Laman

Rabu, 03 April 2013

Kebijakan Jepang Terhadap Persoalan Lingkungan Hidup


 
Sumber Gambar: http://phys.org/news/2011-12-tokyo-fukushima-greenpeace.html


A.     Konsistensi Jepang dalam Menjalankan Kebijakan Lingkunan Hidup
Pemerintah Jepang tidak mau terburu-buru mengikuti trend lingkungan yang berlaku dan tidak begitu saja menyetujui kesepakatan internasional sebelum mengetahui kesiapan industri dan masyarakat Jepang. Namun bukan berarti pemerintah Jepang menentang kesepakatan internasional, tetapi lebih pada upaya mengkaji sisi positif dan negatif yang ada agar dapat diambil keuntungan dari isu internasional tersebut. Misalnya saja isu pemanasan global, pemerintah Jepang tidak langsung menerima kesepakatan pengurangan emisi CO2 karena ingin mengetahui faktor apa yang paling besar mempengaruhi pembuangan CO2. Dari fakor tersebut, pemerintah Jepang membuat alternative pengurangan CO2. Di Jepang, industri (44,6%), rumah tangga (36,7%) dan transportasi (18,1%) adalah penghasil CO2 terbesar. Industri ditekan agar lebih efisien guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, promosi penggunaan barang daur ulang di rumah tangga gencar dilakukan, dan pemerintah mendukung penuh proyek pembuatan mobil hybrid untuk mengurangi pengeluaran CO2.[1]
Masyarakat Jepang terkenal dengan komitmen dan konsistensinya karena itu apabila palu telah diketuk, maka tidak ada proses tawar-menawar hukum. Apabila pemerintah Jepang telah menyepakati suatu perjanjian dan dituangkan dalam bentuk peraturan, maka seluruh pihak dengan sendirinya akan mematuhi peraturan tersebut. Hal tersebut sempat juga disinggung oleh Mr. Tetsuro Fujitsuka, kebijakan lingkungan di Jepang jauh lebih lunak dari di Indonesia namun di Jepang tidak ada tawar menawar dalam implementasinya.[2] Di Indonesia walaupun peraturannya lebih ketat daripada di Jepang namun beberapa contoh kasus menunjukkan implementasinya jauh dari harapan, misalnya kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, AMDAL-nya tidak untuk perusahaan pengeboran gas tetapi izin tetap saja keluar, atau pembangunan pantai indah kapuk, AMDAL-nya sangat bermasalah namun pembangunan terus saja berjalan tanpa ada hambatan.
Untuk mewujudkan suatu kebijakan lingkungan, pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan tidak hanya menjadi motor penggerak tetapi juga contoh teladan. Misalnya dalam hal penggunaan kertas daur ulang, kertas tisu, dan mobil hybrid, Kementrian Lingkungan menjadi perintisnya. Begitu juga dengan kampanye penggunaan kertas bolak-balik, Kementrian Lingkungan yang pertama sekali melakukannya. Dalam penggunaan seragam kerja, karpet, selimut, sarung tangan karyawan PNS, pemerintah mengusahakan bahan dari bahan daur ulang.
Kebijakan yang akan dibuat tidak hanya milik elit pemerintahan, intelektual, atau usahawan tetapi juga mengikutsertakan seluruh stakeholder terkait. Misalnya dalam kampanye eco-produk, seluruh perusahaan manufaktur harus menyediakan informasi lingkungan dalam produk mereka, pemerintah memberikan ekolabel pada produk-produk yang telah memenuhi standar internasional, dan masyarakat diminta untuk membeli eko produk ketika berbelanja.[3]
Pemerintah mendukung penuh penggunaan kertas daur ulang. Industri kertas daur ulang didukung penuh oleh permodalan, teknologi dan pemasaran. Seluruh Bank diharuskan memberikan kemudahan permodalan bagi industri kertas daur ulang, pemerintah memberikan keringanan pajak, lembaga penelitian pemerintah mendukung dengan teknologi terbaru, dan pemerintah menyediakan diri menjadi pasar pertama industri kertas daur ulang. Semua usaha tersebut untuk menjadikan industri kertas daur ulang menjadi industri besar bahkan dapat mengekspor hasilnya ke luar negeri.
Realisasi pelaksanaan kebijakan melebihi target yang dicanangkan. Target yang ditetapkan bukanlah target minimalis, namun setiap diri orang Jepang selalu melihat sebuah target sebagai perolehan minimalis yang harus dicapai sedangkan kelebihan dari targetlah yang disebut prestasi. Karena itu orang Jepang yang selalu diberikan motivasi untuk berprestasi selalu bekerja untuk meraih prestasi bukan target. Misalnya saja pencapaian target pengurangan penggunaan kertas (109,4%), pengurangan konsumsi energi bahan bakar fosil (151,9%), pengurangan sampah atau limbah di kantor pemerintah (143,2%) melebihi dari yang target dicanangkan.[4]
Pemerintah giat mensosialisasikan program lingkungan ke masyarakat. Masyarakat dihimbau agar membeli produk yang mudah didaur ulang, hemat menggunakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan seperti bahan bakar fosil maupun terbaharukan seperti kertas. Pemakaian kertas bolak-bolik juga dilakukan disekolah, kantor-kantor swasta, dsbnya. Penggunaan listrik, air dan energi lainnya berkurang hingga 90% selama 5 tahun dari tahun 1995 hingga 2000. Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding naik kendaraan pribadi, dengan catatan kendaraan umum nyaman, aman dan cepat sampai ke tujuan.
Masyarakat mengikuti program lingkungan dimulai dari yang sederhana. Slogan “Think Globally Act Locally” terpatri pada sebagian besar masyarakat Jepang. Menurut penjelasan Dr. Tetsuro Fujitsuka, masyarakat Jepang sudah sadar lingkungan sehingga dalam pemilihan produk lebih senang membeli produk yang sudah mencantumkan ekolabel atau informasi lingkungan pada kemasannya. Dan tambahan lagi angka pengurangan limbah di masyarakat Jepang menurun hingga 70% selama 5 tahun, hal tersebut berarti berkurang 14%/tahun.[5]
Pemerintah memberi anggaran yang memadai pada kementrian lingkungan, walaupun tidak disebutkan berapa spesifiknya namun sebagai gambaran anggaran Kementrian Lingkungan nomor 2 tertinggi di antara departemen lainnya. Dr. Tetsuro mengatakan anggaran untuk Kementrian Lingkungan bukan cost tapi investasi jangka panjang, karena yang namanya anggaran pertumbuhan ekonomi, dan berbagai angka lainnya bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Apabila lingkungan tercemar otomatis masyarakat tidak sejahtera sehingga tujuan dari aktifitas ekonomi, sosial dan politik menjadi sia-sia belaka.

B.     Dinamika Jepang dalam memandang Kebijakan Lingkungan Hidup
Dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan hidup dipengaruhi 2 faktor internal mau pun eksternal. Peran politik domestik, NGO lingkungan, kelompok epistemik serta sektor industri memberi dinamika dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan, NGO lingkungan di Jepang tidak lepas dari isu lingkungan itu sendiri, dekade 1970 dan 1980 merupakan masa di mana Jepang sangat rentan dengan isu lingkungan, hal ini berkaitan dengan perkembangan industri, terutama konstruksi. Jepang mengalami masa di mana konsumsi perkapita beton dan baja yang paling tinggi di bandingkan dengan negara maju lainnya, dengan pengeluaran untuk pembangunan melebihi produk domestik bruto Amerika Serikat dan Inggris.[6] Lebih lanjut, kesadaran masyarakat cukup rendah terhadap lingkungan. Namun di sisi lain, Jepang memiliki efisiensi energi yang tinggi serta emisi karbon yang baik  di bandingkan negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) lainnya.
Memasuki dekade 1990an, terjadi perubahan drastis dalam posisi pemerintah Jepang terhadap isu lingkungan. Melalui United Nation Conference on Environment And Development tahun 1992, pemerintah Jepang seperti berusaha menangkal persepsi negatif mengenai buruknya kinerja pemerintah dalam isu lingkungan.[7] Usaha pemerintah Jepang terlihat melalui sikap proaktif Jepang dalam mengambil kepemimpinan dalam United Nations Framework convention on climate change (UNFCCC) COP di Kyoto.
Perubahan sikap pemerintah bukan berarti peningkatan kesadaran masyarakat akan isu Lingkungan semakin tinggi. Juga bukan berarti NGO lingkungan semakin mudah bergerak dalam mengusung isu lingkungan ketingkat nasional. Hal yang membawa perubahan masyarakat dalam isu lingkungan adalah gempa bumi Kobe 1995, rangkaian kecelakaan reaktor nuklir di Fukui tahun 1995 dan Fukushima tahun 1997, isu reklamasi pantai teluk Isahaya 1997, dan isu lingkungan lain yg terjadi antara tahun 1995-1997.[8] Maraknya pemberitaan mengenai isu lingkungan tersebut meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai rentannya Jepang terhadap ancaman dari segi lingkungan. Kondisi ini pula yang meningkatkan jumlah sukarelawan masyarakat untuk isu-isu lingkungan. Dapat dikatakan bahwa menguatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan di Jepang merupakan respon aktif atas isu-isu lingkungan yang terjadi
Mengenai keterlibatan dalam pembuatan kebijakan, NGO lingkungan di Jepang memiliki beberapa titik masuk dalam proses pembuatan kebijakan. Sejak tahun 1997 pula, diet mengesahkan Environmental Impact Assesment (EIA). Suatu garis besar tingkat menteri yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
EIA merupakan sistem dinamika pihak yang mengajukan proyek-proyek pembangunan dapat mengembangkan proyek dari sudut pandang perlindungan lingkungan, berdasarkan persetujuan instansi yang memberikan izin.[9] Sistem EIA juga memiliki sistem di tingakat pemerintahan lokal. Di tingkat ini lah masyarakat bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan mengenai dengar pendapat dan pemberian laporan ke tingkat pemerintah lokal mengenai proyek yang akan di laksanakn di wilayah tersebut[10].  Kritik terhadap EIA adalah terbatasnya informasi yang bisa didapatkan masyarakat tentang pemerintah, yang menunjukan bahwa pemerintah Jepang masih berusah mengendalikan pemberitaan ke publik untuk informasi berkaitan dengan isu lingkungan.
Untuk proses peradilan, isu lingkungan merupakan hal yang jarang terjadi dalam peradilan Jepang. Ini disebabkan mahalnya proses peradilan serta panjangnya proses untuk peradilan isu lingkungan. Keterbatasan NGO lingkungan dari segi pendanaan membuat sedikit NGO lingkungan yang mau mengambil resiko menuntut secara hukum kebijakan lingkungan Jepang. Selain itu, walaupun berhasil mencapai tingkat Mahkamah Agung, Mahkamah Agung akan lebih berpihak terhaadap kebijakan pemerintah.[11]
Sebagian besar pendanaan NGO lingkungan Jepang bersal dari iuran anggota mereka serta hasil usaha mandiri NGO. Sumber lainnya adalah sumbangan dari perusahaan maupun yayasan. Namun di tahun-tahun akhir ini, berbagai NGO mulai bergantung dari dana pemerintah, salah satunya adalah melalui Japan Environmental Corporation (JEC) yang berada dibawah Environment Agency. Dana yang dikeluarkan melalui JEC ditujukan untuk NGO lingkungan dengan ruang lingkup berskala lokal. Namun dana pemerintah tersebut menuai kritik karena sebagian besar mengalir ke NGO semi pemerintah dan NGO yang berafiliasi dengan sektor industri. Selain sumber dana internal dan dana pemerintah, beberapa NGO lingkungan yang memiliki organisasi induk di tingkat internasional juga banyak mendapat dari organisasi induk tersebut.

NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas kelompok dalam mata kuliah Politik Luar Negeri Jepang oleh ST Khadijah Tinni (20100510112) dan Fadli Syahdiyono (20100510109). Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

[1] Japan and The Whaling Ban: Resenment Sustain A Moribund Industrial Trade https:www.japantimes.co.jp

[2] Keiko Hirata. “Beached Whales: Examining Japan’s Rejection Of International Norm.

[3] Robert J mason. Wither Japan’s Environmental Movement ?An Assesmenty Of Problem And Prospect At National Level.

[4] https:www.japantimes.co.jp.

[5] Op.cit.  Robert J Mason.

[6] Robert J.Mason. Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 72.

[7] Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 73
[8]Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 74

[9] Enviromental impac Assesment. www.env.go.jp/en/policy.

[10] Overview of The Environmental Assessment System. http://www.epc.pref.osaka.jp.


[11] Loc.cit. Robert J Mason.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar