiriman benda-benda buatan manusia ke wilayah angkasa luar, sehingga sangat mungkin akan terjadi kecelakaan-kecelakaan seperti jatunya benda-benda tersebut di wilayah negara lain akibat berakhirnya masa operasi benda tersebut di angkasa luar.
Adapun persoalan tanggung jawab tersebut terkandung dalam Space Liability Convention 1972, dengan lingkup fungsional dan materil terlihat pada pasal I ayat (b) mengenai apa yang dimaksud dengan negara peluncur, di mana negara peluncur ini harus bertanggung jawab secara internasionalitas kerugian yang diderita sebagai akibat jatuhnya benda-benda ruang angkasa (Space Objects) di permukaan bumi atau pada pesawat udara sedang melakukan penerbangan.[7]
d. Penyelesaian Sengketa
Banyaknya negara-negara yang memanfaatkan wilayah angkasa luar dalam menjalankan kepentingan nasionalnya menyebabkan pula terjadinya beberapa benturan kepentingan atau sengketa, sehingga diperlukan aturan guna menyelesaikan persoalan tersebut agar tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Persoalan sengketa angkasa luar pun tertuang dalam Space Liability Convention 1972 yang diperinci mengenai prosedur yang harus ditempuh bila terjadi permintaan ganti rugi. Di mana suatu tuntutan kompensasi atas kerugian/kerusakan harus melakukan terhadap negara peluncur melalui saluran diplomatik. Jika suatu negara tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara peluncur, maka pengajuan tuntutan dapat diajukan melalui permohonan negara lain untuk melakukan penuntutan terhadap negara peluncur atau melalui cara-cara lain berdasarkan konvensi untuk kepentingan penuntutan demikian. Tuntutan dapat juga dilakukan melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kepentingan negara penggugat dan negara peluncur di mana keduanya adalah anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa[8].
4. Mekanisme Kelembagaan Kerjasama
Awal mula peluncuran benda buatan manusia ke angkasa luar yang dipelopori oleh Uni Soviet yang kemudian disusul oleh Amerika Serikat memperlihatkan adanya bentuk persaingan yang ketat di antara kedua negara adi daya itu.
Hal tersebut memacu perkembangan pemanfaatan angkasa luar oleh negara-negara lain dan pembentukan organisasi internasional di bidang ruang angkasa. Tetapi akibat berbedanya kepentingan nasional dan persaingan antar negara, maka sangat terbatas bentuk organisasi pada tingkatan universal, melaiankan organisasi-organisasi di wilayah regional berkembang dengan cepat.
Pada tingkatan universal, organisasi internasional yang berperan antara lain Komite Penggunaan Secara Damai Ruang Angkasa Luar yang merupakan organ konsultasi permanen PBB di bidang ruang angkasa. Selain itu ada pula International Telecommunication Union (ITU). Adapun Internasionl Satelit untuk Navigasi Laut (INMARSAT) merupakan organiasi yang didirikan guna sebagai sistem komunikasi universal spasial melalui satelit pada tanggal 3 September 1976 dalam kerangka I.M.C.O (Inter-governmental Maritime Consultative Organization). Serta COSPAS-SARSAT yang didirikan global satelit untuk pencarian dan penyelamatan.[9]
Pada tingkatan regional jumlahnya lebih banyak dari pada organiasi internasional pada tingkatan universal. Intelsat merupakan suatu organisasi internasional yang bertujuan untuk merancang, membuat dan mengelola suatu jaringan satelit komunikasi dunia, yang merupakan organisasi pemerintah tetapi dikelola secara komersial, dan didirikan oleh Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya. Tidak kalah dengan Amerika, Uni Soviet juga memiliki Intersputnik yang didirikan melalui kesepatakan Moskow tanggal 15 Nopember 1971. Di Eropa sendiri khususnya negara-negara Eropa Barat pada tahun 1961 mendirikan beberapa organisasi yang mengatur kepentingan terhadap angkasa luar. Seperti Konferensi Eropa tentang Telekomunikasi melalui Satelit (E.C.S.T) serta penggabungan antara Pusat Eropa tentang Riset Spasial dan Pusat Eropa tentang Konstruksi Peluncuran Benda-benda Spasial (E.L.D.O) menjadi Badan Spasial Eropa (E.S.A).[10] [1] Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Antariksa Nasioanal, CV.Rajawali. Jakarta,1989. hal.13.
[2] Ibid., hal 13.
[3] Abdurrasyid, Priyatna. Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta,1984. hal.48.
[4] Triyana Yohanes, Kebutuhan akan Undang-undang Dirgantara dan Masalah GSO, artikel pada harian Suara Pembaruan, Jakarta,1996.
[5] Loc.cit., Bour Mauna, hal. 406-408
[6] Juajir Sumardi, Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar), PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 31-32
[7] Ibid., hal. 39
[8] Ibid., hal. 46
[9] Opcit., Boer Mauna. Hal. 409-410
[10] Ibid., Boer Mauna. Hal. 410-411
Tidak ada komentar:
Posting Komentar