A.
Kebijakan Hak Asasi Manusia Secara Umum
Munculnya isu hak asasi
manusia secara masif dan berkaitan langsung dengan persoalan hubungan
internasional pertama kali tertuang dalam dokumen awal pendirian PBB di
pertengahan hingga akhir tahun 1940-an.
Perkembangan perhatian
terhadap isu hak asasi manusia sendiri dibedakan menjadi tiga runtutan alur
periode.[1]
Periode pertama ditandai dengan revolusi Amerika dan Perancis pada tahun
1780-an dan 1790-an yang memperlihatkan adanya tuntutan-tuntutan terhadap
persoalan sipil dan politik. Yang di mana fokus utamanya adalah untuk
melindungi individu dari kediktatotar negara. Perjuangan tersebut pun tidak
terlepas dari pemahaman liberal atas kesetaraan dan kebebasan, termasuk dalam
hak untuk memilih, hak untuk kebebasan berbicara dan pers, dan hak dalam proses
hukum.
Periode ke dua
dipelopori oleh masifitas kelas pekerja dan gerakan sosial lainnya yang berkembang
di abad 19 dan 20 yang memprotes tentang penerapan ide-ide untuk melindungi
hak-hak individu yang tidak konsisten oleh kelompok yang berkuasa di
negara-negara liberal. Selain itu mereka berpendapat bahwa hak-hak sipil dan
politik memiliki arti kecil jika bagian yang signifikan dari masyarakat tidak
diberikan, seperti subsisten atau layanan social, kesehatan atau pendidikan.
Maka dapat ditarik benang merah bahwa tuntutan generasi kedua merupakan hak ekonomi,
sosial, dan budaya, yang semua itu adalah tugas negara untuk menjamin
kelangsungan hidup dan pengembangan semua warganya.
Adapun periode terbaru atau periode ketiga adalah
tuntutan dari negara-negara dunia ketiga, untuk perlindungan terhadap "hak
solidaritas". hak Ini termasuk untuk hak lingkungan yang sehat dan
seimbang, hak atas pembangunan ekonomi dan sosial, serta hak untuk perdamaian.
Merebaknya pandangan
pro terhadap persoalan hak asasi manusia juga dibarengi dengan pandangan yang
memandang isu tersebut sebagai produk negara Barat untuk memperluas pengaruhnya
ke seluruh dunia. Sehingga menimbulkan perdebatan yang pelik pula dalam ‘manabrakkannya’
dengan nilai-nilai ketimuran Asia. Tak hayal pun pandangan hak asasi manusia
yang diciptakan di Asia dengan antusiasme barat yang tinggi dipandang sebagai
bentuk baru dari imperialisme budaya.
Konferensi Bangkok yang dilaksanakan pada tahun 1993
sebagai persiapan awal dari konferensi dunia hak asasi manusia pun menimbulkan
banyaknya sikap keras dari beberapa negara Asia (seperti China, Indonesia,
Singapura, dan Malaysia) yang memandang bahwa banyak dari nilai-nilai hak asasi
manusia yang asing bagi Asia dan bahwa ada bahaya dari nilai-nilai tersebut yang
merupakan titipan Barat. Dan dalam Konferensi Bangkok diproduksi deklarasi, di
mana pemerintah Asia menyatakan bahwa negara-negara maju seharusnya tidak
mengkaitkan bantuan dengan pertimbangan hak asasi manusia, dan harus
menghormati hak-hak kedaulatan negara untuk mengelolah hak asasi manusia dalam
perbatasan mereka, dan juga mempromosikan hak asasi manusia melalui pengenaan
nilai-nilai di Asia. Dan dalam hal tersebut, Jepang memiliki posisi yang sulit di
antara pilihan mempertahankan solidaritas dengan Asia sambil tetap setia pada
komitmennya untuk mendukung Barat, terutama Amerika Serikat.
B.
Posisi Jepang dalam Memandang Kebijakan Hak Asasi
Manusia
Menanggapi
semakin gencarnya sosialisasi dan keikutsertaan negara-negara di dunia dalam
meretifikasi kebijakan-kebijakan tentang hak asasi manusia yang dipelopori oleh
PBB sebagai institusi internasional,
ternyata tidak secara langsung mendorong Jepang untuk ikut terlibat. Jepang
baru ikut terlibat setelah meratifikasi traktat PBB tahun 1955 tentang hak
politik untuk perempuan dan tahun 1985 tentang penindasan yang bersifat
personal dan ekspoitasi prostitusi terhadap pihak lain.
Selama tahun
1980an Jepang pun hanya meratifikasi tentang perjanjian pengungsi yang dari
kaca mata lain dapat dilihat bahwa ratifikasi yang dilakukan Jepang lebih
condong terhadap perjanjian yang berfokus persoalan ekonomi dari pada isu
sosial atau pun budaya.
Melihat dari
kurang antusiasnya Jepang terhadap persoalan hak asasi manusi hingga akhir
tahun 1980an ternyata dipengaruhi oleh 3 hal.[2]
Pertama, Jepang mengikuti aturan tersebut untuk memperlihatkan bahwa Jepang
juga memiliki hukum yang sama yang membela hak asasi manusia (hal ini lebih
cenderung memperlihatkan posisi Jepang yang hanya mengikuti Amerika). Kedua
pemerintah Jepang berusaha untuk melindungi dirinya dari upaya kritik
internasional yang berlatar belakang isu hak asasi manusia yang mungkin akan digunakan
oleh organisasi hak asasi manusia lokal untuk menekan secara masif dari luar.
Ketiga, Jepang tidak menginginkan akan adanya hal-hal yang dapat mengganggu
pertumbuhan perekonomian.
Pola perilaku Jepang
memperlihatkan perubahan di tahun 1990an. Perilaku pasif menjadi lebih terbuka
dan bertambah masif. Terlihat di tahun 1994 Jepang meratifikasi konfensi
tentang hak anak dan diskriminasi ras. Kementerian Luar Negeri Jepang pada
tahun 1997 pun mempersiapkan untuk meratifikasi konvensi penentangan terhadap penyiksaan
dan perlakuan kejam, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman.
Perubahan sikap Jepang
ini pun tidak terlepas dari 3 faktor utama yang saling berkesinambungan.[3]
Pertama, signifikansi posisi PBB dalam perang Gulf (Perang Korea) paska Perang
Dingin, yang membuat Jepang melihat bahwa krisis yang ditimbulkan oleh perang Gulf yang mengakibatkan hilangnya
kekuasaan Liberal Democratic Party (LDP) dalam mendominasi pemangku kekuasaan
politk Jepang di tahun 1993, sehingga
diperlukan upaya tindak cepat dari pemerintah Jepang untuk mengembalikan posisi
politik yang lebih stabil, walau ternyata hal tersebut tetap tidak
memperlihatkan titik terang. Kedua, hasil Deklarasi Bangkok yang telah secara tidak langsung mendorong
dan menekan Jepang untuk ikut andil untuk lebih memperhatikan isu-isu hak asasi
manusia demi memperlihatkan posisinya sebagai negara Asia dengan nilai-nilai
ke-Asia-an yang dimilikinya dan secara rendah diri mengikuti aturan Amerika. Ketiga,
keikutsertaan Jepang dalam mendeklarasikan hak asasi manusia dipandang oleh
Kementerian Luar Negeri Jepang sebagai upaya yang dapat membawa Jepang menjadi
salah satu kandidat dalam anggota tetap badan keamanan PBB.
Tetapi dalam
kasus tertentu, ikrar Jepang dalam melaksanakan traktar-traktar hak asasi
manusia yang
telah diratifikasi ternyata tidak berjalan sebagai mana mestinya. Seperti
contoh hak masyarakat Fukushima untuk meperoleh informasi tengtang tingkat
radiasi di lingkungan mereka yang mengalami ledakan pembangkit nuklir 11 Maret
2011 yang lalu tidak diperoleh secara maksimal. Bahkan tes radiasi pun lebih
besar dilakukan oleh pihak swasta. Ada pun untuk pesoalan panganbagi masyarakat
Fukushima tersebut, pemerintah prefektur telah meyakinkan warga bahwa makanan telah
diuji sebelum dibawa ke pasar. Namun pemerintah belum mendirikan sebuah proses
yang sistematis untuk mengukur tingkat radiasi dalam makanan dari daerah
tersebut dan mengkomunikasikan hasilnya kepada masyarakat.[4]
C.
ODA sebagai Instrumen HAM Internasional Jepang
Seperti
kebijakan luar negeri yang lain, kebijakan pembangunan luar negeri Jepang (Official
Development Assistance/ ODA) dipengaruhi
oleh peristiwa internasional dan iklim dalam negeri yang sesuai, berkonsilasi
antara apa yang melayani keprihatinan domestik dan merespon apa masyarakat
internasional. Dan karena aturan pengiriman Pasukan Pertahanan Jepang (JDF)
sangat dibatasi oleh Konstitusi Jepang, maka ODA memiliki fungsi sebagai
instrumen utama kebijakan luar negeri Jepang. Oleh karena itu, setiap perubahan
signifikan dalam lingkungan internasional atau domestik pasti memerlukan
pembaharuan atau penyesuaian kebijakan ODA.
ODA yang pertama kali disepakati oleh kabinet Jepang pada 30
Juni 1992[5]
merupakan cerminan perspektif baru Jepang terhadap dunia sejak berakhirnya
Perang Dingin. 4 prinsip ODA yang diperkenalkan oleh PM Kaifu Tanoshiki pada
tahun 1991 sebelumnya, pada 3 bulir pertama berfokus pada persoalan militer
tetapi pada bulir ke 4 berkonsentrasi terhadap proses promosi demokratisasi,
melindungi hak asasi manusia, dan ekonomi berorientasi pasar.
Adapun secara gambling, empat Prinsip Piagam ODA adalah:[6]
1. Kompatibilitas antara pelestarian lingkungan dan
pembangunan.
2. Menghindari penggunaan dana ODA untuk keperluan
militer dan untuk tujuan bertanggung jawab untuk mengobarkan konflik
internasional.
3. Pemantauan pengeluaran militer negara-negara
berkembang, kegiatan dalam mengembangkan dan memproduksi senjata pemusnah
massal, dan ekspor atau impor senjata.
4. Pemantauan kegiatan untuk mempromosikan
demokratisasi di negara-negara berkembang, dan upaya mereka untuk
memperkenalkan ekonomi berorientasi pasar dan melindungi hak asasi manusia dan
kebebasan warga negara mereka.
ODA telah
digunakan Jepang sebagai alat diplomasi penting untuk menjamin kepentingan
nasional Jepang sejak awal, misalnya, diketahui bahwa ODA dimulai sebagai
bagian dari perbaikan perang di awal 1950-an. Kesepakatan Jepang-Burma pada perbaikan
dan kerjasama ekonomi pada tahun 1954, diikuti oleh perjanjian serupa dengan
negara Asia lainnya. Dengan demikian, ODA didorong oleh motivasi politik untuk
membangun kembali hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara Asia yang terganggu.
Kemudian, Perang Dingin menempatkan Jepang di bawah tekanan Amerika Serikat
untuk memobilisasi dukungan ODA ke negara-negara dunia ketiga perlu untuk
membela diri dari blok komunis. Bahkan, ODA sacara substansial diarahkan ke
negara-negara yang terkena dampak oleh Perang Vietnam, serta negara sebagai
geopolitik strategis seperti Turki dan Mesir.[7]
ODA
terbukti berarti ketika ditangani dengan hubungan bilateral yang penting.
Misalnya, Jepang mengumumkan Pinjaman Paket Yen pertama ke China pada tahun
1979, setelah berakhirnya Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan Jepang-China. Dengan cara yang sama, Jepang menyimpulkan
Perjanjian Kerjasama
Ekonomi dan Teknik dengan Arab Saudi pada tahun 1975 dalam rangka untuk
memperkuat hubungan yang sudah menjadi keharusan karena Krisis Minyak.
Upaya tersebut
pada gilirannya menguntungkan Jepang dalam memastikan keamanan dan kemakmurannya
sendiri. Misalnya juga kasus Krisis Keuangan Asia di akhir 1990-an. Pemerintah Jepang
mengumumkan "The New Miyazawa Initiative"[8]
untuk membantu negara-negara Asia dalam mengatasi kesulitan ekonomi mereka dan
untuk berkontribusi pada stabilitas pasar keuangan internasional. Jepang
berkomitmen untuk menyediakan paket kebijakan sebesar 30 miliar dolar, yang
terdiri pinjaman guarantees dari Bank Ekspor-Impor Jepang, serta pinjaman ODA.
Inisiatif ini, langsung atau tidak langsung, melayani kepentingan Jepang, sebab
negara-negara Asia adalah mitra penting bagi perdagangan dan investasi.
NB: Tulisan ini
merupakan bagian dari tugas kelompok dalam mata kuliah Politik Luar Negeri
Jepang oleh ST Khadijah Tinni (20100510112) dan Fadli Syahdiyono (20100510109).
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[1] Ian Neary. Japanese Foreign Policy and Human Right, dalam Japanese Foreign Policy Today. 2000. Hal. 84.
[2] Ibid. Hal. 89.
[4] http://www.hrw.org/news/2012/03/09/japan-year-after-fukushima-response-falls-short
[7]
Kazuo Sunaga. The Reshaping of Japan's Official
Development Assistance (ODA) Charter.
Diakses dari http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/paper0411.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar