Sumber Gambar: bappeda.jatimprov.go.id |
(Management Isu Kasus Lumpur Lapindo)
Peristiwa
menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc di
dusun Balongnongo Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29
Mei 2006
kini telah memasuki tahun ke 6. Akibat semburan ini, 16 desa di tiga kecamatan
tenggelam dan 30 pabrik yang tergenang terpaksa berhenti beroperasi yang
mengakibatkan pengangguran sejumlah lebih dari 1800 orang.
Di lihat dari penjelasan singkat di atas dapat secara
sederhana dipahami bahwa peristiwa Lumpur Lapindo ini telah memakan waktu yang
sangat lama dengan kerugian yang sangat
besar dan tidak hanya berdampak pada kehidupan perekonomian warga yang
terenggut dari mata pencaharian mereka tetapi hilangnya rumah dan kampung
halaman mereka yang dulunya menjadi tempat mereka bersosialisasi menjadi
pukulan yang sangat menyakitkan dan hingga kini, proses penggantian kerugian
terhadap para korban pun belum diselesaikan.
Yang menjadi hal menarik dari kasus ini sendiri pun adalah
bagimana perubahan yang terjadi dari perkiraan penyebab ternyadinya semburun
lumpur tersebut. Para ahli pada awalnya mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kesalahan
prosedur pengeboran di perut bumi yang
mengharuskan perusahaan milik salah satu orang terkaya Indonesia, Abu Rizal
Bakrie untuk melakukan pengganti rugian terhadap setiap dampak yang timbulkan
oleh semburan lumpur tersebut, baik kepada perawatan lingkungan serta
kepada masyarakat yang menjadi korban.
Hal tersebut pun di dukung dengan hasil pertemuan kegiatan
tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists
(AAPG) pada tahun 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan
di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, yang dihadiri
oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari
Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara
ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli
menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas
suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan
Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan
teknis dalam proses pemboran.
Tetapi
sekarang yang terjadi adalah pemerintrah lebih mendukung anggapan 3 ahli dari
Indonesia yang menyatakan penyebab semburan lumpur adalah gempa Yogyakarta yang
terjadi di tahun 2006 juga. Sehingga kewajiban
penggantirugian beralih dari perusahaan keluarga Bakrie ke tangan Pemerintah Daerah Sidoarjo dan pemerintah
Propinsi Jawa Timur. Tentu banyak spekulasi yang muncul bahwa perpindahan
kewajiban tersebut akibat tingginya pengaruh Abu Rizal Bakrie di pemerintahan
pusat dan kedekatan orang nomor satu Indonesia dengan keluarga Bakrie. Di lihat dari isi management issue, hal tersebut
menjadi sangat menarik.
Selain
itu pula dalam mengatasi isu ini yang diprediksi jika tanggung jawab kerugian
ditangani oleh keluarga Bakrie akan mengakibatkan kerugian besar bagi Bakrie,
dalam pemberitaan di media pun ditemukan
banyak hal unik saat meginformasikan peristiwa ini, salah satunya adalah dengan
gaungnya penggunaan bahasa yang bersifat ambigu, yaitu Lumpur Sidoarjo dan
bukannya Lumpur Lapindo.
Bagi
masyarakat awam tentu penggunaan bahasa ini dianggap biasa dan tidak berdampak apa-apa, tetapi akibat penggunaan yang berulang dan
masifnya memunculkan prespektif di tengah masyarakat pun bahwa kejadian ini
merupakan kejadian alam, sebab dengan menggunakan prase Lumpur Sidoarjo
teridentik bahwa hal tersebut adalah kejadian lumpur alamia di Kota Sidoarjo. Orang-orang
akan lebih mengingat kota lokasi semburannya, dari pada jika dengan menggunakan
prase Lumpur Lapindo, tentu orang-orang akan lebih condong melihat pada peran
perusahaan Lapindo yang mengakibatkan semburan tersebut. Maka dari penggunaan prase ini pun terjadi
proses pengalihan dan penganganan isu yang bisa dikatakan “cerdik” dengan hanya
menggunakan permainan kata yang sederhana.
Adapun
juga pemberitaan tentang lokasi semburan yang menjadi tempat wisata semburan
lumpur satu-satunya di dunia, mengakibatkan adanya pergeseran pemaknaan yang
terjadi di masyarakat terhadap isu ini. Maraknya berita yang menginformasikan
bahwa lokasi semburan tersebut menjadi
sumber pendapatan tambahan bagi penduduk
sekitar dengan pemanfaatan lokasi wisata baru di Sidoarjo. Hal ini sangat lah miris sebab masyarakat seakan
melupakan bahwa pendapatan yang mereka peroleh tersebut adalah konsekuensi
hilangnya rumah dan kampung mereka. Sekali lagi media mengambil peran penting
dalam persoalan penanaman perpektif pada masyarakat. Dan sudah menjadi rahasia
umum bahwa salah satu stasiun TV yang gencar melakukan upaya tersebut adalah
milik keluarga Bakrie.
NB: Tulisan ini adalah tugas management isu MT Public Relation oleh ST Khadijah Tinni 20100510112, UMY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar