Pendidikan sejatinya merupakan proses belajar mengajar yang menimbulkan interaksi antara Guru/Dosen dengan para anak didiknya. Tetapi apa jadinya ketika Guru/Dosen tidak ingin menerima masukan dari anak didiknya, dan seolah mentransformasikan ilmu secara tertutup? Maka yang tercipta adalah proses pembelajaran yang pasif, di mana murid seakan seperti kerbau yang dicolok hidungnya. Sehingga yang nampak di dunia pendidikan saat ini adalah keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Kaum muda, kaum yang seharusnya membangun bangsa ini, lebih banyak melakukan tindakan-tidakan yang tidak bermanfaat, seperti tawuran dan menggunakan obat-obat terlarang, akibat dari kurangnya perhatian dari pihak sekolah, disamping faktor-faktor lainnya. Padahal K.H.A. Dahlan pernah memaparkan sebuah konsep pendidikan,”bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya, kebenaran harus sama-sama dicari bukan hanya milik guru”.
Dari analisis sosial pun ditemukan banyaknya sarjana yang berkeahlian dari ilmu yang telah diperolehnya malah menjadi bagian dari penyakit masyarakat, yaitu pengangguran. Akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap tingginya kebutuhan lapangan pekerjaan. Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sampai Agustus tahun 2010, tercatat ada 961.000 sarjana yang menganggur. Mereka berasal dari 2.900 perguruan tinggi dengan berbagai disiplin ilmu. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya, yang mencapai 740.000 sarjana. Tiap tahun, ada sedikitnya 300 sarjana baru di Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata 20% jadi pengangguran. Sungguh sangat memperihatinkan.
Lebih parahnya lagi dunia pendidikan pun dijadikan lahan bisnis oleh pihak-pihak yang selalu mengejar materi duniawi. Hingga pendidikan seakan hanya untuk golongan elit, dan golongan kecil tinggal gigit jari. Anak tukang becak, kelak juga menjadi tukang becak, anak pedagang kaki lima, juga akan meneruskan pekerjaan orang tuanya. Haruskah terus seperti ini? Bukankah dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 telah menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, dan penghidupan yang layak demi kemanusiaan”. Ini menampakkan adanya ketidakberesan dalam penerapan makna UUD tersebut.
Bercermin kepada keadaan Indonesia saat ini, Indonesia yang merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi selalu saja di cap sebagai negara dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Padahal Indonesia memiliki banyak cendikiawan-cendikiawan yang lahir di berbagai bidang keilmuan. Di antaranya Dr.Choirul Anwar yang merupakan Ilmuwan teknologi yang kini bekerja di Japan Advanced Instate of Science Technology (JAIST), ada juga Dr. Ken Susanto yang memperoleh gelar doktor di bidang Applied Electronic Engineering di Tokyo of Institute Technology Medical Science dari Tahoko University dan gelar doktornya yang lain beliau peroleh di bidang pendidikan di almamater di tempatnya mengajar Universitas Waseda. Prestasi akademinya tersebut menimbulkan decak kagum negara Jepang dan Amerika Serikat.
Selain itu tokoh yang lebih hangat di bicarakan ialah si penemu planet, Johny Setiawan yang bekerja di MPIA (Instute Astromi Max Planck) yang berpusat di Jerman, belum lagi Pak Habibie serta tokoh-tokoh lainnya. Lantas mengapa negara kita Indonesia ini, masih juga disebut sebagai negara dengan sumber daya manusia rendah? Pertanyaan yang sangat miris. Para cendikiawan-cendikian tersebut mengakui salah satu faktornya adalah kurangnya kecakapan pemerintah dalam memanfaatkan dan menghargai ilmu yang beliau-beliau miliki, sehingga dengan berat hati mereka pun lebih memiliki menerapkan ilmu mereka di negara lain. Sungguh merupakan kerugian yang besar bagi Indonesia. Sedangkan UU SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003 PASAL 5 ayat 4 menyatakan bahwa, ”Setiap warga negara yang memiliki potensi kecerdesan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan yang khusus”. Sekali lagi kita kembali dikecewakan oleh kebijakan-kebijakan dari wakil-wakil kita di kursi pemerintahan.
Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut ialah negara dalam arti yang sebenarnya bertanggung jawab memajukan sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan tegas dan adil bagi setiap golongan masyarakat. Serta masyarakat yang sadar akan arti penting dunia pendidikan. Karena tidakkah kita jenuh telah dijajah selama 350 tahun oleh kaum kolonial akibat kebodohan kita? Ditambah lagi dengan adanya sistem NKK/BKK di era Soeharto yang nyata-nyatanya membatasi gerak kaum intelektual yang hingga zaman reformasi sekarang ini masih saja dipertahankan hanya dengan kedok yang baru. Maka, sepatutnya kaum intelektual berpikir kritis guna memajukan pendidikan Indonesia yang semurninya demi tercapainya kelayakan pendidikan yang berkesinambungan untuk masa depan bangsa. Agar dunia pendidikan tidak sebatas sebagai lakon drama di atas panggung yang diseting oleh kaum-kaum tertentu semata. Tetapi menjadi lakon yang dapat memperlihatkan bahwa setiap tokoh adalah kunci penting terciptanya pentas yang sukses hingga akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar