Laman

Rabu, 03 April 2013

Kebijakan Jepang Terhadap Persoalan Hak Asasi Manusia


 
Sumber Gambar: http://burmadigest.info/2007/12/25/human-rights-day-in-japan-2/
A.    Kebijakan Hak Asasi Manusia Secara Umum
Munculnya isu hak asasi manusia secara masif dan berkaitan langsung dengan persoalan hubungan internasional pertama kali tertuang dalam dokumen awal pendirian PBB di pertengahan hingga akhir tahun 1940-an.
Perkembangan perhatian terhadap isu hak asasi manusia sendiri dibedakan menjadi tiga runtutan alur periode.[1] Periode pertama ditandai dengan revolusi Amerika dan Perancis pada tahun 1780-an dan 1790-an yang memperlihatkan adanya tuntutan-tuntutan terhadap persoalan sipil dan politik. Yang di mana fokus utamanya adalah untuk melindungi individu dari kediktatotar negara. Perjuangan tersebut pun tidak terlepas dari pemahaman liberal atas kesetaraan dan kebebasan, termasuk dalam hak untuk memilih, hak untuk kebebasan berbicara dan pers, dan hak dalam proses hukum.
Periode ke dua dipelopori oleh masifitas kelas pekerja dan gerakan sosial lainnya yang berkembang di abad 19 dan 20 yang memprotes tentang penerapan ide-ide untuk melindungi hak-hak individu yang tidak konsisten oleh kelompok yang berkuasa di negara-negara liberal. Selain itu mereka berpendapat bahwa hak-hak sipil dan politik memiliki arti kecil jika bagian yang signifikan dari masyarakat tidak diberikan, seperti subsisten atau layanan social, kesehatan atau pendidikan. Maka dapat ditarik benang merah bahwa tuntutan generasi kedua merupakan hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang semua itu adalah tugas negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan semua warganya. 
Adapun periode terbaru atau periode ketiga adalah tuntutan dari negara-negara dunia ketiga, untuk perlindungan terhadap "hak solidaritas". hak Ini termasuk untuk hak lingkungan yang sehat dan seimbang, hak atas pembangunan ekonomi dan sosial, serta hak untuk perdamaian. 
Merebaknya pandangan pro terhadap persoalan hak asasi manusia juga dibarengi dengan pandangan yang memandang isu tersebut sebagai produk negara Barat untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia. Sehingga menimbulkan perdebatan yang pelik pula dalam ‘manabrakkannya’ dengan nilai-nilai ketimuran Asia. Tak hayal pun pandangan hak asasi manusia yang diciptakan di Asia dengan antusiasme barat yang tinggi dipandang sebagai bentuk baru dari imperialisme budaya.
Konferensi Bangkok yang dilaksanakan pada tahun 1993 sebagai persiapan awal dari konferensi dunia hak asasi manusia pun menimbulkan banyaknya sikap keras dari beberapa negara Asia (seperti China, Indonesia, Singapura, dan Malaysia) yang memandang bahwa banyak dari nilai-nilai hak asasi manusia yang asing bagi Asia dan bahwa ada bahaya dari nilai-nilai tersebut yang merupakan titipan Barat. Dan dalam Konferensi Bangkok diproduksi deklarasi, di mana pemerintah Asia menyatakan bahwa negara-negara maju seharusnya tidak mengkaitkan bantuan dengan pertimbangan hak asasi manusia, dan harus menghormati hak-hak kedaulatan negara untuk mengelolah hak asasi manusia dalam perbatasan mereka, dan juga mempromosikan hak asasi manusia melalui pengenaan nilai-nilai di Asia. Dan dalam hal tersebut, Jepang memiliki posisi yang sulit di antara pilihan mempertahankan solidaritas dengan Asia sambil tetap setia pada komitmennya untuk mendukung Barat, terutama Amerika Serikat.
B.     Posisi Jepang dalam Memandang Kebijakan Hak Asasi Manusia
Menanggapi semakin gencarnya sosialisasi dan keikutsertaan negara-negara di dunia dalam meretifikasi kebijakan-kebijakan tentang hak asasi manusia yang dipelopori oleh PBB  sebagai institusi internasional, ternyata tidak secara langsung mendorong Jepang untuk ikut terlibat. Jepang baru ikut terlibat setelah meratifikasi traktat PBB tahun 1955 tentang hak politik untuk perempuan dan tahun 1985 tentang penindasan yang bersifat personal dan ekspoitasi prostitusi terhadap pihak lain. 
Selama tahun 1980an Jepang pun hanya meratifikasi tentang perjanjian pengungsi yang dari kaca mata lain dapat dilihat bahwa ratifikasi yang dilakukan Jepang lebih condong terhadap perjanjian yang berfokus persoalan ekonomi dari pada isu sosial atau pun budaya.
Melihat dari kurang antusiasnya Jepang terhadap persoalan hak asasi manusi hingga akhir tahun 1980an ternyata dipengaruhi oleh 3 hal.[2] Pertama, Jepang mengikuti aturan tersebut untuk memperlihatkan bahwa Jepang juga memiliki hukum yang sama yang membela hak asasi manusia (hal ini lebih cenderung memperlihatkan posisi Jepang yang hanya mengikuti Amerika). Kedua pemerintah Jepang berusaha untuk melindungi dirinya dari upaya kritik internasional yang berlatar belakang isu hak asasi manusia yang mungkin akan digunakan oleh organisasi hak asasi manusia lokal untuk menekan secara masif dari luar. Ketiga, Jepang tidak menginginkan akan adanya hal-hal yang dapat mengganggu pertumbuhan perekonomian.
Pola perilaku Jepang memperlihatkan perubahan di tahun 1990an. Perilaku pasif menjadi lebih terbuka dan bertambah masif. Terlihat di tahun 1994 Jepang meratifikasi konfensi tentang hak anak dan diskriminasi ras. Kementerian Luar Negeri Jepang pada tahun 1997 pun mempersiapkan untuk meratifikasi konvensi penentangan terhadap penyiksaan dan perlakuan kejam, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. 
Perubahan sikap Jepang ini pun tidak terlepas dari 3 faktor utama yang saling berkesinambungan.[3] Pertama, signifikansi posisi PBB dalam perang Gulf (Perang Korea) paska Perang Dingin, yang membuat Jepang melihat bahwa krisis yang ditimbulkan oleh  perang Gulf yang mengakibatkan hilangnya kekuasaan Liberal Democratic Party (LDP) dalam mendominasi pemangku kekuasaan politk Jepang di tahun  1993, sehingga diperlukan upaya tindak cepat dari pemerintah Jepang untuk mengembalikan posisi politik yang lebih stabil, walau ternyata hal tersebut tetap tidak memperlihatkan titik terang. Kedua, hasil Deklarasi Bangkok  yang telah secara tidak langsung mendorong dan menekan Jepang untuk ikut andil untuk lebih memperhatikan isu-isu hak asasi manusia demi memperlihatkan posisinya sebagai negara Asia dengan nilai-nilai ke-Asia-an yang dimilikinya dan secara rendah diri mengikuti aturan Amerika. Ketiga, keikutsertaan Jepang dalam mendeklarasikan hak asasi manusia dipandang oleh Kementerian Luar Negeri Jepang sebagai upaya yang dapat membawa Jepang menjadi salah satu kandidat dalam anggota tetap badan keamanan PBB. 
Tetapi dalam kasus tertentu, ikrar Jepang dalam melaksanakan traktar-traktar hak asasi manusia yang telah diratifikasi ternyata tidak berjalan sebagai mana mestinya. Seperti contoh hak masyarakat Fukushima untuk meperoleh informasi tengtang tingkat radiasi di lingkungan mereka yang mengalami ledakan pembangkit nuklir 11 Maret 2011 yang lalu tidak diperoleh secara maksimal. Bahkan tes radiasi pun lebih besar dilakukan oleh pihak swasta. Ada pun untuk pesoalan panganbagi masyarakat Fukushima tersebut, pemerintah prefektur telah meyakinkan warga bahwa makanan telah diuji sebelum dibawa ke pasar. Namun pemerintah belum mendirikan sebuah proses yang sistematis untuk mengukur tingkat radiasi dalam makanan dari daerah tersebut dan mengkomunikasikan hasilnya kepada masyarakat.[4] 
 
C.    ODA sebagai Instrumen HAM Internasional Jepang
Seperti kebijakan luar negeri yang lain, kebijakan pembangunan luar negeri Jepang (Official Development Assistance/ ODA) dipengaruhi oleh peristiwa internasional dan iklim dalam negeri yang sesuai, berkonsilasi antara apa yang melayani keprihatinan domestik dan merespon apa masyarakat internasional. Dan karena aturan pengiriman Pasukan Pertahanan Jepang (JDF) sangat dibatasi oleh Konstitusi Jepang, maka ODA memiliki fungsi sebagai instrumen utama kebijakan luar negeri Jepang. Oleh karena itu, setiap perubahan signifikan dalam lingkungan internasional atau domestik pasti memerlukan pembaharuan atau penyesuaian kebijakan ODA. 
ODA yang pertama  kali disepakati oleh kabinet Jepang pada 30 Juni 1992[5] merupakan cerminan perspektif baru Jepang terhadap dunia sejak berakhirnya Perang Dingin. 4 prinsip ODA yang diperkenalkan oleh PM Kaifu Tanoshiki pada tahun 1991 sebelumnya, pada 3 bulir pertama berfokus pada persoalan militer tetapi pada bulir ke 4 berkonsentrasi terhadap proses promosi demokratisasi, melindungi hak asasi manusia, dan ekonomi berorientasi pasar.
Adapun secara gambling, empat Prinsip Piagam ODA adalah:[6]
1.  Kompatibilitas antara pelestarian lingkungan dan pembangunan.
2.  Menghindari penggunaan dana ODA untuk keperluan militer dan untuk tujuan bertanggung jawab untuk mengobarkan konflik internasional.
3.  Pemantauan pengeluaran militer negara-negara berkembang, kegiatan dalam mengembangkan dan memproduksi senjata pemusnah massal, dan ekspor atau impor senjata.
4.  Pemantauan kegiatan untuk mempromosikan demokratisasi di negara-negara berkembang, dan upaya mereka untuk memperkenalkan ekonomi berorientasi pasar dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan warga negara mereka.
ODA telah digunakan Jepang sebagai alat diplomasi penting untuk menjamin kepentingan nasional Jepang sejak awal, misalnya, diketahui bahwa ODA dimulai sebagai bagian dari perbaikan perang di awal 1950-an. Kesepakatan Jepang-Burma pada perbaikan dan kerjasama ekonomi pada tahun 1954, diikuti oleh perjanjian serupa dengan negara Asia lainnya. Dengan demikian, ODA didorong oleh motivasi politik untuk membangun kembali hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara Asia yang terganggu. Kemudian, Perang Dingin menempatkan Jepang di bawah tekanan Amerika Serikat untuk memobilisasi dukungan ODA ke negara-negara dunia ketiga perlu untuk membela diri dari blok komunis. Bahkan, ODA sacara substansial diarahkan ke negara-negara yang terkena dampak oleh Perang Vietnam, serta negara sebagai geopolitik strategis seperti Turki dan Mesir.[7]
ODA terbukti berarti ketika ditangani dengan hubungan bilateral yang penting. Misalnya, Jepang mengumumkan Pinjaman Paket Yen pertama ke China pada tahun 1979, setelah berakhirnya Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan Jepang-China. Dengan cara yang sama, Jepang menyimpulkan Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik dengan Arab Saudi pada tahun 1975 dalam rangka untuk memperkuat hubungan yang sudah menjadi keharusan karena Krisis Minyak. 
Upaya tersebut pada gilirannya menguntungkan Jepang dalam memastikan keamanan dan kemakmurannya sendiri. Misalnya juga kasus Krisis Keuangan Asia di akhir 1990-an. Pemerintah Jepang mengumumkan "The New Miyazawa Initiative"[8] untuk membantu negara-negara Asia dalam mengatasi kesulitan ekonomi mereka dan untuk berkontribusi pada stabilitas pasar keuangan internasional. Jepang berkomitmen untuk menyediakan paket kebijakan sebesar 30 miliar dolar, yang terdiri pinjaman guarantees dari Bank Ekspor-Impor Jepang, serta pinjaman ODA. Inisiatif ini, langsung atau tidak langsung, melayani kepentingan Jepang, sebab negara-negara Asia adalah mitra penting bagi perdagangan dan investasi.



NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas kelompok dalam mata kuliah Politik Luar Negeri Jepang oleh ST Khadijah Tinni (20100510112) dan Fadli Syahdiyono (20100510109). Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


[1]  Ian Neary. Japanese Foreign Policy and Human Right, dalam Japanese Foreign Policy Today. 2000. Hal. 84.

[2] Ibid. Hal. 89.
[3] Ibid. Hal 90-91.
[4] http://www.hrw.org/news/2012/03/09/japan-year-after-fukushima-response-falls-short
[5] http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1995/1basic.html
[6] Ibid.
[7]  Kazuo Sunaga. The Reshaping of Japan's Official Development Assistance (ODA) Charter. Diakses dari http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/paper0411.pdf
[8] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar