Laman

Jumat, 15 Juni 2012

PERAN AMERIKA SERIKAT DALAM DEMOKRATISASI MYANMAR


Kerangka Dasar Teori
Tulisan ini menitik beratkan pembahasan dengan menggunakan teori konstruktivis melalui pandangan Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink yang memaparkan bahwa ada pengaruh yang besar dari sebuah norma dalam mengatur interaksi hubungan internasional yang tidak hanya ditujukan untuk pencapaian kepentingan suatu negara melainkan pula untuk menciptakan kestabilan interaksi di dunia internasional demi terciptanya situasi yang aman dan damai.
Norma domestik, bagaimanapun adalah sangat terjalin dengan cara kerja norma-norma internasional. Banyak norma internasional dimulai dari norma domestik dan menjadi skala internasional melalui berbagai macam upaya.[1]
Adapun peran Amerika Serikat dalam demokratiasi Myanmar yang didorong oleh tujuan politik luar negerinya yang ingin menyebarkn asas demokrasi di dunia dan atas dorongan internal Myanmar dengan banyaknya pelanggaran Hak Asasi Manusia, maka dari itu terlihat jelas bahwa ada pengaruh norma internasional sehingga Amerika ikur serta dalam menekan agar Myanmar mengalihkan bentuk pemerintahannya untuk lebih demokratis, walaupun tidak dipungkiri ada pula kepentingan-kepentingan lain yang hendak dicapai oleh Amerika, seperti perluasan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara.

PEMBAHASAN
A.   Junta Militer Myanmar
Junta adalah suatu pemerintahan oleh sekelompok elit yang sangat mementingkan kelompoknya bahkan dengan cara menekan masyarakat sendiri. Sedangkan Junta militer merupakan bentuk penguasaan militer di dalam birokrasi pemerintahan suatu negara yang diakibatkan oleh kudeta pihak militer terhadap pemerintahan yang legal dan dianggap melakukan penyelewengan kekuasaan sehingga ada gerakan kudeta. Junta militer biasanya dipegang oleh penguasa tertinggi yakni seorang perwira atau pejabat tinggi militer yang memiliki kekuasaan sangat besar atas segala bidang. Pemerintahan oleh junta militer kadang memiliki kestabilan dalam menjalankan pemerintahan karena terlindungi oleh kekuatan militer yang sering juga dipakai sebagai sarana membungkam pergerakan sipil.
Myanmar merupakan salah satu contoh nyata bentuk kekuasaan oleh junta militer saat ini. Semenjak kekuasaan Myanmar berada di tangan junta militer banyak terjadi aksi protes dari berbagai kalangan masyarakat. Yang terbesar adalah gelombang protes pada 8 agustus tahun 1988 atau sering disebut generasi 88. pada aksi ini dimotori oleh kalangn bhiksu, pelajar, aktivis mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Untuk meredam aksi ini, junta melakukan kekerasan hingga menewaskan 3000 orang. Gerakan ini menuntut agar pemerintahan dijalankan oleh sipil. Aksi ini juga menuntut demokratisasi dan bentuk perlawanan terhadap Ne Win. Pasca aksi ini jenderal Ne Win mundur akan tetapi pengunduran diri Jenderal Ne Win bukan berarti akhir dari kekuasaan Junta Militer, tetapi kekuasaan tersebut digantikan oleh Jenderal Maung Maung. Meskipun masih berlatar belakang militer, namun kebijakan jenderal Maung Maung lebih cenderung bersifat demokratis. Hal tersebut menjadi sebuah ancaman bagi kekuasaan junta militer di kursi pemerintahan, sehingga pada akhirnya terjadi kudeta untuk kedua kalinya oleh Jenderal Sung Maung pada 19 September 1988.
Junta militer dibawah kepemimpinan Jenderal Saw Maung berstatus sebagai State Law and Order Restoration Council (SLORC). Dibawah kepemimpinan Saw Maung, kebijakan yang dikeluarkan cenderung membawa perubahan bagi Myanmar, menjadi lebih terbuka dengan negara lain terutama dalam bidang ekonomi dan militer. Namun pada 23 April 1992, Saw Maung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala negara sekaligus pemimpin SCLOR dan memilih Jenderal Than Shwe sebagai penggantinya. Diawal kepemimpinannya, Jenderal Than Shwe merubah nama State Law and Order Restoration Council menjadi State Peace and Development Council (SPDC).
Kemimpinan pemerintahan Jendral Shwe dengan SPDC sangat otoriter, walau keadaan negara terlihat aman saja, tetapi ternyat persoalan sosial sangatlah pelik, SPDC melancarkan program Union Solidarity and Development Association (USDA), yang berisikan para pegawai negeri yang sistemnya mengharuskan para pegawai negeri untuk memberikan dukungannya kepada pemerintahan SPDC.
Di tahun 2005 SPDC pun semakin gencar melancarkan serangan kepada siapapun yang mereka anggap sebagai musuh-musuh politiknya. Bahkan siapapun yang berada di luar kelompok militer dicap sebagai musuh negara, kepada partai League for Democration (NLD) yang berada dibawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi serta anggota yang lain, kepada para mahasiswa “gerakan 1988”, kelompok etnis non-Burma, kaum Muslim, bahkan juga para pebisnis.[2] Tindakan kekerasan junta pun yang banyak disorot oleh media internasional adalah perlakuan mereka terhadap gerakan protes oleh para biksu di Yangon, ibukota negara tanggal 19 Agustus 2007 menyusul kenaikan tajam harga pangan dan bahan bakar di negara miskin tersebut.[3]

B.   Tokoh Demokrasi Myanmar
Setiap pergerakan yang dilakukan rakyat Myanmar untuk memperjuangkan nasib mereka tidak lepas dari seorang motor penggerak yaitu seorang tokoh pro demokrasi perempuan bernama Aung San Suu Kyi. Aung San Suu Kyi lahir di Ranggon pada 19 Juni 1945, anak ketiga dalam keluarganya.
Pada tanggal 15 Agustus 1988, Aung San Suu Kyi yang merasa kecewa atas tindakan yang dilakukan oleh junta militer yang begitu brutal membantai para demontrasi melakukan protes dengan memutuskan ikut terjun kedalam aksi politik untuk pertama kalinya, dengan mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah, dan meminta untuk membentuk sebuah komite independen untuk mempersiapkan pemilu dengan sistem multi-partai.
Penangkapan dan hukuman tanpa proses pengadilan dilakukan oleh pemerintah bagi yang melanggar ketentuan yang dibentuk sepihak oleh junta militer. Tanggal 24 September 1988 Liga Nasional Demokrasi (NLD), yang Aung San Suu Kyi sebagai sekretarisnya.[4] NLD merupakan partai pro demokrasi yang mendukung gerakan non kekerasan terhadap demokrasi multi-partai di Myanmar. Partai ini juga mendukung hak asasi manusia yaitu kebebasan berpidato di depan umum, aturan hukum, dan rekonsiliasi nasional.
Banyaknya tekanan yang didapatkan Aung San Suu Kyi yang harus berhadap dengan pemerintah junta militer membuatnya tetap teguh menghadapi segala pelecehan, kekerasan dan penangkapan dengan terus berpidato di depan publik demi memperjuangkan segala hak-hak seluruh rakyat Myanmar. Di antara pembunuhan yang dilakukan oleh junta militer terhadap tokok-tokoh  pro demokrasi, Aung San Suu Kyi adalah salah satu yang tetap bediri tegap melawan junta militer.
Tanggal 20 Juli 1989, Aung San Suu Kyi mendapatkan hukuman sebagai tahanan rumah tanpa tuduhan ataupun pengadilan oleh pemerintah. Aung San Suu Kyu tetap berada dalam tahanan dala beberapa waktu, walaupun saat itu Aung San Suu Kyi mendapatkan tawaran untuk dibebaskan oleh junta militer apabila dia mau meninggalkan segala karir politik dan bersedia pergi ke luar meninggalkan Myanmar.
Myanmar saat itu menjadi pusat perhatian seluruh dunia internasional, karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan diantaranya adalah melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh prodemokrasi yaitu Aung San Suu Kyi. Junta militer melakukan 3 kali penahanan terhadap Aung San Suu Kyi yaitu pada 20 Juli 1989, 22 September 2000, dan pada 30 Mei 2003.

C.   Kebijakan Embargo Amerika Serikat sebagai Desakan untuk Demokratisasi Myanmar
Penerapan Coercive Diplomacy AS terhadap Junta Militer Myanmar telah dimulai pertamakali pada akhir April 1997,[5] dengan menerapkan sanksi embargo ekonomi berupa penghentian segala macam investasi AS yang akan masuk ke Myanmar. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh AS kepada Myanmar karena bentrokan yang terjadi pada tahun 1988, yang merupakan awal mulainya kekacauan dalam mengelola ekonomi dan terjadinya penindasan politik yang dilakukan oleh pemerintah, alah satunya dengan menjadikan Aung San Suu Kyi sebagai  tahan politik,  sehingga menyebabkan pemberontakan atau demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa.
Akibat peristiwa tersebut, AS menjadi ikut campur dengan konflik yang terjadi di Myanmar karena hal tersebut benar-benar telah melanggar HAM dan demokrasi. Meski sanksi tersebut hanya dilakukan sepihak oleh AS tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Myanmar, namun diharapkan pemerintah dapat menghentikan aksinya dalam pelanggaran HAM dan demokrasi tersebut lalu dapat segera membebaskan pemimpin dan para tokoh pro-demokrasi NLD yang ditahan.
Sanksi AS tersebut lalu dibuat ke dalam Undang-undang khusus tentang Myanmar dan hal itu dianggap sebagai tekanan paling keras datang dari AS, dengan dicanangkannya suatu undang-undang Kebebasan dan Demokrasi Myanmar.[6] Undang-undang khusus itu mulai berlaku efektif pada bulan September 2003, jika Junta tidak membebaskan Suu Kyi dan belum melaksanakan proses demokratisasi. Dalam undang-undang tersebut antara lain ditetapkan, AS menutup pasarnya terhadap segala produk Myanmar dan langkah tersebut memberikan isyarat yang jelas kepada Junta bahwa penahanan ikon demokrasi Suu Kyi maupun represi terhadap masyarakat Myanmar tidak bisa ditoleransi.
Pengaruh AS sangat dirasakan bagi rakyat Myanmar sehingga masyarakat Myanmar yang hidupnya sudah susah serta tertekan dibawah represi Junta menjadi bertambah menderita, hal tersebut terjadi ketika AS melaksanakan ancaman sanksi ekonomi yang keras. Diterapkannya sanksi ekonomi AS terhadap Myanmar, terbukti dengan sebagian pengusaha sudah mengantisipasi sanksi AS dengan menutup pabriknya dan bukan saja hanya 300 industri tekstil Myanmar dipertaruhkan tetapi juga nasib lebih dari 350.000 pekerja dan anggota keluarganya.
Tidak hanya sanksi ekonomi, pemerintah AS juga menjatuhkan sanksi larangan visa untuk lebih dari 30 anggota Junta Militer Myanmar beserta keluarga mereka. Selain itu, Deplu AS lebih jauh memperingatkan larangan visa tambahan akan diberlakukan terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas berlanjutnya serangan-serangan terhadap warga sipil tidak berdosa, serta berbagai pelanggaran HAM lainnya.
Dari berbagai macam tindakan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh AS kepada Myanmar sangat memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan sosial ekonomi Myanmar, yang membuat pemerintahan Junta tidak dapat lagi mengelak dengan besarnya tekanan-tekanan tersebut, sebab dari sikap anti pati dari AS ke pemerintahan Junta, masyarakat internasional pun akhirnya berlaku yang sama dengan sikap AS, yang akhirnya membuat pemerintahan Junta untuk mulai mengikuti permintaan masyarakat Internasional yang berhrap Myanmar dapat menjadi negara yang demokratis,. Pembahasan perubahan arah politik Myanmar pun akan di bawah pada poin selanjutnya.

D.   Perubahan Arah Politik Myanmar setelah Diembargo
Setelah mengalami situasi sosial yang krisis akibat embargo dari masyarakata internasional, khususnya amerika serikat, Myanmar pun meminta kepada masyarakat internasional untuk memberikan waktu kepada Myanmar dalam mereformasi keadaan politik internalnya dan berusaha menghidupkan situasi demokratis dalam kehidupan internalnya.
Janji tersebut terbukti dengan Pemerintah Junta Myanmar menggelar pemilu pada 2010.[7] Terpilihnya rezim baru yang demokratis, Thein Sein, pada pemilu tersebut telah menghantarkan Myanmar pada perubahan-perubahan yang berarti, seperti dibebaskannya tokoh penting LND Aung San Suu Kyi dan terpilihnya Myanmar sebagai ketua ASEAN pada 2014.
Terkait dengan hal itu, terdapat tiga hal positif yang telah dihasilkan demokrasi Myanmar di dalam negeri. Pertama, perubahan iklim politik. Jika dulu junta militer menangkap semua aktivis politik yang dinilai membahayakan kekuasaan, kini sebagian dari mereka dibebaskan. Setidaknya 20 ribu tahanan politik telah dibebaskan, termasuk Aung San Suu Kyi didalamnya, dan bahkan LND yang di masa junta militer dinilai sebagai partai terlarang, kini telah masuk ke kancah politik Myanmar. Kedua, catatan hak asasi manusia yang di masa junta militer begitu buruk, kini telah menjadi lebih baik. Sebagaimana dikatakan oleh penasihat hukum Presiden Thein Sein, U Sit Aye bahwa konstitusi dan pemerintahan baru telah menjamin promosi hak-hak asasi manusia dengan membentuk Komisi Hak Asasi Manusia.  Ketiga, para buruh yang di masa junta militer tidak memiliki kebebasan untuk menuntut kesejahteraan, saat ini justru diberikan kebebasan untuk mendirikan serikat pekerja dan kebebasan untuk melakukan unjuk rasa.[8]
Dari perubahan arah politik yang terjdi di Myanmar, Amerika pun sebagai negara yang pada awal mula sangat anti pati terhadap pemerintahan Junta militer yang tidak demokratis, kini berubah dan berusaha lebih mendekatkan diri kepada pemerintahan Myanmar yang baru yang dianggap lebih demokratis.  Di mana pemerintah Barack Obama, Rabu, 4 April 2012, menyatakan akan segera mengirimkan duta besar dan mengapus larangan perjalanan serta sanksi ekonomi bagi Myanmar menyusul pelaksanaan pemilu yang dianggap berlangsung demokratis.[9] Serta pihak Washinton akan mengizinkan pejabat senior Myanmar mengunjungi Amerika Serikat dan mengurangi pelarangan perdagangan. Amerika Serikat juga akan membuka kantor perwakilan untuk urusan pembangunan internasional di Myanmar.


[1]Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink. International Norm Dynamics and Political Change. http://links.jstor.org/sici?sici=0020 8183%28199823%2952%3A4%3C887%3AINDAPC%3E2.0.CO%3B2-M. Diakses pada 05 Juni 2012
[2] Vicky Bowman, “The Political Situation in Myanmar”, in Myanmar: The State, Community, and Environment. Australia: Australia National University Press, 2007.
[3]_____, Biksu Myanmar Kembali Lawan Junta Militer, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=182646.
[4]Yulia Permata Sari. Aung San Suu Kyi, Pejuang Demokrasi Myanmar. http://www.mediaindonesia.com/mediaperempuan/read/2010/11/11/4365/10/Aung_San_Suu_Kyi
[5]Endi Haryono. ASEAN Menanggapi Sanksi Ekonomi AS Terhadap Myanmar 1997. Paradigma, Vol.1, No.2, Juni 1997 (FISIP UPN Veteran Yogyakarta). 
[6]_____, Mengapa AS Keluarkan UU Khusus tentang Myanmar. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2339&coid=3&caid=31&gid=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar