A.
Konsistensi
Jepang dalam Menjalankan Kebijakan Lingkunan Hidup
Pemerintah Jepang tidak mau
terburu-buru mengikuti trend lingkungan yang berlaku dan tidak begitu saja
menyetujui kesepakatan internasional sebelum mengetahui kesiapan industri dan masyarakat
Jepang. Namun bukan berarti pemerintah Jepang menentang kesepakatan
internasional, tetapi lebih pada upaya mengkaji sisi positif dan negatif yang
ada agar dapat diambil keuntungan dari isu internasional tersebut. Misalnya saja
isu pemanasan global, pemerintah Jepang tidak langsung menerima kesepakatan
pengurangan emisi CO2 karena ingin mengetahui faktor apa yang paling besar
mempengaruhi pembuangan CO2. Dari fakor tersebut, pemerintah Jepang membuat alternative
pengurangan CO2. Di Jepang, industri (44,6%), rumah tangga (36,7%) dan
transportasi (18,1%) adalah penghasil CO2 terbesar. Industri ditekan agar lebih
efisien guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, promosi penggunaan barang
daur ulang di rumah tangga gencar dilakukan, dan pemerintah mendukung penuh
proyek pembuatan mobil hybrid untuk mengurangi pengeluaran CO2.[1]
Masyarakat Jepang terkenal dengan
komitmen dan konsistensinya karena itu apabila palu telah diketuk, maka tidak
ada proses tawar-menawar hukum. Apabila pemerintah Jepang telah menyepakati
suatu perjanjian dan dituangkan dalam bentuk peraturan, maka seluruh pihak dengan
sendirinya akan mematuhi peraturan tersebut. Hal tersebut sempat juga
disinggung oleh Mr. Tetsuro Fujitsuka, kebijakan lingkungan di Jepang jauh
lebih lunak dari di Indonesia namun di Jepang tidak ada tawar menawar dalam
implementasinya.[2]
Di Indonesia walaupun peraturannya lebih ketat daripada di Jepang namun
beberapa contoh kasus menunjukkan implementasinya jauh dari harapan, misalnya
kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, AMDAL-nya tidak untuk perusahaan pengeboran
gas tetapi izin tetap saja keluar, atau pembangunan pantai indah kapuk, AMDAL-nya
sangat bermasalah namun pembangunan terus saja berjalan tanpa ada hambatan.
Untuk mewujudkan suatu kebijakan
lingkungan, pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan tidak hanya menjadi
motor penggerak tetapi juga contoh teladan. Misalnya dalam hal penggunaan
kertas daur ulang, kertas tisu, dan mobil hybrid, Kementrian Lingkungan menjadi
perintisnya. Begitu juga dengan kampanye penggunaan kertas bolak-balik, Kementrian
Lingkungan yang pertama sekali melakukannya. Dalam penggunaan seragam kerja,
karpet, selimut, sarung tangan karyawan PNS, pemerintah mengusahakan bahan dari
bahan daur ulang.
Kebijakan yang akan dibuat tidak
hanya milik elit pemerintahan, intelektual, atau usahawan tetapi juga
mengikutsertakan seluruh stakeholder terkait. Misalnya dalam kampanye
eco-produk, seluruh perusahaan manufaktur harus menyediakan informasi
lingkungan dalam produk mereka, pemerintah memberikan ekolabel pada
produk-produk yang telah memenuhi standar internasional, dan masyarakat diminta
untuk membeli eko produk ketika berbelanja.[3]
Pemerintah mendukung penuh penggunaan kertas daur
ulang. Industri kertas daur ulang didukung penuh oleh permodalan, teknologi dan
pemasaran. Seluruh Bank diharuskan memberikan kemudahan permodalan bagi industri
kertas daur ulang, pemerintah memberikan keringanan pajak, lembaga penelitian
pemerintah mendukung dengan teknologi terbaru, dan pemerintah menyediakan diri
menjadi pasar pertama industri kertas daur ulang. Semua usaha tersebut untuk
menjadikan industri kertas daur ulang menjadi industri besar bahkan dapat
mengekspor hasilnya ke luar negeri.
Realisasi pelaksanaan kebijakan melebihi target yang
dicanangkan. Target yang ditetapkan bukanlah target minimalis, namun setiap
diri orang Jepang selalu melihat sebuah target sebagai perolehan minimalis yang
harus dicapai sedangkan kelebihan dari targetlah yang disebut prestasi. Karena
itu orang Jepang yang selalu diberikan motivasi untuk berprestasi selalu
bekerja untuk meraih prestasi bukan target. Misalnya saja pencapaian target
pengurangan penggunaan kertas (109,4%), pengurangan konsumsi energi bahan bakar
fosil (151,9%), pengurangan sampah atau limbah di kantor pemerintah (143,2%)
melebihi dari yang target dicanangkan.[4]
Pemerintah giat mensosialisasikan program lingkungan
ke masyarakat. Masyarakat dihimbau agar membeli produk yang mudah didaur ulang,
hemat menggunakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan seperti bahan bakar
fosil maupun terbaharukan seperti kertas. Pemakaian kertas bolak-bolik juga dilakukan
disekolah, kantor-kantor swasta, dsbnya. Penggunaan listrik, air dan energi
lainnya berkurang hingga 90% selama 5 tahun dari tahun 1995 hingga 2000.
Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding naik kendaraan
pribadi, dengan catatan kendaraan umum nyaman, aman dan cepat sampai ke tujuan.
Masyarakat mengikuti program lingkungan dimulai dari
yang sederhana. Slogan “Think Globally Act Locally” terpatri pada sebagian
besar masyarakat Jepang. Menurut penjelasan Dr. Tetsuro Fujitsuka, masyarakat Jepang
sudah sadar lingkungan sehingga dalam pemilihan produk lebih senang membeli
produk yang sudah mencantumkan ekolabel atau informasi lingkungan pada
kemasannya. Dan tambahan lagi angka pengurangan limbah di masyarakat Jepang
menurun hingga 70% selama 5 tahun, hal tersebut berarti berkurang 14%/tahun.[5]
Pemerintah memberi anggaran yang memadai pada
kementrian lingkungan, walaupun tidak disebutkan berapa spesifiknya namun
sebagai gambaran anggaran Kementrian Lingkungan nomor 2 tertinggi di antara
departemen lainnya. Dr. Tetsuro mengatakan anggaran untuk Kementrian Lingkungan
bukan cost tapi investasi jangka
panjang, karena yang namanya anggaran pertumbuhan ekonomi, dan berbagai angka
lainnya bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Apabila lingkungan tercemar otomatis masyarakat tidak sejahtera sehingga tujuan
dari aktifitas ekonomi, sosial dan politik menjadi sia-sia belaka.
B.
Dinamika
Jepang dalam memandang Kebijakan Lingkungan Hidup
Dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan hidup dipengaruhi
2 faktor internal mau pun eksternal. Peran politik domestik, NGO lingkungan, kelompok
epistemik serta sektor industri memberi dinamika dalam proses pembentukan
kebijakan lingkungan, NGO lingkungan di Jepang tidak lepas dari isu lingkungan
itu sendiri, dekade 1970 dan 1980 merupakan masa di mana Jepang sangat rentan
dengan isu lingkungan, hal ini berkaitan dengan perkembangan industri, terutama
konstruksi. Jepang mengalami masa di mana konsumsi perkapita beton dan baja
yang paling tinggi di bandingkan dengan negara maju lainnya, dengan pengeluaran
untuk pembangunan melebihi produk domestik bruto Amerika Serikat dan Inggris.[6] Lebih
lanjut, kesadaran masyarakat cukup rendah terhadap lingkungan. Namun di sisi
lain, Jepang memiliki efisiensi energi yang tinggi serta emisi karbon yang
baik di bandingkan negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and
Development) lainnya.
Memasuki dekade 1990an, terjadi perubahan drastis
dalam posisi pemerintah Jepang terhadap isu lingkungan. Melalui United Nation Conference on Environment And
Development tahun 1992, pemerintah Jepang seperti berusaha menangkal
persepsi negatif mengenai buruknya kinerja pemerintah dalam isu lingkungan.[7] Usaha
pemerintah Jepang terlihat melalui sikap proaktif Jepang dalam mengambil
kepemimpinan dalam United Nations
Framework convention on climate change (UNFCCC) COP di Kyoto.
Perubahan sikap pemerintah bukan berarti peningkatan
kesadaran masyarakat akan isu Lingkungan semakin tinggi. Juga bukan berarti NGO
lingkungan semakin mudah bergerak dalam mengusung isu lingkungan ketingkat
nasional. Hal yang membawa perubahan masyarakat dalam isu lingkungan adalah
gempa bumi Kobe 1995, rangkaian kecelakaan reaktor nuklir di Fukui tahun 1995
dan Fukushima tahun 1997, isu reklamasi pantai teluk Isahaya 1997, dan isu
lingkungan lain yg terjadi antara tahun 1995-1997.[8] Maraknya
pemberitaan mengenai isu lingkungan tersebut meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai rentannya Jepang terhadap ancaman dari segi lingkungan. Kondisi ini
pula yang meningkatkan jumlah sukarelawan masyarakat untuk isu-isu lingkungan.
Dapat dikatakan bahwa menguatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan di Jepang
merupakan respon aktif atas isu-isu lingkungan yang terjadi
Mengenai keterlibatan dalam pembuatan kebijakan, NGO
lingkungan di Jepang memiliki beberapa titik masuk dalam proses pembuatan
kebijakan. Sejak tahun 1997 pula, diet mengesahkan Environmental Impact Assesment (EIA). Suatu garis besar tingkat
menteri yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan.
EIA merupakan sistem dinamika pihak yang mengajukan
proyek-proyek pembangunan dapat mengembangkan proyek dari sudut pandang
perlindungan lingkungan, berdasarkan persetujuan instansi yang memberikan izin.[9]
Sistem EIA juga memiliki sistem di tingakat pemerintahan lokal. Di tingkat ini lah
masyarakat bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan mengenai dengar pendapat dan
pemberian laporan ke tingkat pemerintah lokal mengenai proyek yang akan di
laksanakn di wilayah tersebut[10]. Kritik terhadap EIA adalah terbatasnya
informasi yang bisa didapatkan masyarakat tentang pemerintah, yang menunjukan
bahwa pemerintah Jepang masih berusah mengendalikan pemberitaan ke publik untuk
informasi berkaitan dengan isu lingkungan.
Untuk proses peradilan, isu lingkungan merupakan hal
yang jarang terjadi dalam peradilan Jepang. Ini disebabkan mahalnya proses
peradilan serta panjangnya proses untuk peradilan isu lingkungan. Keterbatasan
NGO lingkungan dari segi pendanaan membuat sedikit NGO lingkungan yang mau mengambil
resiko menuntut secara hukum kebijakan lingkungan Jepang. Selain itu, walaupun
berhasil mencapai tingkat Mahkamah Agung, Mahkamah Agung akan lebih berpihak
terhaadap kebijakan pemerintah.[11]
Sebagian besar pendanaan NGO lingkungan Jepang
bersal dari iuran anggota mereka serta hasil usaha mandiri NGO. Sumber lainnya
adalah sumbangan dari perusahaan maupun yayasan. Namun di tahun-tahun akhir
ini, berbagai NGO mulai bergantung dari dana pemerintah, salah satunya adalah
melalui Japan Environmental Corporation (JEC)
yang berada dibawah Environment Agency. Dana
yang dikeluarkan melalui JEC ditujukan untuk NGO lingkungan dengan ruang
lingkup berskala lokal. Namun dana pemerintah tersebut menuai kritik karena
sebagian besar mengalir ke NGO semi pemerintah dan NGO yang berafiliasi dengan
sektor industri. Selain sumber dana internal dan dana pemerintah, beberapa NGO
lingkungan yang memiliki organisasi induk di tingkat internasional juga banyak
mendapat dari organisasi induk tersebut.
NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas kelompok dalam mata kuliah Politik
Luar Negeri Jepang oleh ST Khadijah Tinni (20100510112) dan Fadli Syahdiyono (20100510109). Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[1]
Japan and The Whaling Ban: Resenment Sustain A Moribund Industrial Trade
https:www.japantimes.co.jp
[3] Robert J mason. Wither Japan’s Environmental Movement ?An
Assesmenty Of Problem And Prospect At National Level.
[5] Op.cit. Robert J Mason.
[6] Robert J.Mason. Whither Japan’s Environmental Movement? An
Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 72.
[7] Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An
Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 73
[8]Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An
Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 74
[9]
Enviromental impac Assesment. www.env.go.jp/en/policy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar