Sumber Gambar: indonesiaeximbank.go.id |
Perspektif Merkantilis
Konsepsi
yang dikenal sebagai Nasionalisme-Ekonomi yang memiliki akar sejarah yang
paling panjang di antara keempat perspektif. Gagasan ini pertama kali muncul dalam
literatur ilmu ekonomi pada tulisan Jean Baptiste Colbert dan Friedrich List dalam literatur politik internasional gagasan yang dikenal sebagai realisme politik ini bisa ditemukan dalam tulisan klasik Thucydides SM, Niccolo
Machiavelli, Thimas Hibbes, hingga kini Hans J. Morgenthau dan Robert Gilpin.
Perspektif ini memandang Negara sebagai
aktor utama yang secara aktif dan rasional mengatur ekonomi dan meningkatkan
kekuasaannya. Di mana untuk memperoleh surplus dari perdagangan nasional yang
merupakan lingkungan yang penuh konflik, pemerintah masing-masing negara harus
mengembangkan kebijaksanaan “nasionalisme-ekonomi”, yaitu (a) menerapkan
pengendalian harga dan upah buruh; (b) menerapkan strategi industrialisasi
substitusi-impor; (c) menggalakkan ekspor manufaktur dan membatasi impor
komoditi dasar.
Selain
itu perspektif ini juga menegaskan kebijakan ekonomi selalu tunduk pada
kebijakan ekonomi dan kekuasaan. Artinya, jika menginginkan perubahan sistem ekonomi
internasional yang tidak mendukung kepentingannya, suatu Negara harus mampu
mengubah distribusi kekuatan politik internasional. Jika hal tersebut terjadi
pada Negara yang lemah, maka pemikir merkantilis menganjurkan agar Negara tersebut
melakukan intervensi pasar untuk melindungi ekonomi domestiknya dari dominasi
asing.
Seperti
disebutkan sebelumnya, gagasan merkantilisme dalam literatur ekonomi sama
dengan paham realisme pada ilmu politik. Sehingga kritiknya pun sama, di mana
perspektif ini terlalu berlebihan dalam menekankan kepentingan nasional sehingga
merugikan kepentingan global. Para pengkritik paham ini terutama kaum liberal menunjukkan bahwa penekanan yang berlebihan
pada kepentingan nasional sangat mengganggu efisiensi ekonomi global.
Perspektif Liberal
Kemunculan
perspektif ini pada awalnya sebagai alternatif yang diajukan oleh pengkritik
merkantilisme, yang dipelopori oleh Adam Smith dan David Ricardo dengan
menentang pengendalian ekonomi domestik dan internasional yang berlebihan. Perspektif
liberal mengajukan argumen bahwa cara yang paling tepat untuk meningkatkan
kekayaan nasional adalah justru dengan membiarkan pertukaran antara individu
dalam ekonomi domestik dan internasional berjalan secara bebas dan tidak
dibatasi. Dengan kata lain Pasar Bebas.
Konsepsi
ini didasarkan pada gagasan kedaulatan pasar dalam proses ekonomi dan
mengasumsikan adanya keselarasan adanya kepentingan alamiah di antara manusia
dan bangsa di mana individu (konsumen,
perusahaan/wiraswasta individual) adalah aktor utama yang berperilaku rasional
dalam usaha memaksimalkan perolehan keuntungannya.
Selain
itu, kaum liberal juga yakin bahwa tidak adalah alasan akan timbulnya konflik
dalam hubungan ekonomi-politik, sebab setiap aktor yang terlibat akan
memperoleh keuntungan dengan barang dan jasa yang tersedia, dengan demikian
kesejahteraan bias ditingkatkan. Serta spesialisasi dalam perdagangan
internasional akan mendorong dan meningkatkan efisiensi perdagangan
internasional. Di mana efisiensi akan menjamin penurunan ongkos produksi dan peningkatan volume, yang berarti
peningkatan konsumsi pula.
Kaum
liberal percaya bahwa demi memenuhi kepentingan nasionalnya, setiap bangsa harus
bersikap terbuka dan kooperatif dalam hubungan ekonomi dengan Negara lain. Di mana
pada pengejaran kepentingan sendiri, dalam suatu sistem ekonomi, yang bebas dan
kompetitif dapat menghasilkan keuntungan maksimum. Ada pun dalam sisi peran
pemerintah, kaum liberal menganggap ekonomi dan politik merupakan bidang yang
berbeda, sehingga peran pemerintah terbatas pada pengelolaan pasar untuk
menjamin bahwa semua perdagangan yang secara potensial menguntungkan bias terlaksana.
Gagasan
liberal pun tidak terlepas dari kritik,
yang pertama adalah bahwa praktek transaksi ekonomi yang diajukan hanya
menguntungkan yang lebih efisien, “si kuat” dan merugikan “si lemah” yang dalam
penekanannya sangat merugikan ekonomi Negara berkembang. Serta dalam arena
internasional, fakta memperlihatkan bahwa tidak semua bangsa memiliki kemampuan
kompetitif yang setara, sehingga jika pemerintah nasional tidak melakukan
intervensi hal timpang akan terjadi dan hanya menguntungkan yang “kuat” dalam
segi modal, seperti yang terlihat ekonomi dunia hanya di dominasi oleh beberapa
Negara industri maju yang sangat kuat.
Perspektif Radikal
Perspektif
radikal berkembang sebagai reaksi meluasnya liberalisme di abad 19. Basis pokok perspektif ini adalah Marxisme. Kaum
marxis melihat kapitalisme dan pasar telah menciptakan perbedaan yang sangat
ekstrim, yaitu kekayaan bagi kapitalis dan kemiskinan untuk kaum buruh. Di mana
hasil pertumbuhan ekonomi didistribusikan secara tidak merata.
Perspektif
ini menolak pendapat bahwa pertukaran yang terjadi secara individu akan
memaksimalkan kemakmuran seluruh masyarakat. Marxis pun memandang liberalisme mengandung
bibit konflik dan harus digantikan dengan sosialisme. Dalam hal ini marxis
sesuai dengan merkantilis dengan mempersoalkan distribusi pendapatan.
Kaum
marxis membuat beberapa asumsi, pertama adalah
kelas sosial merupakan aktor dominan dalam ekonomi politik. Kedua, kelas-kelas bertindak berdasarkan
kepentingan materiil mereka. Ketiga, basis dari ekonomi kapitalis
adalah eksploitasi kelas buruh. Di mana
hubungan kapitalis dan buruh bersifat antagonistic, sebab terjadi pencurian
nilai di mana nilai lebih yang diperoleh kapitalis bukanlah hak sah mereka,
melainkan hal yang dirampas dari kaum buruh, sebab sarana produksi pun hanya
dikendalikan oleh segelintir minoritas masyarakat.
Namun,
sejak pertengahan 1960-an, muncul kelompok Neo-marxis yang berpandangan bahwa kaum
kapitalis kini menjadi kosmopolitan atau “transnasional”, yang berkepentingan
dengan kecenderungan global dan sedikit sekali dengan kaitan pemerintah Negara asal
mereka.
Perspektif
ini pun tidak terlepas dari kritik dari pemikir-pemikir yang lain, yaitu argumen kaum radikal kadang ridak rasional, di mana pandangan yang menyarankan Negara berkembang
menarik diri dari perdagangan nasional, padahal dalam dinamika sekarang ini
tidak memungkinkan suatu Negara untuk mengisolasi diri merak dari perdagangan
dunia.
NB: Tulisan ini bersumber dan berpatokan pada buku "Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan", oleh Dr. Mochtar Mas'oed.