Laman

Jumat, 26 April 2013

Merangkai Emas Di Dusun Karang Rejek

 Jika biasanya orang-orang mengidentikkan Yogyakarta (Jogja) sebagai kota gudeg atau kota bakpia, serta penghasil perak yang mengangkat Kecamatan Kota Gede sebagai ikonnya, maka kini Jogja dapat dikatakan menjadi salah satu penghasil “emas” di Jawa, bahkan di Indonesia menyaingi Pertambangan Freeport di Papua. Tepatnya di Dusun Karang Rejek, Kecamatan Imogiri, Bantul DI Yogyakarta. Masyarakat khususnya ibu-ibu didampingi 5 mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memanfaatkan kepompong ulat sutra emas liar menjadi pernak-pernik bernilai ekonomis.

Awal pemanfaatan kepompong ulat sutra emas liar yang masyarakat sekitar sebut dengan nama kokon adalah karena banyaknya pertumbuhan ulat tersebut. Dibarengi dengan dorongan pengabdian dan kreatifitas yang muncul dari kelompok mahasiswa yang terdiri dari Rahmi Dewi Aryani (Dewi), Endang Jum’ati (endang), Sony Novrizal (Sony), Said Hamzali (Said), dan Ricky maulana (Ricky).

Melihat potensi besar yang dimiliki wilayah Karang Rejek yang dulunya dikenal sebagai desa pengemis, Dewi bersama kawan-kawan mendekati warga dan menawarkan tenaga mereka untuk mendampingi dalam mengolah kokon ulat sutra emas liar tersebut. Beberapa upaya dilakukan demi mengembangkan potensi itu, salah satunya dengan mengajukan ide pengolahan kokon ulat sutra emas liar ke ajang kompetisi Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM), dan ternyata dapat lolos, sehingga dana dari PKM digunakan sebagai modal awal.

 Dengan menggandeng beberapa dinas pemerintah terkait, seperti Dinas Sosial DIY (Dinsos), dan Dinas Pendidikan, Pemuda, Dan Olahraga Provinsi DIY (Dikpora), dilaksanakanlah pelatihan usaha dan suntikan motivasi kepada masyarakat, yang diberi nama Pelatihan Kreatifitas Kokon Ulat Sutera Emas Liar, dari pelatihan tersebut pun kelompok mahasiswa ini semakin memperlihatkan tekat mereka demi membantu dalam penciptaan masyarakat mandiri.

“Pelatihan telah 4 kali dilaksanakan sejak tanggal 25 Maret, tetapi PKM sendiri sudah dari Bulan Oktober tahun kemarin (tahun 2012)”. Ungkap Sony.

Walau pun sebenarnya, kokon tersebut telah diolah oleh salah satu perusahaan menjadi benang sutra sebagai komoditi ekspor dengan harga yang tinggi. Dan dalam bentuk olahan akhir, baik itu berupa baju atau kain, hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan berpunya. Maka dari pemikiran untuk lebih merakyatkan kekayaan alam tersebut, pengolahan kokon pun dibuat menjadi pernak-pernik seperti bros, gantungan kunci, dan gantungan hand phone (hp) dengan berbagai ukuran dan variasi bentuk yang dapat dipasarkan dengan harga yang lebih terjangkau.

”Sutra emas kan milik Indonesia, maka alangkah baiknya jika setiap elemen masyarakat dapat menikmatinya”. Papar Dewi.

Pelatihan yang diberikan kepada masyarakat pun tidak hanya dengan megajarkan bagaimana merangkai kokon menjadi pernak-pernik, melainkan masyarakat juga diberitahukan tentang proses awal yang dimulai dengan pemilahan jenis kokon, pewarnaan, perangkaian, hingga pengemasan.

“4 kali pelatihan ini, ibu-ibu sudah mulai dapat membuat bentuk kreasi mereka sendiri. Awalnya cuman bunga, tapi kemudian mereka buat macam-macam bentuk, ada kupu-kupu, anggur, bahkan juga pastel. Pelatihan selanjutnya tentang pengemasan biar terlihat lebih cantik”. Tambah Dewi.

Sambutan terbuka yang diberikan masyarakat semakin mendorong para mahasiswa untuk dapat lebih berkarya, disamping masih dijejali dengan kesibukan perkuliahan. Sekaligus demi menjalankan tri darma kampus yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Mereka tetap meluangkan waktu untuk memperoleh pengalaman dan pegetahuan yang dapat diimplementasikan langsung ke masyarakat. Peran para mahasiswa tidak hanya sebagai fasilitator pelatihan tetapi juga membantu masyarakat dalam proses periklanan hingga pemasaran.

Apresiasi yang tinggi diutarakan masyarakat Karang Rejek atas upaya yang dilakukan para mahasiswa. Ibu-ibu peserta pelatihan yang datang membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil, menilai agenda pelatihan sebagai kegiatan yang sangat bermanfaat.

“Biasanya kan sebelum ada pelatihan, ibu-ibu hanya di rumah, momong anak atau nonton sinetron. Setelah adanya pelatihan, ibu-ibu pun yang sebagian besar masih berusia muda dapat memperkaya keterampilannya, sekaligus menambah pemasukan”. Ungkap Ibu Yanti salah satu peserta pelatihan.

Harapan dari agenda tersebut pun, baik para mahasiswa dan masyarakat menginginkan agar dapat terus ada keberlanjutan. Walau sampai sekarang kendala terbesar adalah bahwa sumber bahan baku yaitu kokon ulat sutra emas liar sangat dipengaruhi musim dan belum dapat dibudidaya, sehingga akan ada kemungkinan, masa di mana akan sulit memperoleh kokon ulat sutra emas liar. Maka hal tersebut merupakan PR yang semoga cepat menemukan jawabannya. 
 
telah dimuat di SWAKA KR (edisi 9 April 1013)

1 komentar:

  1. ehhh baru lihat,, jd ingat bergelut dengan mas sutera di imogiri,,,,

    BalasHapus