sumber gambar: japanportal.jp |
A. Kelompok
Perusahaan-Perusahaan Besar dan Pengaruhnya
Golongan kepentingan (interest group) di Jepang, antara
lain ialah kelompok perusahaan-perusahaan besar Jepang atau kelompok Big
Business. Ada empat (4) asosiasi bisnis (business associations) khusus yang
terutama/penting di Jepang,[1] yaitu Keidanren (Federation of Economic
Organizations), Nishio (Japan Chamber of
Commerce and Industry), Keizai Doyukai (japan Committee for Economic
Development), dan Nikkeiren (Federation
of Employeres Organization).
Di samping itu terdapat pula organisasi perusahaan swasta
(yang bersifat prifat), yaitu Keiretsuka
yang merupakan pengelompokan atau afiliasi dari perusahaan keluarga yang
membentuk aliansi bersatu-padu untuk bekerja menuju kesuksesan bersama satu
sama lain. Sistem keiretsu juga didasarkan pada kemitraan yang erat antara
pemerintah dan bisnis. Hal ini dapat dipahami sebagai jaring hubungan rumit
yang menghubungkan bank, produsen, pemasok, dan distributor dengan pemerintah
Jepang.[2]
Misalnya
Mitshubishi group.
Keidanren
(Federasi Bisnis Jepang) adalah sebuah organisasi ekonomi yang komprehensif
dengan keanggotaan terdiri dari 1.285 perusahaan perwakilan dari Jepang, 127
asosiasi industri nasional dan 47 organisasi ekonomi regional (seperti tanggal
29 Maret 2012). [3] Keidanren dapat dikatan
menjadi cerminan pemerintah Jepang itu sendiri, seperti melalui Keidanren Nature
Conservation Fund (KNCF) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Departemen Luar
Negeri, Keidanren
memberikan bantuan untuk upaya konservasi alam dilaksanakan oleh NGO/NPO di
negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia-Pasifik.
Nishio (Japan Chamber of
Commerce and Industry/JCCI) didirikan pada bulan Maret, 1878 di Tokyo.[4]
Sebagai pemimpin opini di kalangan ekonomi, JCCI merupakan ruang lokal dengan
menyajikan saran-saran mereka kepada pemerintah dan badan-badan lainnya, dan
membantu menerapkannya. JCCI juga memainkan peran penting dalam penyebaran
informasi mengenai kebijakan dan program pemerintah.
Adapun
Keizai Doyukai merupakan organisasi nonpartisan yang dibentuk pada tahun 1946
oleh 83 pemimpin bisnis yang disatukan oleh keinginan bersama untuk
berkontribusi pada rekonstruksi ekonomi Jepang. Keizai Doyukai telah memperkuat
peran kepemimpinan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat Jepang dan dalam
mencari solusi untuk masalah dalam negeri banyak dan memastikan keseluruhan
kesejahteraan masyarakat Jepang.[5] Dalam studi yang mendalam, serta
penelitian dan diskusi yang dilakukan Keizai Doyukai terhadap ekonomi Jepang,
dan dari hasil tersebut sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah dan industri,
serta masyarakat Jepang secara keseluruhan.
Nikkeiren
sendiri terdiri dari 47 asosiasi pengusaha daerah dan 60 perdagangan berbasis
kelompok.[6] Nikkeiren didirikan pada
tahun 1948 untuk mencerminkan suara manajemen pada waktu ketika Jepang
mengalami serangkaian pemogokan sebagai pengaruh dari meningkatnya gerakan
buruh. Dari hal tersebut Nikkeiren melakukan penelitian dan membuat proposal
kebijakan tentang isu manajemen perburuhan yang paling dikenal untuk menetapkan
pedoman dalam kenaikan upah dan kondisi kerja lainnya pada negosiasi dengan
serikat buruh. Dan kini Nikkeiren dan Keidanren melakukan penggabungan untuk
menciptakan kelompok pengusaha yang lebih efisien dan berpengaruh.
B. Bentuk Hubungan Kelompok Bisnis dan Pemerintah
Organisasi
bisnis Jepang merupakan salah satu aktor utama dalam kesuksesan ekonomi negara.
Adapun hubungan pebisnis bersama-sama dengan politisi dan birokrat, bersinergi
untuk menciptakan perekonomian Jepang yang mendunia. Sinergi ini sering disebut
sebagai Iron Triangle, di mana ketiga
aktor saling bersimbiosis mutualisme.[7]
Melalui
sudut pandang pebisnis, dapat tarik benang merah antara hubungan pebisnis dengan politisi, sebagai pebisnis memberikan political contribution, dan politisi
membuat kebijakan yang mendukung pebisnis. Serta hubungan antara bisnis dan
birokrat, dengan pebisnis ada yang melakukan ”amakudari” ke birokrat, begitu
pula sebaliknya dan birokrat memberikan dukungan untuk pebisnis dengan administrative guidance. Hubungan ini
terbentuk dalam kerangka kerjasama dimana birokrasi/pemerintah berusaha
mendorong bisnis agar dapat berkompetisi di dunia internasional.
Sumber
permodalan bisnis di Jepang yang tidak hanya berasal dari bank, perusahaan
asuransi, dan sumber modal lainnya, tetapi juga ditopang oleh kredit pinjaman
dari pemerintah serta pajak dan tabungan masyarakat Jepang secara keseluruhan. Hal
tersebut membuat pebisnis Jepang tidak perlu khawatir terhadap bottom line, sehingga perusahaan Jepang
dapat berkonsentrasi pada stabilitas jangka panjang dan pertumbuhan market
share yang mendorong terciptanya lifetime
employees serta pinjaman jangka panjang. Terkait dengan
permodalan dan hasil dari simbiosis antara pebisnis dengan pemerintah terbukti
karena kredit dari pemerintah Jepang berada dibalik kesuksesan para pebisnis.
Pemerintah menjamin ketersediaan sumber finansial.
Ada pun saat ini, kontrol
pemerintah dilakukan melalui Japan's Ministry of International Trade and
Industry (MITI) yang dibentuk pada tahun 1949 dari serikat Badan Perdagangan
dan Departemen Perdagangan dan Industri dalam upaya untuk mengekang inflasi
pascaperang dan memberikan kepemimpinan pemerintah dan bantuan untuk pemulihan
produktivitas industri dan pekerjaan.[8]
Dalam mengontrol pertukaran luar negeri dan perijinan teknologi asing. Untuk
menghindari monopoli dan mendorong kompetisi, MITI memastikan agar
perusahaan-perusahaan mendapatkan teknologi yang sama. Selain itu, MITI
membantu perusahaan yang mengalami depresi serta membantu perusahaan yang lemah
untuk bermerger. MITI bersama kementrian lainnya juga memberikan panduan
administrative bagi perusahaan dan pebisnis agar mereka dapat melakukan
aktivitas dengan garis yang paling produktif. Panduan ini tidak memiliki
paksaan hukum, namun pebisnis secara sukarela menerimanya.
Bisnis Jepang pun
memiliki kekuatan dalam hubungan antar kelompok sebagai satu kesatuan
masyarakat. Japan Incorporated oleh Chalmers Johnson
didefinisikan sebagai hubungan informal yang mengibaratkan Jepang sebagai
perusahaan. Hubungan yang erat antara pemerintah dan bisnis terjadi sesudah PD
II dimana dalam hubungan tersebut terdapat cita-cita bersama yaitu rekonstruksi
nasional dan pertumbuhan ekonomi untuk mengejar ketertinggalan dari Barat.[9] Japan Inc
sendiri memiliki dua komponen, yaitu struktur berupa institution dan policy/kebijakan.
C. Peran Kelompok Bisnis Terhadap Proses Pembentukan
Kebijakan
Sebagai salah satu
negara yang menganut paham demokrasi, Jepang dalam pembuatan kebijakan tak
luput dari peran berbagai pihak, yang meliputi supra struktur politik berfungsi
sebagai output/keluaran dan infra struktur sebagi input.
Komponen
supra struktur meliputi lembaga-lembaga negara atau pelengkap negara di Jepang
menurut konstitusi 1947 terdiri dari legislatif, executive dan yudikatif,
sedangkan infra struktur terdiri dari lima 5 komponen/unsur, yaitu:[10]
1. Partai politik (Political Party)
2. Golongan kepentingan (Interest Group)
3. Golongan penekan (Pressure Group)
4. Alat komunikasi politik (MediaPolitical
Communication)
5. Tokoh politik (Political Figure)
Jepang pun sebagai
suatu negara yang menganut sistem politik demokrasi, tidak dapat meniadakan
hidup dan berkembangnya partai politik, dengan kata lain adanya partai politik
merupakan salah satu ciri bahwa Jepang merupakan negara demokrasi. Sampai saat
ini, Jepang menganut sistem politik multi party (banyak partai), yaitu ada enam
(6) partai besar:[11]
1. Liberal Democratic Party (LDP) (jiyu Minshuto or Jiminto), yang banyak
didukung oleh birokrat, pengusaha, dan petani.
2. The Japan Socialist Party (Nippon S
Hakaito), yang didukung oleh buruh(sayap kiri).
3. The Komneito (Clean Government
Party), yang didukung para penganut agama Budha.
4. The Democratic Socialist Party
(Minshato), yang didukung oleh buruh (sayap kanan).
5. The Japan Communist Party (Nihon
Kyosanto), yang didukung oleh komunis.
6. The United Social Democratic Party
(Shakai Minshu Rengo of Shminren), merupakan partai
termuda dan terkecil di Jepang, merupakan sempalan JSP (sosialis sayap kanan).
LDP yang kini menjadi
partai penguasa pemerintahan di Jepang dengan beranggotakan lebih besar dari
para pengusaha, memunculkan adanya anggapan bahwa para pengusaha sangat berperan
dalam menentukan kebijakan. Walaupun secara struktur partai merupakan komponen
infra struktur namun para pengusaha yang tergabung dalam LDP dapat memanfaatkan
LDP sebagai salah satu sarana untuk ikut campur dalam pembuatan kebijakan.
Faktanya banyak perdana mentri Jepang yang merupakan seorang pengusaha yang
sekaligus menjabat menjadi seorang politik. Serta Takafumi Horie yang telah
disebutkan dalam poin latar belakang paper ini, yang merupakan superstar bisnis
perusahaan internet dan multimedia sebagai salah satu anggota LDP merupakan
cerminan dari besarnya hubungan pebisnis dan pemerintah Jepang.
Dan dari pendekatan
konsep kelompok kepentingan yang digunakan dalam paper ini, terlihat bahwa
kelompok pebisnis melalui pendekatan dengan partai politik telah berusaha
melebarkan pengaruh dan kekuasaannya demi meningkatkan dan memperoleh
kepentingan kelompok mereka sekaligus mengukuhkan dominasi ekonominya.
Serta
kuatnya pengaruf finansial yang mana dimiliki oleh para pengusaha merupakan
salah satu faktor penting. Sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa ketika
para pengusaha dapat menduduki kursi politik sangatlah mudah untuk mempengaruhi
pemerintah. Kemajuan Jepang pun sangat jelas bahwa peran perusahaan besar
memegang kendali yang cukup besar, dengan adanya penyuntikan baik pajak maupun
non pajak yang menjadi salah satu pendapatan bagi Jepang,
Empat
kelompok
perusahaan-perusahaan atau kelompok Big Business Jepang
ditambah Keiretsuka sebagai organisasi perusahaan swasta dapat dikategorikan sebagai interest asosiasi, yang mempunyai pengaruh dalam
pembuatan kebijaksanaan di bidang bisnis dan industri Jepang. Karena situasi
dan kondisi politik di Jepang (tempat interest group tersebut hidup dan
berkembang), maka interset group bisa berubah menjadi pressure group (golongan
penekan), yaitu golongan yang bisa memaksakan kehendaknya kepada pihak
penguasa. Sehingga kelompok Big Bussines tersebut dapat disebut sebagai
golongan penekan (walau mungkin pada mulanya tidak ditujukan menjadi golongan
penekan), sebab kelompok tersebut (infra struktur politik) dalam pelaksanaan
sistem politik Jepang dapat mempengaruhi supra struktur politik (khususnya
pemerintah/eksekutif/kabinet) dalam
pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan. Hal ini akan tampak pada policy making process.
NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas paper UAS mata kuliah Pol. Pem. Asia Timur oleh, ST Khadijah Tinni, Fadli Syahdiyono, GoraArdian Dwi
Putra, Herni Putrianti, Rizky Aulia Hidayah S. Mahasiswa UMY, Jurusan Hubungan Internasional.
[1]
Yustisia. Mengenai
Sistem Politik Dan Sistem Pemerintahan Jepang. si.uns.ac.id.
Diakses pada tanggal 5 Januari 2013.
[2]
Margaret Rouse. Keiretsu.
http://searchcio-midmarket.techtarget.com/definition/keiretsu . Diakses pada
tanggal 5 Januari 2013.
[3] http://www.keidanren.or.jp/en/profile/pro001.html. Diakses pada tanggal 5 Januari
2013.
[4]
http://www.jcci.or.jp/jcci-e/jcciinto.html. Diakses pada tanggal 5 Januari
2013.
[5]
http://www.doyukai.or.jp/en/about/. Diakses pada tanggal 5 Januari
2013.
[6]
Sachiko Hirao. Nikkeiren, Keidanren join drive for greater efficiency.
http://www.japantimes.co.jp/text/nb20000519a5.html. Diakses pada tanggal 5 Januari
2013.
[7]Alya Mirza.
Keunikan dan Kompaknya "Iron Triangle"
Jepang. http://theblacklollipop.blogspot.com/2011/04/keunikan-dan-kompaknya-iron-triangle.html.
Diakses pada tanggal 3 Januari 2013.
[8]
John
Pike. Ministry of International Trade and Industry
(MITI) http://www.fas.org/irp/world/japan/miti.htm. Diakses pada tanggal 4
Januari 2013.
[9] Retno. Resensi Buku: Edwin O. Reischauer ”The
Japanese Today; Change and Continuity”.
http://chikupunya.multiply.com/journal/item/84/Bisnis-di-Jepang-resume-buku. Diakses pada tanggal 3 Januari
2013.
[10]
Bob Nur Hasan. Policy
Making in Japan. http://macamilmublog.blogspot.com/2012/10/policy-making-in-japan.html. Diakses pada tanggal 3 Januari
2013.
[11]
Koichi Kishimoto.
1988. Politics in Modern Japan Development and Organization.Third Edition.
Tokyo : Japan Echo Inc. Hal. 91-93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar