Laman

Rabu, 27 Juni 2012

Liberalisasi Pendidikan Racun Generasi Baru Indonesia


Mengapa liberalisasi sangat berbahaya dan racun bagi negara berkembang? Inilah jawabannya. Bentuk dan rona pendidikan tinggi di Era Perdagangan Bebas semakin perlu kita pahami. Setelah wajah pendidikan kita dirubah paska penandatanganan General Agreement on Trade in Services (GATS) pada Mei 2005 yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

Cara pandang WTO terhadap pendidikan tidak sama dengan konstisusi Indonesia yang mewajibkan pendidikan sebagai hak dan kewajiban bagi bangsa Indonesia, sedangkan WTO memandang pendidikan tinggi sebagai sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya ketrampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya ketrampilan.

Hal yang perlu dipahami lagi oleh para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia bahwa pendidikan tinggi yang dalam jangka panjang akan diambil alih oleh korporasi pendidikan internasional. Strategi yang akan mereka lakukan adalah memanfaatkan WTO dengan cara membuka pintu-pintu negara-negara berkembang untuk mendapatkan siswa dari anak-anak orang kaya negera berkembang yang memang tergila-gila dengan pendidikan luar negeri. Seburuk apapun prestasinya!. Mereka tertipu dengan lembaga mafia rating yang mendapatkan uang dengan memasukkan berbagai perguruan tinggi (PT) di dunia yang berisi PT-PT negara tertentu menempatkan rating bagus, seburuk apaun fasilitas mereka (maaf: walaupun college bergedung rukopun), sedangkan PT dari negara-negara berkembang di tempatkan diakhir sebagus dan selengkap apa pun faslitas PT negara berkembang.

Sebagai bukti bahwa korporasi pendidikan internasional tersebut memang sangat mengambil manfaat dari adanya WTO tersebut seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Sofian Effendi dalam presentasinya yang diundang oleh Prof. Azyumardi Azra, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan Dr. Bernadette N. Setiadi, Rektor Universitas Atma Jaya, atas undangan untuk menjadi pembicara dalam Seminar Nasional ini. Pilihan tema seminar “Pendidikan Tinggi di Era Perdagangan Bebas: Tantangan, Peluang dan Harapan”.

Dalam makalahnya Sofian Effendi memaparkan bahwa Sejak 1980-an di negara-negara maju, perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar dibandingkan dengan sector primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Se ikat, Inggeris dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105). Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp.126 trilyun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut.

Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sector jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dar i ekpor total negara Kangguru tersebut, Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekpor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993.

Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO, Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.

Hingga saat ini 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amer ika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendiudikan sumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas sekali bukan motif humanitarian yang mendorong para provider pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia. Motif f or-pr ofit mungkin adalah pendorong utamanya Perlu kita sadari bahwa pendidikan mempu nyai 3 tugas pokok, yakni mempreservasi, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya.

Demikianlah apa yang diungkapkan oleh Sofian Effendi jelas merupakan kemirisan bagi kita yang menginginkan terjadinya transper pendidikan tinggi untuk seluruh anak negeri yang menurut pembukaan UUD 1945, pendidikan bukan saja sebuah hak dari hajat hidup anak negeri , tetapi juga adalah kewajiban Negara untuk memberikan pendidikan bagi generasi yang akan meneruskan masa depan bangsa ini.

Oleh: Ruslan Hamdani (Tuesday, 18 May 2010 11:24)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar