Laman

Sabtu, 26 Mei 2012

INVANSI MILITER DALAM PERANG AMERIKA SERIKAT DAN IRAK DI MASA KEPEMIMPINAN SADDAM HUSSEIN

Kerangka Dasar Teori
Dalam menganalisa suatu permasalahan, diperlukan kerangka pemikiran sebagai acuan. Teori adalah bentuk penjelasan paling umum yang memberitahukan mengapa sesuatu terjadi.[1] Adapun makalah ini menitik beratkan pembahasan dengan menggunakan Teori Ketimpangan Kekuasaan dan Teori Rangsangan Ekonomis dan Ilmiah yang dikembangkan oleh Walter S. Jones.
Makna teori ketimpangn kekuasaan adalah Diyakini bahwa apapun pangkal tolaknua perang cenderung dapat dicegah bila kekuasaan antara kedua belah pihak yang berhadapan cukup seimbang. Sebaliknya, ketidakseimbangan cenderung mengundang agresi. Kekososngan keuasaan, misalnya yang terbentuk oleh perlucutan senjata secara sepihak, dapat menggoyahkan stabilitas hubungan internasional dan merangsang tindakan militer. Penganut Real politik, yakin bahwa peristiwa dan masalah yang mengarah ke konflik selalu ada dan penyebab langsung pecahnya perang biasanya adalah kegagalan penyeimbangan kekuasaan secara simetris. Prinsip dasarnya adalah, “bila anda ingin damai, maka bersiaplah berperang”. Maka Amerika dalam setiap operasinya kerap mengatasnamakan “penjagaan perdamaian” untuk melancarkan aksi militernya terhadap negara lain. [2]
 Serta makna dari teori rangsangan ekonomis dan ilmiah ini adalah bahwa baik perang maupun ancaman perang merangsang peningkatan kegiatan ilmiah, inovasi teknik, dan kemajuan industri. Dimana dapat dikatakan aspek ekonomi eksternal terutama dari peperangan adalah lonjakan industri tersebut. Bahwa ekonomi yang lambang dapat dirangsang melalui penciptaan tuntutan artifisial.[3]
Dari pemaparan makna teori tersebut dapat dilihat bahwa alasan ekonomi menjadi cambuk dari proses pengembangan perekonomin suatu negara, dan dalam kasus peperangan antara Amerika dan Irak ini memperlihatkan bahwa persoalan ekonomi dan ilmiah menjadi penyebab yang sangat berpengaruh, seperti dicermati bahwa alasan yang mendorong Amerika  untuk tetap menyerang Irak walau telah ditolak oleh badan keamanan PBB adalah bahwa Amerika menduga Irak memiliki senjata nuklir yang dapat menggoyahkan keamanan dunia, serta masih menjadi perdebatan bahwa perang akan memberikan kerugian besar besar bagi perekonomian domestiknya, tetapi sekaligus memberikan pemasukan yang besar dengan melalui jalan perang Amerika dapat menguasai tambang minyak Irak yang merupakan penghasil terbesar setelah Saudi Arabiah.

PEMBAHASAN
Amerika Serikat memiliki kebutuhan konsumsi minyak sangat besar, negara ini secara geografis cukup luas dengan jumlah penduduk mencapai 300 juta yang memadati wilayah seluas 9.826.630 km². Walaupun dengan cadangan minyak yang tinggi yaitu 22,5 Milliar barrel, tapi dengan tingkat produksi 7.6 juta barrel per hari plus konsumsi yang gila-gilaan tingginya, maka minyak Amerika Serikat niscaya tidak akan lebih lama dari 9 tahun umurnya. Untuk itu Amerika Serikat selalu berusaha untuk menguasai negara-negara yang kaya minyak termasuk Irak. Sejumlah pejabat Irak semacam deputi PM Tareq Aziz dan wakil Presiden Taha Yasin Ramadhan secara terang-terangan menuduh AS ingin menguasai sumur-sumur minyak Irak yang merupakan terbesar kedua setelah Arab Saudi.
Tuduhan pejabat Irak tersebut tampaknya memang tidak mengada-ada. AS sendiri mulai memberi perhatian pada minyak di Timur Tengah sejak 50 tahun lalu, yaitu ketika konggres AS saat itu menggelar sidang khusus untuk mengeluarkan keputusan tentang jumlah minyak yang harus diimpor AS setiap bulannya. Perhatian AS pada minyak di Timur Tengah semakin besar setelah aksi boikot minyak Arab menyusul Perang Arab-Israel 1973.[4] Dengan menguasai minyak Irak, AS dapat dengan mudah mempermainkan harga minyak dunia, karena selama ini penentuan harga minyak masih dikuasai OPEC, bukan oleh satu negara tertentu. Jatuhnya Irak dan semakin kuatnya pengaruh AS di kawasan Teluk tidak saja akan mengamankan suplai minyak bagi AS dan sekutunya, tetapi juga mengantarkan AS sebagai negara yang dapat mengontrol kepentingan ekonomi (minyak) negara lain.
Invasi AS ke Irak menurut penghitungan ekonomi, dengan invasi AS ke Irak dan menguasai ladang-ladang minyak disana, Amerika sedikitnya akan meraih 4 triliun dolar dalam beberapa tahun. Dengan biaya perang yang memakan biaya hanya sebesar $ 200 miliar, tentu bukan masalah mengingat keuntungan yang akan diraih. Bush tentu telah sangat berhitung dengan berbagai situasi tersebut. Bush tentu sangat yakin bahwa perang kali ini akan berlangsung cepat dan kemenangan ada dipihak AS. Keyakinan itu beralasan. Mengingat, setelah Perang Teluk II, Irak sebenarnya telah habis. Terlebih lagi, embargo ekonomi selama 10 tahun lebih ini telah menyebabkan Irak terjebak dalam kemiskinan. Dalam kondisi negara seperti ini, apalah dayanya melawan kekuatan AS yang begitu 'hiperpower'. Skenario seperti itu (kekalahan Irak) yang membuat Bush begitu ngotot untuk menyerang Irak di tengah keterpurukan ekonomi negerinya. Meski sesungguhnya Bush sadar bahwa biaya perang yang akan dikeluarkan besar, karena kurangnya dukungan internasional. Bush yakin bahwa dengan scenario kemenangan ada di pihak AS, maka biaya perang tersebut akan segera tergantikan.[5]
 Adalah mustahil bahwa motif penyerangan terhadap Irak murni politik. Motif penguasaan minyak Irak adalah agenda tersembunyi (hidden agenda) dibalik aksi rencana ini. Invasi ini merupakan usaha AS untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya untuk hajat hidup penduduknya dengan peningkatan industrialisasi. Kepentingan nasional sendiri menurut pengertian Hans Morgenthau adalah kemampuan minimum negara/bangsa untuk melindungi identitas fisik, politik/ekonomi, dan kultural negaranya/bangsanya dari ancaman negara lain. Aturan tentang produksi minyak yang diterapkan OPEC dapat disebut sebagai ancaman politik/ekonomi bagi Amerika Serikat. Dengan menguasai Irak yang merupakan pemilik cadangan minyak terbesar di dunia setelah Arab Saudi, akan memberi keuntungan besar pada AS, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Secara nasional, AS akan dipasok minyak murah dari Irak sekaligus mengurangi ketergantungannya pada minyak Arab Saudi. Invasi ini juga diharapkan akan mengangkat kembali perekonomian AS yang memang sedang lesu. Pada tingkat global, penguasaan atas minyak Irak, yang akan berkonsekuensi pada pelemahan kekuatan negara-negara Arab Teluk, akan memperkokoh hegemoni AS atas dunia. Lebih dari 60% kebutuhan minyak Eropa, juga Jepang, diimpor dari teluk Persia, Inilah yang membuat Perancis, Jerman dan Rusia menentang gagasan regime change AS istilah untuk penggulingan rezim nasional Baath Irak.
Dan mengacu pada persoalan ketimpangan kekuasaan yang menggrogoti situasi tersebut bahwa ternyata ketimpangan tersebut tidak hanya mengacu pada perbedaan tingkat kapasitas industri, penduduk, dan usur-unsur fisik perang yang potensial. Melainkan juga pada unsur-unsur politis yang abstrak dan beraneka ragam, dan yang terpenting di antaranya adalah kemampuan menarik dan mengendalikan sekutu-sekutu yang bersedia menumbangkan sumber dayanya demi keamanan bersama. Faktor penting lainnya adalah adanya ‘keinginan’. Persekutuan yang sangat kuat dan kompak sekalipun akan timpang bila salah satu anggotanya menolak berperang. Sebaliknya, bila sebuah negara dengan sumber daya alam dan dukungann terbatas mampu mencegah ketimpangan bila ia bertekad bulat untuk mencegah ketimpangan kekuasaan tersebut. Bukan berarti kekuasaan dua negara yang punya kemungkinan akan saling berhadapan harus disamakan seutuhnya. Namun cukup dengan meyakinkan para agresor bahwa baginya lebih banyak tersedia kerugian daripada keuntungan. Dengan cara itu ketimpangan kekuasaan sebagai penyebab perang dapat dikendalikan
Pasalnya, pasca tragedi 9/11, atas pengeboman WTC yang di klaim Amerika atas serangan musuh, Amerika kerap dan menjadi intens dalam memerangi terorisme. Terbukti dengan dirilisnya kebijakan luar negeri “war on terror” sehingga dengan segenap tenaga AS berusaha mencari dan mengklain sosok teoris tersebut. Pelaksanaan kebijakan war on terror ini juga sejalan dengan upaya “demokratisasi” yang dijalankan dalam skenarion Amerika. Kepemimpinan Saddam Husein di Irak jelas tidak mengakomodasi sebuah pemerintahan yang demokratis. Gaya otoriter Saddam Husein sungguh membuat AS geram. Belum lagi ada konspirasi minyak yang disebut-sebut melandasi invasi dan serangan Amerika terhadap Irak. Belum lagi, atas nama perdamaian Amerika juga menuduh Irak memiliki dan mengembangkan nuklir sebagai senjata pemusnah masal. Dalam Geneva Convention dalam Hukum humaniter Internasional diatur atas kepemilikan persenjataan perang dimana senjata pemusnah masal, dalam kasus ini dilarang. Hal ini jelas menjadi landasan Amerika untuk memberikan sedikit “shock therapy” kepada anak kecil yang tidak meu menuruti kehendaknya.
Hubungan penjelasan dengan teori sebab perang “ketimpangan kekuasaan” terletak oada bagaimana Amerika dengan segenap kemampuan baik tangible secara ekonomi dan birokrasi polotiknya serta kemampuan intangible atas kemampuan konspirasi mempengaruhi dunia mampu dengan mudah menciptakan perang untuk memenuhi tujuan nasionalnya. Amerika melancarkan dugaan dugaan atas fakta yang belum terbukti untuk menghalalkan serangan militernya. Misalnya pada kasus perang melawan terorisme, Amerika melancarkan skenario bahwa Saddam Husein terlibat aktif dalam keanggotaan Al Qaeda, kelompok terrorisme yang harus bertanggungjawab atas penyerangan 11 September 2001.
Di bawah kepemimpinan George W Bush, AS berkekuatan menghimpun masyarakat dunia untuk memaklumi perbuatan militernya kepada Irak. Selanjutnya konspirasi Amerika atas tuduhannya kepada Irak memiliki senjata pemusnah masal, maka Irak harus diberi pelajaran. Amerika juga menyatakan fakta-fakta atas penindasan Saddam Husein kepada rakyatnya dalam kediktatoran dan kepemimpinan otoriternya. Maka, lagi-lagi kekuasaan Amerika memang membuktikan bahwa ia lebih mampu untuk mengatur dunia memahami setiap sikapnya terutama atas penyerangannya terhadap Irak. Dibalik semua itu setelah invasi berakhir tidak satupun dari tuduhan Amerika yang bisa dibuktikan apalagi kepemilikan senjata pemusnah masal. Logikanya, jika Amerika benar yakin bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal dan ini melanggar perjanjian IAEA, maka Amerika seharusnya tidak akan semudah itu melayangkan serangan militernya kesana. Karena Irak jika memang punya pasti berkemampuan untuk membalas serangan Amerika. Faktanya, invasi AS ke Irak justru banyak sekali meninggalkan korban oleh Irak dan tidak satupun dari senjata pemusnah massal tersebut ditemukan di Irak pada akhirnya. Terlihat jelas bagaimana ketimpangan kekuasaan atas Amerika membuatnya berkemampuan menciptakan keadaan, perang, untuk memenuhi kepentingan dan kehendak nasionalnya.


[1]  Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan metodologi,  LP3ES,  Jakarta, 1990, hal.186
[2]  Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional, Gramedia, Jakarta, 1993, hal.179
[3] Ibid. Hal 211.
[4] Mustafa Abd. Rahman, Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam, Kompas, Jakarta, 2003. hal57.
[5] Sunarsip, Minyak di Balik 'Krisis Irak', http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16.

Ketika Norma Mempengaruhi Politik dan Hubungan Internasional


Review Jurnal “International Norm Dynamics and Political Change”
Karya Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink
Oleh:  WISNU  BUDI WALUYO (20100510156), Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


 Sesuai dengan judulnya, secara garis besar jurnal ini menceritakan bagaimana dinamika norma internasional dapat mempengaruhi jalannya politik internasional dan sejauh mana pengaruhnya terhadap perubahan politik internasional. Selain itu, jurnal ini juga menggambarkan bagiamana hubungan antara norma-norma dalam politik internasional tersebut dengan kehidupan organisasi internasional.
Jurnal ini diawali dengan pernyataan bahwa concern yang bersifat normatif dan bermuatan ide-ide atau nilai-nilai selalu hadir dalam politik internasional dan selalu konsisten sebagai kajian utama dalam kehidupan organisasi internasional. Ketika organisasi internasional didirikan, dominasi dari aliran politik realis saat itu yang menentang kaum idealis, sangat banyak memperhatikan isu-isu legitimasi dan ideologi. Pada awal Perang Dingin dan setelah itu, perang ini tidak hanya sekedar konflik posisional antara dua kekuatan besar, namun itu adalah perang untuk “hati dan pikiran.” Pemetaan kekuasaan dengan tujuan legitimasi sosial adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang utama pada periode tersebut.
Pada waktu yang sama, ahli hubungan internasional disibukkan dengan bahasan dua proyek besar konstruksi sosial di era itu, yakni integrasi Eropa dan dekolonisasi. Neofungsionalis, seperti halnya realis dengan sangat sadar berusaha untuk menjauhkan diri dari pendahulunya, “idealis” (dalam hal ini, David Mitrany dan rekan-rekannya), tetapi apa yang sebenarnya mereka rancang adalah bertujuan untuk lebih dari sekedar mempromosikan kesejahteraan material. Tujuan akhirnya adalah terletak pada ide-ide dan nilai-nilai sosial.
Upaya-upaya pada tahun 1960-an dan 1970-an untuk membangun ilmu politik dari sisi ekonomi atau ilmu ilmiah, sepenuhnya tidak pernah mampu menghilangkan nilai-nilai normatif dan concern ide-idenya. Mereka telah muncul secara konsisten di tengah gempuran kritik atas paradigma negara-sentris yang dominan dan fokus pada kekuatan materi. Ahli hubungan transnasional pada tahun 1970-an meminta perhatian yang lebih kepada para aktor transnasional yang kadang-kadang dipengaruhi oleh norma-norma dan ide-ide. Rezim para ahli di awal tahun 1980-an juga menekankan pada peran atas prinsip-prinsip dan norma-norma tersebut.
Di tempat lain masih dalam isu tersebut, John Ruggie, James Maret, dan Johan Olsen memperdalam pada bahasan sejarah intelektual sehubungan dengan “giliran” atau “kesempatan” terkininya dan mencari para pendukungnya pada tataran teoritis yang lebih abstrak dalam perdebatan ilmu sosial. Berdasarkan kontribusi mereka, kedua penulis jurnal ini konsen pada isu-isu teoritis yang banyak kita hadapi khususnya kita yang tertarik akan penelitian empiris pada proses konstruksi sosial dan pengaruh-pengaruh dari norma dalam politik internasional.
Concern dari kedua penulis jurnal ini adalah pada pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana kita mengetahui bahwa itu norma saat kita melihat salah satunya? Bagaimana kita mengetahui bahwa norma mampu membuat perbedaan-perbedaan dalam politik? Dari mana norma itu berasal? Bagaimana norma-norma itu berubah? Kedua penulis jurnal ini sangat tertarik dengan norma-norma itu ketika memainkan perannya dalam perubahan politik.
Seperti kerangka teoritis lain dalam hubungan internasional, banyak perangkat makroteoritis dari konstruktivisme yang lebih baik dalam menjelaskan stabilitas daripada perubahan. Klaim bahwa aktor sesuai dengan “logika kelayakan” mengatakan sedikit tentang bagaimana standar kelayakan mungkin dapat berubah. Pendekatan statis untuk hubungan internasional seperti itu sangat tidak memuaskan selama era terkini, era transformasi global ketika pertanyaan tentang perubahan sangat memotivasi kita dalam penelitian empiris yang kita lakukan.
Kekurangan bimbingan yang baik tentang makroteoritis membuat pendekatan kedua penulis jurnal ini untuk pertanyaan-pertanyaan yang terkait menjadi sangat tergantung pada induksi dari kerangka besar dan berkembang dari norma penelitian yang telah banyak bermunculan, tidak hanya dalam ilmu politik tetapi juga dalam ilmu hukum, ekonomi, sosiologi, dan psikologi. Berbagai macam konseptual serta materi empiris ini sangat berguna untuk pendekatan induktif tersebut, tetapi hal ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan penting untuk makroteoritis akan lebih banyak dibahas di bagian akhir jurnal ini.
Kedua penulis jurnal ini menggunakan review dari para ahli pada tataran norma-norma yang berhubungan dengan fenomena-fenomena yang bermuatan ide-ide dalam jurnal ini untuk membuat tiga argumen sebagai beikut.
1.      “Giliran” atau “kesempatan” dari ide-ide, dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya adalah kembali pada beberapa kekhawatiran terhadap disiplin tradisional, tetapi tidak membawa kita kembali ke tempat yang sama di mana kita memulainya. Standar untuk penelitian empiris yang baik telah berubah secara dramatis (dan untuk menjadi lebih baik) sejak didirikannya organisasi internasional, dan menerapkan standar ini untuk jangka yang panjang terkait isu-isu normatif yang benar-benar telah diperhitungkan dengan baik.
2.      Kedua penulis jurnal ini menggeneralisasikan beberapa proposisi tentang tiga aspek dari norma; asalnya, mekanisme dari mana mereka mempunyai pengaruh, dan kondisi di mana norma-norma akan berpengaruh dalam politik dunia. Secara spesifik, kedua penulis jurnal ini berpendapat bahwa norma berkembang dalam pola “siklus hidup” dan bahwa logika perilaku yang berbeda mendominasi segmen yang berbeda pula dari siklus hidup.
3.      Kedua penulis ini berpendapat bahwa kecenderungan saat ini adalah untuk menentang norma-norma terhadap rasionalitas atau pilihan rasional yang ternyata tidak mampu  membantu dalam menjelaskan proses politis yang penting dalam penelitian empiris di mana proses ini kita sebut sebagai “konstruksi sosial yang strategis,” yang mana para aktor menyusun strategi secara rasional untuk mengkonfigurasi ulang preferensi, identitas, atau konteks sosial. Secara rasional tidak dapat dipisahkan dari “episode” politik yang signifikan dan pengaruh normatif atau perubahan normatif, seperti kondisi konteks normatif dari “episode” pilihan rasional.
Dengan demikian, norma dan rasionalitas sangat erat kaitannya, tetapi beberapa ahli tidak sependapat tentang sifat yang tepat dari hubungan tersebut. Kedua penulis jurnal ini mengidentifikasi empat titik fokus dari perdebatan ini di mana hubungan antara norma dan rasionalitas setidaknya dipahami dan menjadi sangat penting, dan kedua penulis jurnal ini menunjukkan bagaimana perdebatan ini “membelah” tradisi penelitian yang membawa potensi untuk menemukan jalan yang menghasilkan.

Kembali ke Norma
            Norma dan isu-isu normatif telah menjadi sangat sentral dalam studi politik. Mahasiswa-mahasiswa ilmu politik telah berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak hanya tentang makna dari keadilan dan masyarakat yang baik tetapi juga tentang pengaruh dari perilaku dan ide manusia tentang keadilan dan kebaikan. Kesimpulan atau asumsi dari kedua penulis jurnal ini adalah tentang kondisi isu ini dari setiap bentuk analisis politik.
            “Giliran” atau “kesempatan” jauh dari norma dan kekhawatiran normatif dimulai dengan revolusi perilaku dan antusiasmenya untuk mengukur sejauh mana pengaruhnya terhadap kehidupan politik. Fenomena normatif dan ide-ide sulit untuk diukur sehingga cenderung disisihkan untuk alasan metodologis. Kecenderungan ini diperkuat oleh obsesi yang muncul dari para ilmuwan politik yang hadir dengan metode ekonomi di akhir tahun 1970-an dan 1980-an.
            Kaum Realis mulai kembali mengejar kekuasaan sebagai “maksimalisasi keuntungan” dan mengikuti kepentingan ekonomis serta cenderung untuk menentukan fungsi utilitas dari segi materi saja. Kaum Liberal tertarik pada analisis ekonomi mikro dari aksi “permainan” kolektif untuk menghidupkan kembali debat yang telah sejak lama terjadi dengan kaum realis dan untuk menunjukkan bahwa kerja sama, perkembangan kesejahteraan, dan “progres” adalah mungkin bahkan memberikan beberapa asumsi pesimistik dari realisme tentang pencarian “human nature”-nya. Pada kenyataannya, “neo” ini, baik realis maupun liberal mungkin sangat pas jika disebut sebagai "econorealis" dan "econoliberalis," sejak apa yang baru di dalam kedua kasus ini merupakan “suntikan” dari kesadaran ekonomi mikro.
            Banyak dari peneliti kontemporer membuat argumen mereka tentang norma, budaya, dan ide. Mereka akan perlu menentukan ide klaim klausal dan mekanisme yang jelas. Selain itu juga harus berpikir secara serius tentang dasar-dasar mikro berdasarkan klaim teoritis tentang norma dan mengevaluasi klaim tersebut dalam konteks historis dan penelitian empiris.
            Dewasa ini norma adalah sesuatu yang tidak mudah untuk diukur jika dibandingkan pada tahun 1930-an atau 1960-an, tetapi presisi konseptual adalah sesuatu yang sangat esensial untuk kedua perdebatan teoritis yang sangat bermakna dan dipertahankan. Pada bahasan ini diambil tiga isu di mana klarifikasi konseptual tampaknya paling mendesak dan paling mungkin untuk dikaji: definisi, hubungan antara norma domestik dan internasional, dan apakah norma merupakan agen-agen stabilitas ataukah perubahan.


Definisi
            Ada kesepakatan umum mengenai definisi norma sebagai standar yang sesuai dengan perilaku bagi pelaku dengan identitas yang diberikan. Tetapi sejumlah isu konseptual yang terkait masih menimbulkan kebingungan dan perdebatan. Pertama, saat konstruktivis dalam ilmu politik berbicara tentang bahasa norma, sosiolog berbicara tentang bahasa “institusi” untuk merujuk pada aturan perilaku yang sama.
            Bahaya dalam penggunaan bahasa norma jika tidak digunakan secara hati-hati dapat mengaburkan unsur yang berbeda dan saling terkait dari lembaga-lembaga sosial. Sebagai contoh, ilmuwan politik cenderung tergelincir ke dalam diskusi tentang “kedaulatan” atau “perbudakan,” seolah-olah kedua konsep itu merupakan norma, padahal sebenarnya mereka adalah kumpulan norma-norma dan kombinasi dari aturan dan praktik yang terstruktur institusinya. Sekali lagi, digunakan secara hati-hati, bagaimanapun bahasa norma dapat membantu para ahli dan akademisi ke arah untuk pencarian institusi sosial dan mempertimbangkan komponen-komponen institusi sosial. Elemen ini dinegosiasikan ulang ke pengaturan baru dari waktu ke waktu untuk menciptakan pola-pola politik yang baru.
           
Hubungan Antara Norma Domestik dan Internasional
            Dalam jurnal, ini kedua penulis concern pada norma-norma internasional atau regional yang menetapkan standar untuk perilaku suatu negara. Norma domestik, bagaimanapun adalah sangat terjalin dengan cara kerja norma-norma internasional. Banyak norma internasional dimulai dari norma domestik dan menjadi skala internasional melalui berbagai macam upaya. Sebagai contohnya, hak pilih perempuan, dimulai sebagai permintaan untuk perubahan negeri di beberapa negara dan pada akhirnya dapat menjadi norma internasional.
            Selain itu, norma-norma internasional harus selalu bekerja dengan pengaruhnya melalui filter-filter struktur domestik dan norma domestik, yang dapat memproduksi berbagai macam variasi penting dalam kepatuhan dan interpretasi norma-norma tersebut. Bahkan dalam situasi di mana mungkin muncul pandangan pertama bahwa norma-norma internasional sekedar “mengalahkan” norma domestik, apa yang sering kita lihat adalah suatu proses di mana “norm entrepreneurs” domestik melindungi posisi minoritas dengan menggunakan norma internasional untuk menguatkan posisi mereka dalam perdebatan domestik. Dengan kata lain, ada dua tingkatan norma di mana terjadi secara domestik dan tabel norma internasional semakin terjalin dan terhubung dengan baik.
            Kedua penulis dalam jurnal ini berargumen bahwa bagaimanapun pengaruh-pengaruh domestik sangat kuat pada tahap awal siklus hidup dari norma itu sendiri, dan pengaruh domestik mengurangi apa yang telah dilembagakan dalam sistem internasional secara signifikan.

Stabilitas vs Perubahan
            Teorisasi level makro telah memberikan penjelasan yang sangat baik tentang jalan atau cara bagaimana norma dapat memproduksi ketertiban sosial dan stabilitas. Saluran-saluran norma dan pengaturan perilaku, mereka sering membatasi berbagai pilihan dan tindakan. Dari perspektif konstruktivis, stuktur internasional ditentukan oleh distribusi ide-ide internasional. Ide, harapan, dan keyakinan tentang perilaku yang tepat adalah sesuatu yang memberikan dunia struktur, ketertiban, dan stabilitas.
            Dengan demikian masalah yang dihadapi oleh konstruktivis menjadi sama dengan masalah yang dihadapi realis. Pada struktur ide-ide internasional, ide perubahan dan pergeseran norma adalah kendaraan utama menuju transformasi sistem. Pergeseran norma teori ide-ide mampu mengubah keseimbangan kekuasaan ke arah realis. John Ruggie berpendapat bahwa dalam masalah ini, “memiliki kemungkinan sistem transformasi di level makro, menghubungkan dengan praktik mikro yang mungkin memiliki efek transformatif harus diidentifikasi dan diinventarisasi.” Berikut adalah wujud dari identifikasi praktik-praktik tersebut.

Evolusi dan Pengaruh Norma
            Pada jurnal bagian ini, kedua penulis mengajukan beberapa proposisi tentang:
1.      Asal-usul atau munculnya norma-norma internasional.
2.      Melalui proses apa saja norma-norma mempengaruhi perilaku negara dan perilaku non-negara.
3.      Norma mana yang akan peduli dan dalam kondisi apa. 
Kedua penulis jurnal ini menggambarkan argumennya dengan bahan yang diambil dari dua bidang isu utama: hak-hak perempuan, terutama hak pilih, dan hukum perang. Norma-norma internasional tentang perempuan memang selau hadir dalam “kompetisi” dengan norma-norma dalam negeri yang dipegang teguh. Meskipun topik-topik yang berkaitan dengan gender dan perempuan telah punah dari halaman-halaman organisasi internasional, kampanye hak pilih menyebabkan partisipasi politik formal dari setengah populasi dunia, dan karena itu patut untuk dipelajari dan diteladani.
Hukum internasional memungkinkan kita untuk membahas dampak dari norma-norma di mana kita mungkin tidak mengharapkannya, bidang keamanan tradisional, di mana norma-norma seperti membatasi kebijakan negara di daerah yang dianggap penting untuk keamanan dan kedaulatan nasional.

Norma “Siklus Kehidupan”
            Pengaruh norma dapat dipahami sebagai proses tiga tahap sebagai berikut.
Norma yang mana dan dalam kondisi apa?
            Salah satu kritik umum dari penelitian norma adalah bahwa norma-norma tidak memberikan hipotesis substantif tentang norma mana yang akan berpengaruh bagi dunia politik dan dalam kondisi apa norma itu akan berpengaruh. Kedua penulis jurnal ini menyajikan beberapa hipotesis yang dapat diuji dan dielaborasi dalam penelitian selanjutnya.
Legitimasi. Kedua penulis jurnal ini berpendapat bahwa kondisi yang penting bagi kesiapan domestik dengan norma-norma internasional adalah kebutuhan untuk legitimasi internasional. Jika legitimasi adalah motivasi utama untuk pergeseran normatif, kita mungkin mengharapkan negara untuk mendukung norma internasional selama periode kekacauan dalam negeri di mana legitimasi elit terancam. Jika negara-negara berusaha untuk meningkatkan reputasi atau harga dirinya, kita berharap negara yang tidak aman tentang status internasional atau reputasinya, agar merangkul norma internasional yang baru.
Prominence (Kemenonjolan). Beberapa norma domestik muncul lebih kepada untuk internasionalisasi daripada yang lain. Hal ini dapat disebabkan baik karena kualitas norma itu sendiri mauapun kualitas negara dalam mempromosikan norma tersebut. Mendeskripsikan di alam teori, Ann Florini berpendapat bahwa “menonjol” adalah karakteristik norma-norma yang penting dan mungkin menyebar melalui sistem. Norma diatur oleh negara dan dipandang secara luas sebagai model yang sukses dan memang diinginkan, sehingga dengan demikian norma cenderung bersifat menonjol dan menyebar. Kenyataan bahwa norma-norma Barat lebih cenderung menyebar secara internasional sepertinya sejalan dengan pengamatan ini. Hal ini sesuai dengan pola adopsi norma-norma hak pilih perempuan, karena hampir semua pemimpin norma adalah negara-negara Barat (meskipun Amerika Serikat dan Inggris adalah pemimpin norma terlambat). Jon
Elster, bagaimanapun, menunjukkan keunggulan yang harus dilihat adalah budaya dan ekonomi serta militer karena ada banyak contoh negara-negara seperti Yunani dan China yang ditaklukkan tetapi norma-normanya telah diasimilasi oleh si pemenagnya.
Karakteristik Intrinsik Norma. Dalam penelitian norma, ada beberapa set klaim bahwa kualitas intrinsik dari norma itu sendiri menentukan pengaruhnya. Kita dapat membagi klaim antara mereka dengan menekankan perumusan norma (yang jelas dan spesifisitas) dan mereka menekankan substansi norma dan isu-isu itu (isinya). Mereka menekankan bentuk norma, bahwa norma yang jelas dan spesifik, bukan ambigu dan kompleks. Institusionalis dalam sosiologi juga berpendapat bahwa norma membuat klaim universal tentang apa yang baik bagi semua orang di segala tempat (seperti norma-norma Barat) memiliki lebih luas potensial dari kerangka normatif lokal dan partikularistik seperti yang dijelaskan di Bali oleh Clifford Geertz.
Norma, Rasionalitas, dan Konstruksi Strategi Sosial
Bagian ekstensif dari penelitian empiris terhadap norma-norma mengungkapkan hubungan erat antara norma dan rasionalitas. Namun, ada sedikit perlakuan teoritis pada hubungan ini, sebagian karena para ahli cenderung untuk mengkontradiksikan norma untuk rasionalitas dalam hubungan internasional. Argumen dari penentang konstruktivis dan rasionalis telah menyebar luas, menyiratkan bahwa masalah studi konstruktivis (norma dan identitas) tidak rasional, dan sama bahwa "rasionalis" tidak dapat atau tidak memperlakukan norma atau identitas dalam program penelitian mereka. Namun, teori terkini bekerja pada pilihan rasional dan pekerjaan empiris pada norm entrepreneurs. Hal ini membuatnya menjadi sangat jelas bahwa patahan garis di antara keduanya tidak dapat dipertahankan secara empiris dan teoritis.
Teori pilihan rasional telah sedang bekerja pada masalah yang berkaitan dengan basis norma perilaku selama lebih dari dua dekade dan telah mulai bekerja pada identitas masalah secara baik. Fakta bahwa metode pilihan rasional telah disesuaikan dalam masa lalu oleh mereka yang memiliki ontologi bahan cenderung mengaburkan fakta bahwa tidak ada tentang pilihan rasional membutuhkan seperti suatu ontologi. Utilitas pelaku dapat ditentukan sebagai nilai-nilai sosial atau ide-ide dengan mudah karena mereka dapat menjadi materi. Dengan membuat berbeda asumsi tentang hubungan sosial dan nilai-nilai ideasional, teori pilihan rasional memberikan wawasan yang menarik ke dalam jenis pola  normatif yang dapat mengembangkan dan stabil.
Penelitian empiris pada norm entrepreneurs transnasional membuatnya sangat jelas bahwa para pelaku ini sangat rasional dan memang sangat canggih mencapai goals dan tujuan mereka. Mereka terlibat dalam sesuatu yang kita sebut "konstruksi sosial strategis": para pelaku ini membuat rinci perhitungan untuk memaksimalkan utilitas mereka, tetapi umereka ingin memaksimalkan perubahan fungsi utilitas pemain lain dengan cara yang mencerminkan komitmen normatif norm entrepreneurs. Paruh pertama dari proses ini disebut sebagai kerangka permainan-teori rasionalHal ini menunjukkan bahwa alih-alih menentang rasionalitas instrumental dan konstruksi sosial kita perlu menemukan beberapa cara untuk menghubungkan proses-proses tersebut secara teoritis.
Kedua penulis jurnal ini menyadari bahwa dengan hanya menunjukkan komplesitas hubungan antara norma dan rasionalitas tidak sangat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mucul. Proses-proses konstruksi sosial dan tawaran strategis memang terjalin dengan sangat erat namun perlu menunggu hubungan teoritis antara rasionalitas dan konteks sosial.
Rasionalitas berperan dalam hampir semua penelitian tentang norma-norma. Bahkan institusionalis dalam sosiologi, yang bekerja adalah mungkin yang paling analitis berbeda dari pilihan rasional, memberikan kebanggaan rasionalitas tempat dalam budaya dunia Weberian yang mendorong perilaku dan menekankan cara-cara tindakan rasional diresapkan dan dirayakan dalam budaya.
 Namun, meskipun semua program-program penelitian mengakui rasionalitas dan hubungan norma perilaku rasional dalam cara yang penting, mereka sangat tidak setuju tentang sifat hubungan tersebut. Maksud kedua penulis jurnal ini adalah bukanlah bahwa semua ilmuwan sepakat tentang bagaimana untuk meneliti norma-norma. Sebaliknya, titik konsennya adalah bahwa konflik tidak tentang (atau tidak harus tentang) apakah rasionalitas berperan dalam basis norma perilaku. Konflik sekitar sifat hubungan antara rasionalitas dan berbasis norma perilaku. Dengan membongkar bahwa hubungan antara rasionalitas dan norma, kita dapat melihat lebih jelas masalah di bursa saham dalam penelitian kontemporer dan memahami lebih baik beberapa perdebatan mengenainya. Empat masalah menonjol dan membuat garis besar perdebatan di kalangan ilmuwan: materialisme, utilitarianisme, pilihan, dan persuasi.

Kesimpulan
            Kembalinya norma-norma pada akhirnya akan “memegang” janji untuk mengkaji lebih dalam agenda penelitian hubungan internasional dan membuka jalan baru yang menarik untuk pembuktian, dan bukan hanya karena menawarkan objek studi yang baru. Lebih menarik untuk pemikiran kita bahwa jalan dari penelitian norma membuka percakapan dengan tradisi teoritis yang telah dilupakan oleh para ilmuwan hubungan internasional beberapa dekade ini.
Karakter evaluatif dan preskriptif norma membuka jalan untuk percakapan yang telah lama ditunggu dengan teori politik dan etika. Selama beberapa dekade terakhir, penelitian hubungan internasional telah bercerai dari teori politik pada tataran alasan (secara implisit, jika tidak secara eksplisit, diartikulasikan) bahwa apa yang "adalah" di dunia dan apa yang "seharusnya" sangat berbeda dan harus dipisahkan, baik secara intelektual maupun dalam bentuk kebijakan.
Namun, penelitian empiris kontemporer pada norma bertujuan tepatnya pada menunjukkan bagaimana "seharusnya" menjadi "adalah." Empiris penelitian dokumen lagi dan lagi bagaimana ide-ide orang tentang apa yang baik dan apa yang "harus" di dunia menjadi diterjemahkan ke dalam realitas politik. Orang dengan komitmen berprinsip membuat perubahan yang signifikan dalam lanskap politik: perbudakan sebagai lembaga hukum, hak milik sudah dihapus di mana-mana di planet ini, untuk pertama kalinya di sejarah manusia, perempuan, lebih dari setengah populasi dunia, memiliki politik formal penuh dengan partisipasi di banyak negara di dunia ini; dan meskipun perang terus menjadi praktek manusia yang mengerikan, tidak ada keraguan bahwa hal itu kurang mengerikan sebagai akibat dari upaya oleh berperikemanusiaan untuk mengekang senjata yang paling mengerikan dan praktiknya.
Pada saat yang sama, komitmen berprinsip dan pengertian tentang apa yang "harus" telah memicu xenophobia nasionalisme, fasisme, dan pembersihan etnis. Memahami di mana klaim "oughtness" berasal, bagaimana mereka terkait satu sama lain, mana yang akan menjadi kuat, dan apa implikasinya adalah untuk politik dunia sangat penting, tetapi pembuktiaan yang hanya dapat dilakukan di hubungan teori politik dan hubungan internasional.
Koneksi serupa ada di antara penelitian norma serta bidang-bidang studi. Hukum internasional, seperti filsafat dan etika, telah diabaikan oleh para ilmuwan hubungan internasional  selama puluhan tahun, namun hukum kebiasaan internasional adalah norma, dan penelitian empiris dalam hubungan internasional, sekali lagi, menunjukkan bahwa norma-norma hukum memiliki efek perilaku kuat. Hukum norma juga terikat erat dengan cara kerja lembaga-lembaga internasional, yang telah menjadi fokus utama dari hampir semua jenis penelitian hubungan internasional dalam beberapa tahun terakhir. Selanjutnya, norma-norma hukum yang terstruktur dan perilaku saluran dengan cara yang tepat membuat ilmuwan pola politik berusaha untuk menjelaskan. Memahami norma-norma yang akan menjadi hukum ("hukum lunak" serta "hukum keras") dan bagaimana, tepatnya, kepatuhan dengan hukum datang, lagi, menjadi topik penting dari pembuktian yang terletak di hubungan hukum dan hubungan internasional.
Dasar mikro untuk norma berbasis perilaku bisa diperbaiki dengan membayar lebih perhatian pada studi di bidang psikologi, terutama bekerja pada peran mempengaruhi, empati, kesesuaian, dan harga diri. Seperti hukum dan filsafat, mempengaruhi dan empati telah menyapu di bawah karpet dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ide-ide telah diperlakukan sebagai "informasi," yang mengurangi ketidakpastian atau menyediakan strategi-strategi baru untuk memaksimalkan utilitas. Hasilnya adalah politik tanpa gairah atau prinsip-prinsip, yang hampir tidak seperti politik sejati di mana kita hidup.
Emosi bisa secara politik berbahaya dan tidak diinginkan dalam politik; membenci, setelah semua, adalah terpengaruhi juga. Tetapi untuk berpura-pura bahwa mempengaruhi dan empati tidak ada sama saja dengan kehilangan dinamika dasar kehidupan politik, dan penulis jurnal ini telah mencoba untuk menyarankan bagaimana upaya dalam aspek psikologi untuk bergulat dengan isu-isu ini pada akhirnya dapat membantu menjawab persoalan-persoalan yang terkait.
Akhirnya, kedua penulis jurnal ini telah mencoba untuk menunjukkan bagaimana norma-norma penelitian lintas disiplin memotong kita sendiri dengan cara yang menyegarkan dan merangsang percakapan baru. Bertentangan dengan apa yang kita anggap berkesan dan populer. Rasionalitas bukan masalah yang membagi-bagi ilmuwan hubungan internasional. Teori pilihan rasional dapat dan memang banyak mengatakan tentang fenomena ide-ide dan bagaimana norma-norma bekerja, hanya sebagai studi empiris konstruksi sosial dan munculnya norma berulang kali mengungkapkan interaksi strategis yang sangat rasional.
Para ahli dan ilmuwan dibagi, bagaimanapun, tentang peran yang dimainkannya dalam pilihan perilaku berbasis norma, tentang apa yang memotivasi pilihan, dan tentang persuasi memainkan peran dalam proses normatif dan bagaimana mengobatinya. Tidak ada aliran pemikiran dalam semua disiplin ilmu sepenuhnya nyaman dengan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini pada saat ini. Kedua penulis jurnal ini adalah dalam keadaan yang baik urusan dan kepentingannya, yang akan mendorong para ilmuwan untuk menjelajah keluar metodologis yang sempit serta berkomitmen untuk berpikir lebih luas tentang masalah ini.