Laman

Jumat, 26 April 2013

Merangkai Emas Di Dusun Karang Rejek

 Jika biasanya orang-orang mengidentikkan Yogyakarta (Jogja) sebagai kota gudeg atau kota bakpia, serta penghasil perak yang mengangkat Kecamatan Kota Gede sebagai ikonnya, maka kini Jogja dapat dikatakan menjadi salah satu penghasil “emas” di Jawa, bahkan di Indonesia menyaingi Pertambangan Freeport di Papua. Tepatnya di Dusun Karang Rejek, Kecamatan Imogiri, Bantul DI Yogyakarta. Masyarakat khususnya ibu-ibu didampingi 5 mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memanfaatkan kepompong ulat sutra emas liar menjadi pernak-pernik bernilai ekonomis.

Awal pemanfaatan kepompong ulat sutra emas liar yang masyarakat sekitar sebut dengan nama kokon adalah karena banyaknya pertumbuhan ulat tersebut. Dibarengi dengan dorongan pengabdian dan kreatifitas yang muncul dari kelompok mahasiswa yang terdiri dari Rahmi Dewi Aryani (Dewi), Endang Jum’ati (endang), Sony Novrizal (Sony), Said Hamzali (Said), dan Ricky maulana (Ricky).

Melihat potensi besar yang dimiliki wilayah Karang Rejek yang dulunya dikenal sebagai desa pengemis, Dewi bersama kawan-kawan mendekati warga dan menawarkan tenaga mereka untuk mendampingi dalam mengolah kokon ulat sutra emas liar tersebut. Beberapa upaya dilakukan demi mengembangkan potensi itu, salah satunya dengan mengajukan ide pengolahan kokon ulat sutra emas liar ke ajang kompetisi Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM), dan ternyata dapat lolos, sehingga dana dari PKM digunakan sebagai modal awal.

 Dengan menggandeng beberapa dinas pemerintah terkait, seperti Dinas Sosial DIY (Dinsos), dan Dinas Pendidikan, Pemuda, Dan Olahraga Provinsi DIY (Dikpora), dilaksanakanlah pelatihan usaha dan suntikan motivasi kepada masyarakat, yang diberi nama Pelatihan Kreatifitas Kokon Ulat Sutera Emas Liar, dari pelatihan tersebut pun kelompok mahasiswa ini semakin memperlihatkan tekat mereka demi membantu dalam penciptaan masyarakat mandiri.

“Pelatihan telah 4 kali dilaksanakan sejak tanggal 25 Maret, tetapi PKM sendiri sudah dari Bulan Oktober tahun kemarin (tahun 2012)”. Ungkap Sony.

Walau pun sebenarnya, kokon tersebut telah diolah oleh salah satu perusahaan menjadi benang sutra sebagai komoditi ekspor dengan harga yang tinggi. Dan dalam bentuk olahan akhir, baik itu berupa baju atau kain, hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan berpunya. Maka dari pemikiran untuk lebih merakyatkan kekayaan alam tersebut, pengolahan kokon pun dibuat menjadi pernak-pernik seperti bros, gantungan kunci, dan gantungan hand phone (hp) dengan berbagai ukuran dan variasi bentuk yang dapat dipasarkan dengan harga yang lebih terjangkau.

”Sutra emas kan milik Indonesia, maka alangkah baiknya jika setiap elemen masyarakat dapat menikmatinya”. Papar Dewi.

Pelatihan yang diberikan kepada masyarakat pun tidak hanya dengan megajarkan bagaimana merangkai kokon menjadi pernak-pernik, melainkan masyarakat juga diberitahukan tentang proses awal yang dimulai dengan pemilahan jenis kokon, pewarnaan, perangkaian, hingga pengemasan.

“4 kali pelatihan ini, ibu-ibu sudah mulai dapat membuat bentuk kreasi mereka sendiri. Awalnya cuman bunga, tapi kemudian mereka buat macam-macam bentuk, ada kupu-kupu, anggur, bahkan juga pastel. Pelatihan selanjutnya tentang pengemasan biar terlihat lebih cantik”. Tambah Dewi.

Sambutan terbuka yang diberikan masyarakat semakin mendorong para mahasiswa untuk dapat lebih berkarya, disamping masih dijejali dengan kesibukan perkuliahan. Sekaligus demi menjalankan tri darma kampus yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Mereka tetap meluangkan waktu untuk memperoleh pengalaman dan pegetahuan yang dapat diimplementasikan langsung ke masyarakat. Peran para mahasiswa tidak hanya sebagai fasilitator pelatihan tetapi juga membantu masyarakat dalam proses periklanan hingga pemasaran.

Apresiasi yang tinggi diutarakan masyarakat Karang Rejek atas upaya yang dilakukan para mahasiswa. Ibu-ibu peserta pelatihan yang datang membawa serta anak-anak mereka yang masih kecil, menilai agenda pelatihan sebagai kegiatan yang sangat bermanfaat.

“Biasanya kan sebelum ada pelatihan, ibu-ibu hanya di rumah, momong anak atau nonton sinetron. Setelah adanya pelatihan, ibu-ibu pun yang sebagian besar masih berusia muda dapat memperkaya keterampilannya, sekaligus menambah pemasukan”. Ungkap Ibu Yanti salah satu peserta pelatihan.

Harapan dari agenda tersebut pun, baik para mahasiswa dan masyarakat menginginkan agar dapat terus ada keberlanjutan. Walau sampai sekarang kendala terbesar adalah bahwa sumber bahan baku yaitu kokon ulat sutra emas liar sangat dipengaruhi musim dan belum dapat dibudidaya, sehingga akan ada kemungkinan, masa di mana akan sulit memperoleh kokon ulat sutra emas liar. Maka hal tersebut merupakan PR yang semoga cepat menemukan jawabannya. 
 
telah dimuat di SWAKA KR (edisi 9 April 1013)

Rabu, 03 April 2013

Kebijakan Jepang Terhadap Persoalan Lingkungan Hidup


 
Sumber Gambar: http://phys.org/news/2011-12-tokyo-fukushima-greenpeace.html


A.     Konsistensi Jepang dalam Menjalankan Kebijakan Lingkunan Hidup
Pemerintah Jepang tidak mau terburu-buru mengikuti trend lingkungan yang berlaku dan tidak begitu saja menyetujui kesepakatan internasional sebelum mengetahui kesiapan industri dan masyarakat Jepang. Namun bukan berarti pemerintah Jepang menentang kesepakatan internasional, tetapi lebih pada upaya mengkaji sisi positif dan negatif yang ada agar dapat diambil keuntungan dari isu internasional tersebut. Misalnya saja isu pemanasan global, pemerintah Jepang tidak langsung menerima kesepakatan pengurangan emisi CO2 karena ingin mengetahui faktor apa yang paling besar mempengaruhi pembuangan CO2. Dari fakor tersebut, pemerintah Jepang membuat alternative pengurangan CO2. Di Jepang, industri (44,6%), rumah tangga (36,7%) dan transportasi (18,1%) adalah penghasil CO2 terbesar. Industri ditekan agar lebih efisien guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, promosi penggunaan barang daur ulang di rumah tangga gencar dilakukan, dan pemerintah mendukung penuh proyek pembuatan mobil hybrid untuk mengurangi pengeluaran CO2.[1]
Masyarakat Jepang terkenal dengan komitmen dan konsistensinya karena itu apabila palu telah diketuk, maka tidak ada proses tawar-menawar hukum. Apabila pemerintah Jepang telah menyepakati suatu perjanjian dan dituangkan dalam bentuk peraturan, maka seluruh pihak dengan sendirinya akan mematuhi peraturan tersebut. Hal tersebut sempat juga disinggung oleh Mr. Tetsuro Fujitsuka, kebijakan lingkungan di Jepang jauh lebih lunak dari di Indonesia namun di Jepang tidak ada tawar menawar dalam implementasinya.[2] Di Indonesia walaupun peraturannya lebih ketat daripada di Jepang namun beberapa contoh kasus menunjukkan implementasinya jauh dari harapan, misalnya kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, AMDAL-nya tidak untuk perusahaan pengeboran gas tetapi izin tetap saja keluar, atau pembangunan pantai indah kapuk, AMDAL-nya sangat bermasalah namun pembangunan terus saja berjalan tanpa ada hambatan.
Untuk mewujudkan suatu kebijakan lingkungan, pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan tidak hanya menjadi motor penggerak tetapi juga contoh teladan. Misalnya dalam hal penggunaan kertas daur ulang, kertas tisu, dan mobil hybrid, Kementrian Lingkungan menjadi perintisnya. Begitu juga dengan kampanye penggunaan kertas bolak-balik, Kementrian Lingkungan yang pertama sekali melakukannya. Dalam penggunaan seragam kerja, karpet, selimut, sarung tangan karyawan PNS, pemerintah mengusahakan bahan dari bahan daur ulang.
Kebijakan yang akan dibuat tidak hanya milik elit pemerintahan, intelektual, atau usahawan tetapi juga mengikutsertakan seluruh stakeholder terkait. Misalnya dalam kampanye eco-produk, seluruh perusahaan manufaktur harus menyediakan informasi lingkungan dalam produk mereka, pemerintah memberikan ekolabel pada produk-produk yang telah memenuhi standar internasional, dan masyarakat diminta untuk membeli eko produk ketika berbelanja.[3]
Pemerintah mendukung penuh penggunaan kertas daur ulang. Industri kertas daur ulang didukung penuh oleh permodalan, teknologi dan pemasaran. Seluruh Bank diharuskan memberikan kemudahan permodalan bagi industri kertas daur ulang, pemerintah memberikan keringanan pajak, lembaga penelitian pemerintah mendukung dengan teknologi terbaru, dan pemerintah menyediakan diri menjadi pasar pertama industri kertas daur ulang. Semua usaha tersebut untuk menjadikan industri kertas daur ulang menjadi industri besar bahkan dapat mengekspor hasilnya ke luar negeri.
Realisasi pelaksanaan kebijakan melebihi target yang dicanangkan. Target yang ditetapkan bukanlah target minimalis, namun setiap diri orang Jepang selalu melihat sebuah target sebagai perolehan minimalis yang harus dicapai sedangkan kelebihan dari targetlah yang disebut prestasi. Karena itu orang Jepang yang selalu diberikan motivasi untuk berprestasi selalu bekerja untuk meraih prestasi bukan target. Misalnya saja pencapaian target pengurangan penggunaan kertas (109,4%), pengurangan konsumsi energi bahan bakar fosil (151,9%), pengurangan sampah atau limbah di kantor pemerintah (143,2%) melebihi dari yang target dicanangkan.[4]
Pemerintah giat mensosialisasikan program lingkungan ke masyarakat. Masyarakat dihimbau agar membeli produk yang mudah didaur ulang, hemat menggunakan sumber daya alam yang tidak terbaharukan seperti bahan bakar fosil maupun terbaharukan seperti kertas. Pemakaian kertas bolak-bolik juga dilakukan disekolah, kantor-kantor swasta, dsbnya. Penggunaan listrik, air dan energi lainnya berkurang hingga 90% selama 5 tahun dari tahun 1995 hingga 2000. Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan umum dibanding naik kendaraan pribadi, dengan catatan kendaraan umum nyaman, aman dan cepat sampai ke tujuan.
Masyarakat mengikuti program lingkungan dimulai dari yang sederhana. Slogan “Think Globally Act Locally” terpatri pada sebagian besar masyarakat Jepang. Menurut penjelasan Dr. Tetsuro Fujitsuka, masyarakat Jepang sudah sadar lingkungan sehingga dalam pemilihan produk lebih senang membeli produk yang sudah mencantumkan ekolabel atau informasi lingkungan pada kemasannya. Dan tambahan lagi angka pengurangan limbah di masyarakat Jepang menurun hingga 70% selama 5 tahun, hal tersebut berarti berkurang 14%/tahun.[5]
Pemerintah memberi anggaran yang memadai pada kementrian lingkungan, walaupun tidak disebutkan berapa spesifiknya namun sebagai gambaran anggaran Kementrian Lingkungan nomor 2 tertinggi di antara departemen lainnya. Dr. Tetsuro mengatakan anggaran untuk Kementrian Lingkungan bukan cost tapi investasi jangka panjang, karena yang namanya anggaran pertumbuhan ekonomi, dan berbagai angka lainnya bukan tujuan tetapi sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Apabila lingkungan tercemar otomatis masyarakat tidak sejahtera sehingga tujuan dari aktifitas ekonomi, sosial dan politik menjadi sia-sia belaka.

B.     Dinamika Jepang dalam memandang Kebijakan Lingkungan Hidup
Dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan hidup dipengaruhi 2 faktor internal mau pun eksternal. Peran politik domestik, NGO lingkungan, kelompok epistemik serta sektor industri memberi dinamika dalam proses pembentukan kebijakan lingkungan, NGO lingkungan di Jepang tidak lepas dari isu lingkungan itu sendiri, dekade 1970 dan 1980 merupakan masa di mana Jepang sangat rentan dengan isu lingkungan, hal ini berkaitan dengan perkembangan industri, terutama konstruksi. Jepang mengalami masa di mana konsumsi perkapita beton dan baja yang paling tinggi di bandingkan dengan negara maju lainnya, dengan pengeluaran untuk pembangunan melebihi produk domestik bruto Amerika Serikat dan Inggris.[6] Lebih lanjut, kesadaran masyarakat cukup rendah terhadap lingkungan. Namun di sisi lain, Jepang memiliki efisiensi energi yang tinggi serta emisi karbon yang baik  di bandingkan negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) lainnya.
Memasuki dekade 1990an, terjadi perubahan drastis dalam posisi pemerintah Jepang terhadap isu lingkungan. Melalui United Nation Conference on Environment And Development tahun 1992, pemerintah Jepang seperti berusaha menangkal persepsi negatif mengenai buruknya kinerja pemerintah dalam isu lingkungan.[7] Usaha pemerintah Jepang terlihat melalui sikap proaktif Jepang dalam mengambil kepemimpinan dalam United Nations Framework convention on climate change (UNFCCC) COP di Kyoto.
Perubahan sikap pemerintah bukan berarti peningkatan kesadaran masyarakat akan isu Lingkungan semakin tinggi. Juga bukan berarti NGO lingkungan semakin mudah bergerak dalam mengusung isu lingkungan ketingkat nasional. Hal yang membawa perubahan masyarakat dalam isu lingkungan adalah gempa bumi Kobe 1995, rangkaian kecelakaan reaktor nuklir di Fukui tahun 1995 dan Fukushima tahun 1997, isu reklamasi pantai teluk Isahaya 1997, dan isu lingkungan lain yg terjadi antara tahun 1995-1997.[8] Maraknya pemberitaan mengenai isu lingkungan tersebut meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai rentannya Jepang terhadap ancaman dari segi lingkungan. Kondisi ini pula yang meningkatkan jumlah sukarelawan masyarakat untuk isu-isu lingkungan. Dapat dikatakan bahwa menguatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan di Jepang merupakan respon aktif atas isu-isu lingkungan yang terjadi
Mengenai keterlibatan dalam pembuatan kebijakan, NGO lingkungan di Jepang memiliki beberapa titik masuk dalam proses pembuatan kebijakan. Sejak tahun 1997 pula, diet mengesahkan Environmental Impact Assesment (EIA). Suatu garis besar tingkat menteri yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan.
EIA merupakan sistem dinamika pihak yang mengajukan proyek-proyek pembangunan dapat mengembangkan proyek dari sudut pandang perlindungan lingkungan, berdasarkan persetujuan instansi yang memberikan izin.[9] Sistem EIA juga memiliki sistem di tingakat pemerintahan lokal. Di tingkat ini lah masyarakat bisa terlibat dalam pembuatan kebijakan mengenai dengar pendapat dan pemberian laporan ke tingkat pemerintah lokal mengenai proyek yang akan di laksanakn di wilayah tersebut[10].  Kritik terhadap EIA adalah terbatasnya informasi yang bisa didapatkan masyarakat tentang pemerintah, yang menunjukan bahwa pemerintah Jepang masih berusah mengendalikan pemberitaan ke publik untuk informasi berkaitan dengan isu lingkungan.
Untuk proses peradilan, isu lingkungan merupakan hal yang jarang terjadi dalam peradilan Jepang. Ini disebabkan mahalnya proses peradilan serta panjangnya proses untuk peradilan isu lingkungan. Keterbatasan NGO lingkungan dari segi pendanaan membuat sedikit NGO lingkungan yang mau mengambil resiko menuntut secara hukum kebijakan lingkungan Jepang. Selain itu, walaupun berhasil mencapai tingkat Mahkamah Agung, Mahkamah Agung akan lebih berpihak terhaadap kebijakan pemerintah.[11]
Sebagian besar pendanaan NGO lingkungan Jepang bersal dari iuran anggota mereka serta hasil usaha mandiri NGO. Sumber lainnya adalah sumbangan dari perusahaan maupun yayasan. Namun di tahun-tahun akhir ini, berbagai NGO mulai bergantung dari dana pemerintah, salah satunya adalah melalui Japan Environmental Corporation (JEC) yang berada dibawah Environment Agency. Dana yang dikeluarkan melalui JEC ditujukan untuk NGO lingkungan dengan ruang lingkup berskala lokal. Namun dana pemerintah tersebut menuai kritik karena sebagian besar mengalir ke NGO semi pemerintah dan NGO yang berafiliasi dengan sektor industri. Selain sumber dana internal dan dana pemerintah, beberapa NGO lingkungan yang memiliki organisasi induk di tingkat internasional juga banyak mendapat dari organisasi induk tersebut.

NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas kelompok dalam mata kuliah Politik Luar Negeri Jepang oleh ST Khadijah Tinni (20100510112) dan Fadli Syahdiyono (20100510109). Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

[1] Japan and The Whaling Ban: Resenment Sustain A Moribund Industrial Trade https:www.japantimes.co.jp

[2] Keiko Hirata. “Beached Whales: Examining Japan’s Rejection Of International Norm.

[3] Robert J mason. Wither Japan’s Environmental Movement ?An Assesmenty Of Problem And Prospect At National Level.

[4] https:www.japantimes.co.jp.

[5] Op.cit.  Robert J Mason.

[6] Robert J.Mason. Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 72.

[7] Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 73
[8]Robert J.Mason . Whither Japan’s Environmental Movement? An Assesment of Problems and Prospect at Nation Level. Pacific Affairs. Vol 74

[9] Enviromental impac Assesment. www.env.go.jp/en/policy.

[10] Overview of The Environmental Assessment System. http://www.epc.pref.osaka.jp.


[11] Loc.cit. Robert J Mason.

Kebijakan Jepang Terhadap Persoalan Hak Asasi Manusia


 
Sumber Gambar: http://burmadigest.info/2007/12/25/human-rights-day-in-japan-2/
A.    Kebijakan Hak Asasi Manusia Secara Umum
Munculnya isu hak asasi manusia secara masif dan berkaitan langsung dengan persoalan hubungan internasional pertama kali tertuang dalam dokumen awal pendirian PBB di pertengahan hingga akhir tahun 1940-an.
Perkembangan perhatian terhadap isu hak asasi manusia sendiri dibedakan menjadi tiga runtutan alur periode.[1] Periode pertama ditandai dengan revolusi Amerika dan Perancis pada tahun 1780-an dan 1790-an yang memperlihatkan adanya tuntutan-tuntutan terhadap persoalan sipil dan politik. Yang di mana fokus utamanya adalah untuk melindungi individu dari kediktatotar negara. Perjuangan tersebut pun tidak terlepas dari pemahaman liberal atas kesetaraan dan kebebasan, termasuk dalam hak untuk memilih, hak untuk kebebasan berbicara dan pers, dan hak dalam proses hukum.
Periode ke dua dipelopori oleh masifitas kelas pekerja dan gerakan sosial lainnya yang berkembang di abad 19 dan 20 yang memprotes tentang penerapan ide-ide untuk melindungi hak-hak individu yang tidak konsisten oleh kelompok yang berkuasa di negara-negara liberal. Selain itu mereka berpendapat bahwa hak-hak sipil dan politik memiliki arti kecil jika bagian yang signifikan dari masyarakat tidak diberikan, seperti subsisten atau layanan social, kesehatan atau pendidikan. Maka dapat ditarik benang merah bahwa tuntutan generasi kedua merupakan hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang semua itu adalah tugas negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan semua warganya. 
Adapun periode terbaru atau periode ketiga adalah tuntutan dari negara-negara dunia ketiga, untuk perlindungan terhadap "hak solidaritas". hak Ini termasuk untuk hak lingkungan yang sehat dan seimbang, hak atas pembangunan ekonomi dan sosial, serta hak untuk perdamaian. 
Merebaknya pandangan pro terhadap persoalan hak asasi manusia juga dibarengi dengan pandangan yang memandang isu tersebut sebagai produk negara Barat untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia. Sehingga menimbulkan perdebatan yang pelik pula dalam ‘manabrakkannya’ dengan nilai-nilai ketimuran Asia. Tak hayal pun pandangan hak asasi manusia yang diciptakan di Asia dengan antusiasme barat yang tinggi dipandang sebagai bentuk baru dari imperialisme budaya.
Konferensi Bangkok yang dilaksanakan pada tahun 1993 sebagai persiapan awal dari konferensi dunia hak asasi manusia pun menimbulkan banyaknya sikap keras dari beberapa negara Asia (seperti China, Indonesia, Singapura, dan Malaysia) yang memandang bahwa banyak dari nilai-nilai hak asasi manusia yang asing bagi Asia dan bahwa ada bahaya dari nilai-nilai tersebut yang merupakan titipan Barat. Dan dalam Konferensi Bangkok diproduksi deklarasi, di mana pemerintah Asia menyatakan bahwa negara-negara maju seharusnya tidak mengkaitkan bantuan dengan pertimbangan hak asasi manusia, dan harus menghormati hak-hak kedaulatan negara untuk mengelolah hak asasi manusia dalam perbatasan mereka, dan juga mempromosikan hak asasi manusia melalui pengenaan nilai-nilai di Asia. Dan dalam hal tersebut, Jepang memiliki posisi yang sulit di antara pilihan mempertahankan solidaritas dengan Asia sambil tetap setia pada komitmennya untuk mendukung Barat, terutama Amerika Serikat.
B.     Posisi Jepang dalam Memandang Kebijakan Hak Asasi Manusia
Menanggapi semakin gencarnya sosialisasi dan keikutsertaan negara-negara di dunia dalam meretifikasi kebijakan-kebijakan tentang hak asasi manusia yang dipelopori oleh PBB  sebagai institusi internasional, ternyata tidak secara langsung mendorong Jepang untuk ikut terlibat. Jepang baru ikut terlibat setelah meratifikasi traktat PBB tahun 1955 tentang hak politik untuk perempuan dan tahun 1985 tentang penindasan yang bersifat personal dan ekspoitasi prostitusi terhadap pihak lain. 
Selama tahun 1980an Jepang pun hanya meratifikasi tentang perjanjian pengungsi yang dari kaca mata lain dapat dilihat bahwa ratifikasi yang dilakukan Jepang lebih condong terhadap perjanjian yang berfokus persoalan ekonomi dari pada isu sosial atau pun budaya.
Melihat dari kurang antusiasnya Jepang terhadap persoalan hak asasi manusi hingga akhir tahun 1980an ternyata dipengaruhi oleh 3 hal.[2] Pertama, Jepang mengikuti aturan tersebut untuk memperlihatkan bahwa Jepang juga memiliki hukum yang sama yang membela hak asasi manusia (hal ini lebih cenderung memperlihatkan posisi Jepang yang hanya mengikuti Amerika). Kedua pemerintah Jepang berusaha untuk melindungi dirinya dari upaya kritik internasional yang berlatar belakang isu hak asasi manusia yang mungkin akan digunakan oleh organisasi hak asasi manusia lokal untuk menekan secara masif dari luar. Ketiga, Jepang tidak menginginkan akan adanya hal-hal yang dapat mengganggu pertumbuhan perekonomian.
Pola perilaku Jepang memperlihatkan perubahan di tahun 1990an. Perilaku pasif menjadi lebih terbuka dan bertambah masif. Terlihat di tahun 1994 Jepang meratifikasi konfensi tentang hak anak dan diskriminasi ras. Kementerian Luar Negeri Jepang pada tahun 1997 pun mempersiapkan untuk meratifikasi konvensi penentangan terhadap penyiksaan dan perlakuan kejam, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. 
Perubahan sikap Jepang ini pun tidak terlepas dari 3 faktor utama yang saling berkesinambungan.[3] Pertama, signifikansi posisi PBB dalam perang Gulf (Perang Korea) paska Perang Dingin, yang membuat Jepang melihat bahwa krisis yang ditimbulkan oleh  perang Gulf yang mengakibatkan hilangnya kekuasaan Liberal Democratic Party (LDP) dalam mendominasi pemangku kekuasaan politk Jepang di tahun  1993, sehingga diperlukan upaya tindak cepat dari pemerintah Jepang untuk mengembalikan posisi politik yang lebih stabil, walau ternyata hal tersebut tetap tidak memperlihatkan titik terang. Kedua, hasil Deklarasi Bangkok  yang telah secara tidak langsung mendorong dan menekan Jepang untuk ikut andil untuk lebih memperhatikan isu-isu hak asasi manusia demi memperlihatkan posisinya sebagai negara Asia dengan nilai-nilai ke-Asia-an yang dimilikinya dan secara rendah diri mengikuti aturan Amerika. Ketiga, keikutsertaan Jepang dalam mendeklarasikan hak asasi manusia dipandang oleh Kementerian Luar Negeri Jepang sebagai upaya yang dapat membawa Jepang menjadi salah satu kandidat dalam anggota tetap badan keamanan PBB. 
Tetapi dalam kasus tertentu, ikrar Jepang dalam melaksanakan traktar-traktar hak asasi manusia yang telah diratifikasi ternyata tidak berjalan sebagai mana mestinya. Seperti contoh hak masyarakat Fukushima untuk meperoleh informasi tengtang tingkat radiasi di lingkungan mereka yang mengalami ledakan pembangkit nuklir 11 Maret 2011 yang lalu tidak diperoleh secara maksimal. Bahkan tes radiasi pun lebih besar dilakukan oleh pihak swasta. Ada pun untuk pesoalan panganbagi masyarakat Fukushima tersebut, pemerintah prefektur telah meyakinkan warga bahwa makanan telah diuji sebelum dibawa ke pasar. Namun pemerintah belum mendirikan sebuah proses yang sistematis untuk mengukur tingkat radiasi dalam makanan dari daerah tersebut dan mengkomunikasikan hasilnya kepada masyarakat.[4] 
 
C.    ODA sebagai Instrumen HAM Internasional Jepang
Seperti kebijakan luar negeri yang lain, kebijakan pembangunan luar negeri Jepang (Official Development Assistance/ ODA) dipengaruhi oleh peristiwa internasional dan iklim dalam negeri yang sesuai, berkonsilasi antara apa yang melayani keprihatinan domestik dan merespon apa masyarakat internasional. Dan karena aturan pengiriman Pasukan Pertahanan Jepang (JDF) sangat dibatasi oleh Konstitusi Jepang, maka ODA memiliki fungsi sebagai instrumen utama kebijakan luar negeri Jepang. Oleh karena itu, setiap perubahan signifikan dalam lingkungan internasional atau domestik pasti memerlukan pembaharuan atau penyesuaian kebijakan ODA. 
ODA yang pertama  kali disepakati oleh kabinet Jepang pada 30 Juni 1992[5] merupakan cerminan perspektif baru Jepang terhadap dunia sejak berakhirnya Perang Dingin. 4 prinsip ODA yang diperkenalkan oleh PM Kaifu Tanoshiki pada tahun 1991 sebelumnya, pada 3 bulir pertama berfokus pada persoalan militer tetapi pada bulir ke 4 berkonsentrasi terhadap proses promosi demokratisasi, melindungi hak asasi manusia, dan ekonomi berorientasi pasar.
Adapun secara gambling, empat Prinsip Piagam ODA adalah:[6]
1.  Kompatibilitas antara pelestarian lingkungan dan pembangunan.
2.  Menghindari penggunaan dana ODA untuk keperluan militer dan untuk tujuan bertanggung jawab untuk mengobarkan konflik internasional.
3.  Pemantauan pengeluaran militer negara-negara berkembang, kegiatan dalam mengembangkan dan memproduksi senjata pemusnah massal, dan ekspor atau impor senjata.
4.  Pemantauan kegiatan untuk mempromosikan demokratisasi di negara-negara berkembang, dan upaya mereka untuk memperkenalkan ekonomi berorientasi pasar dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan warga negara mereka.
ODA telah digunakan Jepang sebagai alat diplomasi penting untuk menjamin kepentingan nasional Jepang sejak awal, misalnya, diketahui bahwa ODA dimulai sebagai bagian dari perbaikan perang di awal 1950-an. Kesepakatan Jepang-Burma pada perbaikan dan kerjasama ekonomi pada tahun 1954, diikuti oleh perjanjian serupa dengan negara Asia lainnya. Dengan demikian, ODA didorong oleh motivasi politik untuk membangun kembali hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara Asia yang terganggu. Kemudian, Perang Dingin menempatkan Jepang di bawah tekanan Amerika Serikat untuk memobilisasi dukungan ODA ke negara-negara dunia ketiga perlu untuk membela diri dari blok komunis. Bahkan, ODA sacara substansial diarahkan ke negara-negara yang terkena dampak oleh Perang Vietnam, serta negara sebagai geopolitik strategis seperti Turki dan Mesir.[7]
ODA terbukti berarti ketika ditangani dengan hubungan bilateral yang penting. Misalnya, Jepang mengumumkan Pinjaman Paket Yen pertama ke China pada tahun 1979, setelah berakhirnya Perjanjian Perdamaian dan Persahabatan Jepang-China. Dengan cara yang sama, Jepang menyimpulkan Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik dengan Arab Saudi pada tahun 1975 dalam rangka untuk memperkuat hubungan yang sudah menjadi keharusan karena Krisis Minyak. 
Upaya tersebut pada gilirannya menguntungkan Jepang dalam memastikan keamanan dan kemakmurannya sendiri. Misalnya juga kasus Krisis Keuangan Asia di akhir 1990-an. Pemerintah Jepang mengumumkan "The New Miyazawa Initiative"[8] untuk membantu negara-negara Asia dalam mengatasi kesulitan ekonomi mereka dan untuk berkontribusi pada stabilitas pasar keuangan internasional. Jepang berkomitmen untuk menyediakan paket kebijakan sebesar 30 miliar dolar, yang terdiri pinjaman guarantees dari Bank Ekspor-Impor Jepang, serta pinjaman ODA. Inisiatif ini, langsung atau tidak langsung, melayani kepentingan Jepang, sebab negara-negara Asia adalah mitra penting bagi perdagangan dan investasi.



NB: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas kelompok dalam mata kuliah Politik Luar Negeri Jepang oleh ST Khadijah Tinni (20100510112) dan Fadli Syahdiyono (20100510109). Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


[1]  Ian Neary. Japanese Foreign Policy and Human Right, dalam Japanese Foreign Policy Today. 2000. Hal. 84.

[2] Ibid. Hal. 89.
[3] Ibid. Hal 90-91.
[4] http://www.hrw.org/news/2012/03/09/japan-year-after-fukushima-response-falls-short
[5] http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1995/1basic.html
[6] Ibid.
[7]  Kazuo Sunaga. The Reshaping of Japan's Official Development Assistance (ODA) Charter. Diakses dari http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/paper0411.pdf
[8] Ibid.