Laman

Jumat, 15 Juni 2012

RESUME JURNAL: THE GROWTH FEMINIST THEORIES IN INTERNATIONAL RELATIONS


J.Ann Tickner adalah Professor di Fakultas Hubungan Internasional Universitas Southern California. Dia adalah Direktur dari USC’s Center  Hubungan Internasional periode 2000-2003. Buku terbarunya berjudul “Gendering World Politics”, “Issues and Approaches in the Post-Cold War Era, diterbitkan oleh Columbia University Press (2001). Pada saat ini dia sedang terlibat dalam proyek penulisan dalam metodologi feminis dalam Hubungan Internasional

Jurnal ini merupakan interview yang dilakukan oleh Sarah Buchwalter, Jesse Finklestein, dan Louis Sherman pada tanggal 8 Oktober 2003
Feminis mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Dalam wawancara ini brown journal of world affairs menanyakan kepada Tickner tentang pengalamannya sebagai tokoh feminis dalam bidang Hubungan Internasional. Tickner menjawab bahwa dia telah mendapatkan benyak pengalaman yang sangat berharga selama mempelajari dan membangun pandangan baru dalam Hubungan Internasional. Pandangan tentang Feminis mulai muncul pada akhir tahun 1980-an. Tickner menghabiskan beberapa bulan di London School bidang Ekonomi. Dan di waktu yang bersamaan Jindy Pettman menulis tentang kritik Feminis dalam HI dalam Australian Journal of International Affairs. Ini sangat menggugah dan membuat dia berminat.
Sejak saat itu terjadi hal yang hebat dalam HI yang mana mengkritisi disiplin pandangan tentang Gender dan beberapa pencapaian terbaru feminis. Isu ini semkin berkembang secara global terlebih tentang perempuan. Merupakan hal yang istimewa mempelajari bidang ini, demikian jawab Tickner. Ketika dia masih belajar di fakultas ilmu politik Universitas Brandeis, topikdisertas yang sangat menarik baginya adalah agak berbeda dari topic tendensi HI. Ticner selalu terkait dengan isu tentang keadilan, Hak Asasi Manusia dan perkembangan, terkait dengan hubungan Utara dan Selatan. Dan ketika dai mulai disertasinyapun masih belum menemukan siapa yang mau untuk membimbing disertasinya. Pilihan disertasinya telah dimotivasi oleh Johan Galtung (Tokoh perdamaian Norwegia). Dan mengakiri disertasi dengan analisis tentang pemikiran politik Thomas Jefferson dan Mahatma Gandhi dalam hal self-reliant development. Membandingkan tentang perkembnagan yang terjadi di Amerika dan India. Hal ini memang terlihat jauh dari semangat feminis yang telah diusung.
Namun ketertarikan akan feminis dimulai pada pertengahan 1980-an ketika Tickner mengajar di Holly Cross College, tahun ini adalah perang dingin, dimana isu keamanan dan nuklir adalah isu yang sangat dominan pada waktu itu. Dan pada saat itu banyak mahasiswi perempuan mendatangi kantornya dan menyatakan bahwa mereka ingin berhenti mempelajari hal tersebut, ketika Tickner bertanya mengapa? Mereka menjawab bahwa hanya mereka para pria yang dapat melakukan dan masuk kualifikasi dalam bidang ini.
Kritik ini berasal dari perspektif gender yang diartikulasikan dengan menggunakan pendekatan feminis. Kini banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap isu global mengenai feminis dan mulai banyak pula penelitian mengenai wanita. Banyak sarjana yang mengkaji bidang ini dan menjadi bagian. Di dalamnya merupakan suatu kehormatan. Ketika Ticknerr menjadi lulusan ilmu politik Universitas Brandeis, topik disertasi yang menjadi minatnya sangat berlainan dengan mainstreem HI pada umumnya. Ia lebih tertarik pada persoalan hak asasi manusia, hukum, dan sebagainya. Ia baru dapat meneruskan disertasinya pada saat Robert Keohane bersedia menjadi pembimbingnya. Disertasi ini bertolak dari pemikiran Johan Galtung (seorang peneliti Norwegia yang sedang menulis 'self-reliant development' pada saat itu). Ia juga menganalisis pemikiran politik Thomas Jefferson dan Mahatma Gandhi dan berkesimpulan bahwa sistem politik lebih berkuasa dibandingkan teori yang disampaikan keduanya.
Hal ini tidak berhubungan dengan feminisme namun berkaitan langsung karena banyak kasus serupa yang dihadapi oleh para feminis. Ketertarikan Ticknerr terhadap feminisme muncul pertengahan tahun 1980 ketika ia mengajar di Holy Cross College. Waktu itu adalah masa perang dingin dimana strategi perang dan keamanan menjadi topik yang selalu dibicarakan. Banyak murid perempuan yang datang ke kantornya dan mengatakan bahwa mereka tidak berkapasitas untuk membicarakan hal ini. Mereka berfikir bahwa laki laki lah yang mempunyai kapa untuk membicarakan tentang strategi perang. Hal ini mengibaratkan seperti perempuan sangat tidak mempunyai kekuatan, padahal mereka dapat melakukan lebih dari yang seharusnya. Hal ini kemudian menjadi kajianTickerr sebagai feminis dengan mengumpulkan berbagai kasus serupa di berbagai tempat.

Perkembangan dan Masa Depan Teori Feminisme dalam Hubungan Internasional
Melalui buku ia mengetahui betapa Hubungan Internasional merupakan disiplin gender yang sangat kuat. 'Reflection of Gender and Science' merupakan sebuah kritik terhadap Hubungan Internasional menurut perspektif Feminisme yang sangat bagus. Buku ini menjabarkan tentang bagaimana kita harus menyusun teori dan bagaimana cara kita mengevaluasinya.
Banyak buku feminis dari berbagai disiplin berbeda yang harus dia baca karena feminisme belum begitu dikenal kala itu. Bukunya yang berjudul 'Gender of International Relation' merupakan kritik peminis pertama yang dibukukan. Ia mencoba menulis kritik feminisme yang dikombinasikan dengan teori hubungan internasional. Masih banyak sumber yang harus dikaji menurutnya karena banyak hal yang masih belum kita ketahui. Project Ticknerr selanjutnya adalah menangani pelatihan penulisan tentang feminis oleh para mahasiswa yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa tidak banyak sumber tentang feminisme dan banyak hal yang harus mereka kaji.
Ketika ditanyakan bagaimana masa depan Teori Feminisme, Ticknerr menjelaskan harapannya agar teori ini terus dikaji dan dilestarikan. Namun hal ini sedikit sulit karena mahasiswa undergraduate dituntut untuk megejar nilai akademiknya, sedangkan post graduate dituntut untuk menyusun disertasi atau program untuk mendapatkan pekerjaan sesuai bidang akademiknya. Hal ini sangat disayangkan mengingat banyaknya demand dari para lulusan baru yang dapat memberikan kemajuan tidak hanya feminisme, namun juga perspektif lainnya. Ticknerr merasa sedikit khawatir akan hal ini.

The Brown Jurnal of World Affairs
Ticknerr sedikit tersinggung ketika ada pertanyaan yang intinya menyatakan bahwa feminisme telah mencapai legitimasinya. Ia mengatakan bahwa memang feminisme telah memberikan pengaruh kepada banyak orang, namun itu hanya sebatas paradigma. Banyak penulis yang menyediakan tempat bagi pendekatan feminis dianggap merupakan suatu kemajuan bagi para feminis. Tentang kesulitan menuliskan feminisme dalam ukuran akademik, Tickerr menjawab dengan menyamakan dengan teori HI yang sebenarnya juga bersifat esoteris, yaitu keluar dari bahasa asli penulisannya jika dihadapkan pada kasus tertentu. Berbagai disiplin yang ada tetap hanya memberikan sedikit informasi kepada kita. Sama halnya dengan feminisme. Feminisme adalah alat bagi siapa saja yang ingin menulis tentang perspektif gender. Apabila ditemukan sesuatu yang kurang jelas, itu dikarenakan tidak digunakannya analisis gender dalam Feminisme.
Gender ada kategori sosiologi, dimana ia tidak terikat dengan metodologi dan, mainstreem dalam HI, dan pilihan rasional. Feminisme kemudian juga merupakan kategori sosiologi karena kasus yang akan muncul sangat beragam dan tidak dapat ditulis dengan satu macam kalimat akademik. Ketika teori feminis disusun, sebagian besar diantaranya sudah menunjukkan perkembangannya lewat berbagai kasus dan praktek politik. Inilah yang menjadi keistimewaan teori feminis dimana teori tersusun berdasarkan praktek.
Ketika ia ditanya bagaimana sikap kelompok dalam hubungan internasional menanggapi Feminisme, Ticknerr menjawab bahwa tidak semua orang-orang tersebut mengetahui esensi feminisme secara jelas, namun jika ditanya mereka pasti mengakui feminisme.
Pendekatan IR yang tidak dapat menggunakan pendekatan scientific merupakan salah satu rintangan besar untuk menyamakan persepsi. Karena itu diperlukan untuk mempelajari metodologi karena permasalahan metodologi lebih sulit dipecahkan daripada kasus tertentu. Teori HI menuntut kita untuk mengambil pelajaran dari setiap apa yang kita lakukan, namun banyak kasus problematik yang sering terjadi dalam hal ini. Masalah lain adalah banyak orang yang mengira feminisme hanya berbicara mengenai wanita saja. Padahal persperktif ini berbicara tentang laki-laki dan kekuatannya juga. Sudah banyak nya studi tentang hal ini menyebabkan mereka berpikir demikian. Teori ini juga menjelaskan teori politik secara general.
Meskipun demikian, masih banyak mahasiswa awam yang mengalami kesulitan untuk memahami teori ini. Sisi lain mengenai feminisme adalah, teori ini sering membuat sebagian orang merasa terancam dan tantangan bagi teori ini kemudian adalah bagaimana meng edukasi orang-orang tersebut tentang esensi sebenarnya dari teori ini dengan mengkaji literatur yang mulai banyak tersedia dalam teori HI. Marginalisasi dan perempuan dalam teori feminisme mempunyai keterkaitan karena feminisme merupakan perspektif dari margin, dimana banyak wanita di dunia ini yang termarginalisasi.
Walaupun tidak semua, namun sebagian besar diantaranya tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu diluar hal biasa. Ada teori lain yang bertolak dari point yang sama yaitu teori kelas Karl Marx. Teori ini digunakan untuk menggambarkan keadaan sekitar tahun 1990 an dimana ada perbedaan posisi antara laki-laki dan wanita yang dalam power nya melakukan suatu hal. Ketakutan para tokoh feminis adalah kasus wanita yang menjadi korban suatu agen atau oknum. Mereka tidak berani menyuarakan isi hati dan tidak punya kekuatan untuk menyampaikan isi hati mereka. Hal ini yang menjadi salah satu kritik dari 'Third World Feminist of Western Feminist'.
Aspek positif dari hal ini adalah munculnya feminis Afrika-Amerika dan pasca-kolonial teori. Ini juga menjadi masalah besar di seluruh Timur Tengah dan luar negeri ASkebijakan-pandangan bahwa perempuan "di sana" adalah korban tak berdaya. Itu adalah masalah yang sulit bagi kaum feminis dan perempuan di Timur Tengah secara umum yang perlu dukungan kita tetapi yang juga meminta kita untuk menghormati hak mereka untuk membebaskan diri dengan cara yang masuk akal bagi mereka.

Bagaimana sosialisasi mempengaruhi bagaimana teori-teori feminis diterima di IR
masyarakat?
Cara kita memandang dunia adalah masalah sosialisasi yang dimulai ketika kita sangat muda. Kami disosialisasikan untuk melihat maskulinitas sebagai norma dan feminin yang menyimpang dari norma ini. Oleh karena feminisme dipandang mencurigakan karena tuntutan radikal perubahan dalam cara kita melihat dan memahami dunia. Cara untuk mengubah ini, jenis-jenis pengetahuan yang kita temukan yang berguna untuk memahami dunia kita adalah memiliki orang untuk disosialisasikan agar melihat dunia secara berbeda. Tapi, karena agenda feminis terlibat menyingkirkan hierarki gender yang ada di semua masyarakat, mereka memiliki politik radikalimplikasi juga.

Bagaimana sosialisasi gender yang berlaku untuk bidang politik?
Tickner: sosialisasi gender adalah besar. Gender adalah sebuah kata kode untuk gagasan maskulinitas sebagai jenis-cara negara yang ideal dan warga negara mereka harus berperilaku, terutama terkait dengan kebijakan luar negeri. Terlalu sering musuh kita digambarkan lemah dan feminin.  Dan mereka sering melihat perempuan  di luar kendali. Sungguh menakjubkan betapa sering stereotip gender yang digunakan oleh kekuatan reaksioner atas nama menjaga budaya, yang benar-benar menegakkan kontrol yang lebih besar dari kehidupan perempuan. Sering kali, ketika perempuan menjadi pembawa tradisi budaya, berarti represi.

Bagaimana Anda membandingkan negara-negara Islam dan sekuler berdasarkan struktur merekadan pandangan tentang perempuan?
Secara umum saya pikir sekularisme yang lebih baik bagi perempuan meskipun satu harus menghormati pandangan dari para wanita yang memperjuangkan hak-hak mereka menggunakan rasa agama identitas. Ada beberapa laporan yang sangat menyedihkan dari Irak baru-baru ini tentang bagaimana wanita merasa jauh lebih aman pasca-Saddam Hussein dari sebelumnya. Cerita dalam New York Times yang mengatakan bahwa hal-hal yang sebenarnya sangat buruk bagi perempuan adalah  seperti fundamentalisme agama terus meningkat, perempuan didorong kembali ke dalam ruang privat dan menderita kekerasan seksual meningkat.

Apakah Anda melihat pendudukan AS ke Irak sebagai pendekatan maskulin untuk
mengelola konflik?
Saya ingin menunjukkan bahwa ketika Anda mengatakan "pendekatan maskulin," ini tidak satu-satunya pendekatan maskulin. Itu yang saya dan orang lain menyebutnya  "maskulinitas hegemonik." Ini semacam maskulinitas yang tidak perlu kita jelaskan. Kita tahu bahwa itu adalah sesuatu yang kita harus coba. Tapi kebanyakan orang tidak bertindak seperti ini, termasuk banyak pria yang sering merasa sangat tidak nyaman dengan mencoba untuk "bertindak seperti laki-laki". Namun demikian, melegitimasi cara-cara tertentu dalam bersikap dan delegitimasi lain termasuk bentuk-bentuk maskulinitas. Sangat menarik untuk memetakan karakteristik maskulin hegemonik ke perilaku internasional negara. Bagi saya, ini adalah masalah besar.
Tidak cara-cara bertindak yang mencari kekuasaan, menjadi otonom yang selalu buruk, tetapi tidak cenderung delegitimasi dan cara sah lainnya dalam bersikap menggunakan yang lebih kooperatif, kurang kekuasaan berpusat pada strategi. Dan sering cara-cara alternatif bagi negara untuk berperilaku yang dinilai rendah dikaitkan dengan perempuan dan feminitas. Saya berpikir bahwa cara yang akan melampaui masalah ini adalah dengan mempertanyakan ini jenis kelamin stereotip. Kita harus bisa mengakui bahwa, otonomi adalah penting, mungkin ada saat ketika lebih saling bergantung, kurang otonom, lebih strategi multilateral mungkin lebih tepat. Jika Anda memperhatikan akademik dan rekening media kebijakan luar negeri, sungguh menakjubkan betapa banyak yang dijelaskan dan dievaluasi dalam istilah-istilah gender.
Apa yang saya katakan bahwa kita semua disosialisasikan ke dalam norma-norma tentang maskulin sebagai cara yang benar untuk beroperasi-khususnya dalam hal kebijakan luar negeri. Ini memiliki negatif efek mematikan pilihan lain. Dan framing perang melawan terorisme sebagai baik lawan jahat mencerminkan jenis pemikiran dikotomis bahwa kaum feminis sangat bermasalah.
Salah satu argumen Anda dalam artikel Anda "Perspektif feminis pada 9/11" adalah bahwa 9/11 terjadi sebagian karena al-Qaeda berpikir Amerika Serikat menjadi 'Feminin' dan dengan demikian menjadi  rentan.

Bagaimana Anda bisa memasukkan perspektif feminis saat ini pada wacana tentang perang melawan teror?
Ada yang menarik literatur tentang gendering kolonialisme: misalnya, wacana Inggris imperialisme abad kesembilan belas ini sangat gender dengan mereka yang terjajahsering digambarkan dalam hal gender feminin. Komplikasi yang menarik hari ini adalah bahwa, seperti yang saya katakan, "mereka" juga feminisasi  "Kita".  Tapi kita harus ingat bahwa wacana fundamentalis agama dari semua agama, Kristen dan juga Muslim, di dalam maupun di luar Amerika Serikat, berbicara tentang bahaya Amerika Serikat kian feminin jika per Wanita dalam kekuasaan, meskipun tidak dalam jumlah besar. Mereka bermain segala macam peran.
Perempuan memiliki peran kuat seperti laki-laki. Dan jika kami tidak punya masyarakat seperti gender hirarkis pasti akan lebih mudah untuk mendapatkan sesuatu dalam agenda feminis yang percaya masuk. Tapi itu lompatan besar untuk berpikir bahwa orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai feminis akan berkuasa di mana saja. Dalam Amerika Serikat, Hillary Clinton telah difitnah untuk menjadi feminis tapi dia hati-hati tentang identifikasi ini. Hal ini sangat penting untuk berpikir mengapa istilah "feminis ' memiliki konotasi negatif begitu banyak. Ini adalah masalah yang sangat politik yang memiliki banyak hubungannya dengan daya melestarikan bagi mereka yang sudah memilikinya.

Oleh: Ayu Rizkie Wulandari S (20070510102),  Yuliana Sandra Frastiwi (20090510038), Herni Putrianti (20100510033),  Sanri Nopriani (20100510056),  Rachmalia Dewi Sukmawati (20100510063). Reviewer adalah Mahasiswi-mahasiswi jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas MUhammadiyah Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar