Laman

Selasa, 17 Januari 2012

Sinopsis Teater I LA GALIGO


Setelah 7 tahun di pentaskan di seluruh belahan dunia, akhirnya pada akhir April 2011, pegelaran teater I LAGALIGO di pentaskan di kampung halamannya, Makassar, Sulawesi-Selatan, tepatnya tanggal 23-24 April 2011 di Benteng Rotterdam. Adapun ringkasan dari jalan cerita pegeralan teater tersebut, ialah:

SINOPSIS

Prolog : Akhir dan Awal dunia tengah dikosongkan
I Laga Ligo berkeberatan: “Tunggu! Jika dunia Tengah diakhiri sekarang, siapa yang akan ingat legenda Sawe ragading? Aku, I Laga Ligo, adalah putranya. Berikanlah aku waktu untuk menceritakan kisah keluargaku dan para dewa.” Mulailah I Laga Ligo.
Adegan satu : Penciptaan Dunia Tengah
Para dewa dari dunia atas dan bawah setuju mengirim anak-anak mereka mengisi dunia tengah. Mereka tidak menjadi dewa jika tidak ada satu pun yang menyembah mereka. Patotoqe’, dewa tertinggi dunia atas, memerintahkan anaknya Batara Guru turun ke dunia tengah. Karena mereka keturunan dewa, mereka menjadi penguasa kerajaan Luwuq. Ketika mereka menikah, puluhan sepupu dan pelayan mereka bergabung dengan mereka di Dunia Tengah. Dewi Sri membawa kesuburan bagi tanah dan orang-orang. Semua wanita di bumi melahirkan, kecuali Sang Ratu.

Adegan Dua: Kelahiran Si Kembar
Upacara-upacara digelar untuk membantu persalinan yang sulit. Pendeta Bissu bersikeras bahwa persembahan darah harus “mengalir seperti sungai”. Orang-orang bertempur. Akhirnya sepasang Kembar Emas Lahir. Sawe’rigading, yang ditakdirkan menjadi raja pejuang besar, lahir dengan baju zirah lengkap. We’ Tenriabe’ng, saudara perempuannya, yang ditakdirkan menjadi pendeta, lahir dengan peralatan lengkap upacara Bissu. Sebuah ramalan memperingatkan orang tua mereka bahwa anak-anak mereka ini ditakdirkan jatuh cinta. Untuk menghindari hubungan terlarang itu, yang akan memicu kehancuran kerajaan, si kembar dipisahkan sejak lahir. Mereka tidak boleh pernah bertemu! Mereka dapat memiliki segalanya di Dunia kecuali satu sama lain.

Adegan Tiga: Menjelajahi Dunia
Ketika kembar menjadi dewasa, We’Tenriabe’ng tersembunyi dalam tempat rahasia istana, dan Sawe’rigading dan para sepupunya berlayar menjelajahi dunia. Setelah sebuah petualangan yang gagal untuk menghidupkan jiwa seseorang wanita muda cantik yang terjebak di pulau orang mati, Sawe’rigading yang sedih di beritahu bahwa wanita paling cantik di dunia, yaitu kembaran-nya, tinggal di bagian rahasia istana di tanah kelahirannya. Diam-diam ia pulang untuk menemukannya.

Adegan Empat: Pertemuan Terlarang
Sesampainya di istana, Sawe’rigading menggunakan kekuatan gaibnya untuk membuat semua orang istana tertidur dan menyelinap ke kamar We’Tenriabe’ng. Sawe’rigading terpesona oleh kecantikan saudara perempuannya yang luar biasa, dan menyatakan cintanya. We’Tenriabe’ng juga segera terkesan dengan kakaknya, tapi menolak dia sambil menjelaskan kutukan yang akan menimpa kerajaan jika mereka saling mencintai. Sawe’rigading meninggalkan kamar adiknya dan langsung menghadap ayahnya. Dia meminta izin menikahi adiknya. “Tidak. Kau harus mendahulukan kepentingan kerajaan daripada kesenanganmu sendiri.”

Adegan Lima: Kebingungan dan Kepetusasaan
Sawe’rigading pergi untuk menghibur dirinya dengan perempuan dan adu ayam, tetapi ia tidak dapat melupakan We’Tenriabe’ng. Dia meminta ayahnya izin tinggal satu tahun dengan adiknya. Jika tidak setahun, sebulan, sehari, satu jam! “Tidak, bahkan sekedipan mata pun tidak,” jawab ayahnya. “Tidak!” Hampir gila dengan hasrat, Sawe’rigading memutuskan bahwa jika ia tidak dapat memiliki We’Tenriabe’ng, yang lain juga harus menderita rasa sakit yang sama ia rasakan. Dia mulai berkelahi dan membunuh orang-orang kerajaan. Satu-satunya yang bisa menghentikannya adalah adiknya. Di tengah kekacauan, We’Tenriabe’ng muncul.

Adegan Enam: Sang Putri dalam Kuku Ibu Jari
We’Tenriabe’ng muncul dari istana. Semuanya menghilang dan si kembar berdua saja. We’Tenriabe’ng bertanya mengapa Sawe’rigading ingin menikainya, padahal dia bisa memiliki siapa pun di bumi. “Karena kecantikanmu, wajahmu, lekuk punggungmu, kulitmu yang bercahaya,” kata sawe’rigading. We’Tenriabe’ng menjawab “Jika hnya tubuhku yang kauinginkan, ada jalan keluarnya. Lihatlah ke dalam kuku ibu jariku, dank au akan melihat wajah sepupu kita, We’Cudaiq, yang bagai pinang dibelah dua denganku. Ia adalah putrid Cina dan ditakdirkan untuk menjadi pengantinmu.” We’Tenriabe’ng mementrai Sawe’rigading supaya bermimpi bercinta dengan We’Cudaiq. Karena Sawe’rigading masih enggan meninggalkan adiknya, We’Tenriabe’ng bersumpah bahwa kalau kakaknya itu tidak jatuh cinta kepada We’Cudaiq, dia akan menerimanya, apa pun yang terjadi. Sawe’rigading setuju pergi, tetapi ia tidak memiliki sebuah kapal yang cukup besar untuk membawanya ke Cina yang jau sekali.

Adegan Tujuh: Pohon Agung
Dengan bantuan para dewa, We’lenre’ngge’- pahon terbesar dan paling suci di dunia- ditebang dan lantas tenggelam ke Dunia Bawah dan muncul sebagai armada kapal. Sawe’rigading memohon pengampunan dari pohon atas pemotongan pohon suci itu, dan bersumpah tida akan kembali ke Luwuq. Sawe’rigading dan pohon sam-sama telah terputus akar mereka selamanya. Si kembar mengucapkan salam terakhir perpisahan mereka dengan janji bahwa, biarpun mereka tidak bisa bersama, mungkin anak-anak mereka akn menikah. We’Tenriabe’ng naik ke dunia atas, tahap terakhir dalam perubahannya menjadi pendeta Bissu. Sawe’rigading bersumpah tidak lagi kembali ke Luwuq, dan berangkat dengan armadanya ke Cina yang jatuh. Air mata We’Tenriabe’ng jatuh dari langit sebagai hujan lembut mengguyur Sawe’rigading dan armadanya.

Adegan Delapan: Takdir Disangkal
Di Cina. We’Cudaiq, dikelilingi oleh dayang-dayangnya, sedang berdandan. Setelah tiba Sawe’rigading mengirimkan burung terpercaya untuk mata-matai We’Cudaiq. Si burung kembali dan melaporkan bahwa We’Cudaq lebih cantik daripada We’Tenriabe’ng. Sawe’rigading meminta izin Raja dan Ratu Cina untuk menikai putrid mereka dan mulai mengirim mahar yang banyak sekali ke istana. Dayng-dayang We’Cudaiq salah mengira bahwa salah seorang sepupu Sawe’rigading adalah pangeran itu, dan melaporkan ke We’Cudaiq bahwa laki-laki yang di janjikan kepadanya berwajah jelek, kotor, liar, jorok, dan kasar. Meskipun serupa benar dengan We’Tenriabe’ng, perangai We’Cudaiq sebaliknya, suka mementingkan diri sendiri dan dangkal. Takut tampak bodoh menikah dengan seorang liar berwajah jelek, dia menolak pernikahan. Mahar segara dikembalikan. Para sepupu Sawe’rigading meyakinkan bahwa ia harus bertempur untuk kehormatan diri dan rakyatnya. Dia setuju dengan syarat bahwa We’Cudaiq tidak terluka. Hamper semua orang di kerajaan dibunuh. Ayah We’Cudaiq menegaskan kepada putrinya bahwa kalau ia tidak menikahi Sawe’rigading, We’Cudaiq hanya akan di jadikan gundik. We’Cudaiq setuju dengan syarat kerajaan dipulihkan, semua prajurit dihidupkan kembali, pernikahan tidak dirayakan, dan dia tidak sudi menerima Sawe’rigading pada siang hari atau melihat wajahnya.

Adegan Sembilan: Cinta yang Ganjil
We’Cudaiq melipat dirinya dengan tujuh sarung, terkunci di belakang tujuh gerbang yang dijaga ketat, dan menolak bertemu Sawe’rigading. Sedih dan kesal, Sawe’rigadeng tidak mau memaksakan dirinya kepada We’Cudaiq., tapi angin membawa pesan dari adiknya yang telah mengamatinya dari tempat tinggalnya di dunia atas. “We’Cudaiq adalah takdirmu. Kau harus mengejarnya. Aku akan membantu.” Dua kucing ajaib yang dikirim oleh adik perempuannya dari dunia atas membantu Sawe’rigading berjalan ke kamar We’Cudaiq. Dia terus berkunjung tiap malam. Meskipun We’Cudaiq akhirnya menikmati petualangan malam mereka, ia masih menolak menatap wajah dan bersikeras bahwa Sawe’rigading meninggalkan kamar saat fajar. Akhirnya, yakin ia tidak akan pernah memenangkan hati istrinya, Sawe’rigading pergi ke kerajaan lain dantidak kembali ke kamar We’Cudaiq. Tapi We’Cudaiq sudah hamil. Dia menyembunyikan kehamilannya, dan ketika si anak lahir ia memerintahkan pelayannya, “Lemparkan anak itu ke sungai dan umpankan ke anjing-anjing, aku tidak pernah ingin memandang anak orang liar itu!” Sawe’rigading mengambil putra mereka, I Laga Ligo, dan membesarkan dia.

Adegan Sepuluh: I Laga Ligo dan Akhir Dunia Tengah
Tahun-tahun berlalu. Sendirian dan kesepian. We’Cudaiq mengetahui bahwa anaknya telah tumbuh menjadi seorang pria muda yang tampan dan ia rindu melihat putranya. Sebuah sabung ayam besar diatur, semua orang di kerajaan harus hadir. Melihat I Laga Ligo dan sawe’rigading, We’Cudaiq terpana oleh keelokan mereka. “Siapa anak yang tampan dan siapa pula orang jatmika yang bersamanya itu?” Tanya We’Cudaiq kepada ayahnya, “ ia pasti dikirim oleh para dewa khusus untukku” “itu adalah anakmu dan orang itu adalah suamimu, sawe’rigading, yang pernah kamu siksa dan tolak.” We’Cudaiq memancing anak dan suaminya datang ke istana. Akhirnya, berdiri bersama-sama, bertatap muka dalam terang hari, We’Cudaiq jatuh cinta setengah mati kepada Sawe’rigading. I Laga Ligo, anak muda yang sombong dan manja, sekarang tinggal sendirian. Dia adalah seorang pemuda mata keranjang, nakal, dan bisa disebut pecundang yang buruk. Sementara ia menjelajah dari pulau ke pulau, menikahi banyak perempuan dan mencuri istri orang lain, suara ayah Sawe’rigading terdengar. Semua keturunan para dewa harus kembali ke Luwuq untuk reuni keluarga.

Epilog: Akhir dan Awal
Tidak dapat melupakan adiknya, Sawe’rigading melanggar sumpahnya dan kembali ke Luwuq. Permintaan si kembar agar tidak boleh saling bertemu dikabulkan dan Sawe’rigading dan We’Tenriabe’ng pun berjumpa. Tiba-tiba, suara potoque’ memberitahu kepada semua bahwa Dunia Tengah akan debersihkan. Semua keturunan dewa harus kembali ke Dunia Atas dan Dunia Bawah. Sawe’rigading menjadi penguasa dunia bawah; We’Tenriabe’ng menjadi penguasa dunia atas . dunia tengah jatuh dalam kekacauan. Setelah beberapa generasi, putrid Sawe’rigading dan putra We’Tenriabe’ng akan dikirim ke dunia Tengah. Mereka akan memenuhi sumpah orang tua mereka, menikah dan menjadi penguasa baru dunia tengah. Pelangi yang menjadi sarana dewa-dewa melakukan perjalanan di antara jetiga dunia digulung dan disimpan. Gerbang yang menghubungkan dunia tengah dunia atas dan dunia bawah tertutup dan di gembok selamanya. Para dewa tidak akan lagi campur tangan langsung dalam urusan manusia. Sepasang manusia menentukan jalan mereka sendiri di dunia baru tanpa dewa.

Minggu, 15 Januari 2012

Faktor Penyebab Krisis Ekonomi Eropa dan Negara yang Terkena Dampak Krisis




Krisis keuangan Eropa telah mengancam perekonomian dunia. Krisis yang menakutkan dunia itu berakar pada kegagalan Uni Eropa untuk memperbaiki perbankannya yang sebenarnya perekonomian Eropa belum sepenuhnya sembuh kembali dari krisis global tahun 2007 dan tidak pernah sepenuhnya menangani semua tantangan yang dihadapi sistem perbankan mereka.
Melihat secara umum bentuk persoalan krisis yang dihadapi eropa tersebut, dapat dikelompokkan menjadi 4 dilema besar yang mengakibatkan kondisi perekonomian eropa menjadi carut-marut, yaitu (1) :

• Debitur vs kreditor
Eropa dihadapkan dengan menggemuknya utang pemerintah dan swasta yang banyak diantaranya yang tidak membayar dan menjadi ancaman ketika bertabrakan pada persoalan seberapa besar utang yang akan di-write off dan siapa yang akan bertanggung jawab atas itu. Serta jika kredit macet dihapus, artinya ada pihak yang harus menanggung rugi. Inilah alasan utama hilangnya kepercayaan pada sistem perbankan Eropa.

• Penghematan vs pertumbuhan
Eropa harus bisa memacu pertumbuhan ekonomi saat melakukan penghematan fiskal. Dimana setiap Negara yang dilanda krisis terus menciutkan anggaran belanja dan agar pendapatan naik, pemerintah harus rela mengorbankan rakyat dengan memungut pajak yang amat menyakitkan.
Masalahnya adalah penghematan berarti membunuh pertumbuhan ekonomi seluruh Eropa. Meskipun mendapatkan sedekah pajak, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi lemah, sulit bagi pemerintah untuk menekan pinjaman mereka, bahkan membayar kembali utang yang ada.

• Disiplin vs solidaritas
Pandangan Jerman pada krisis zona euro sangat sederhana. Pemerintah Eropa Selatan yang memberikan suku bunga tinggi harus dihukum dan harus belajar disiplin. Jerman menginginkan, Eropa Selatan memasukkan aturan-aturan yang ketat dalam memutuskan besaran anggaran. Hal itu bermanfaat untuk menghentikan kecerobohan di masa depan. Namun, aturan yang disertai denda atau penalti mungkin tidak kredibel. Jerman merusak sendiri pakta stabilitas dengan melindungi mereka atas nama solidaritas euro. Tujuannya adalah menjaga euro menjadi mata uang tunggal yang stabil.

• Eropa vs tiap Negara
Krisis ekonomi negara sebenarnya dibangun di atas kekuatan mata uang, kondisi keuangan yang aman, dan laju ekspor yang kuat. Namun, pemilihan euro sebagai mata uang tunggal Uni Eropa tak semudah skenario awal. Eropa Selatan menyimpulkan, penyatuan tersebut menimbulkan inflasi dan mahalnya biaya hidup di sana.
Sejak awal berdirinya pada 1950-an, Uni Eropa telah berjalan dan dikendalikan oleh klub pemerintah nasional. Proses politik menjadi salah satu isu tawar-menawar di balik pintu tertutup. Isu-isu terus disuplai ke beberapa negara pemilih dengan nama kepentingan nasional. Akibat penyatuan ini, setiap kebijakan harus disetujui oleh 17 pemerintahan dan diratifikasi oleh 17 parlemen. Uni Eropa pun akhirnya dinilai lamban menuntaskan masalah keuangan karena harus melibatkan persetujuan banyak pihak.
Krisis eropa merupakan bentuk krisis utang yang berasal dari Yunani, yang kemudian menjalar ke Irlandia dan Portugal serta menimbulkan efek domino ke beberapa Negara Uni eropa lainnya. Yunani jika dilihat dari kaca mata sejarah merupakan negara dengan peradaban yang sangat berkembang pesat tetapi saat ini ketika melihat Yunani maka yang didapati adalah sebuah negara dengan corruption perceptions index berada pada peringkat 71 dari 180 negara (2).
Adanya ketidak jujuran pemerintah Yunani yang mengutak-atik nilai pertumbuhan ekonomi makro-nya pun merupakan awal jatuhnya perekonomian Yunani di mana pemerintah Yunani berusaha menutup-nutupi angka defisit negara yang disebabkan oleh banyaknya kasus penggelapan pajak, yang diperkirakan telah merugikan negara hingga US$ 20 milyar per tahun.
Dan pada awal tahun 2000-an, tidak ada yang memperhatikan fakta bahwa utang Yunani sudah terlalu besar. Malah dari tahun 2000 hingga 2007, Yunani mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 4.2% per tahun, yang merupakan angka tertinggi di zona Eropa, hasil dari membanjirnya modal asing ke negara tersebut. Keadaan berbalik ketika pasca krisis global 2008 dimana negara-negara lain mulai bangkit dari resesi, dua dari sektor ekonomi utama Yunani yaitu sektor pariwisata dan perkapalan, justru mencatat penurunan pendapatan hingga 15%. Orang-orang pun mulai sadar bahwa mungkin ada yang salah dengan perekonomian Yunani.(3)
Di Irlandia sendiri sedang terbelit imbal hasil (yield) surat utang (obligasi) yang diterbitkan oleh pemerintah. Serta keadaan anggaran Negara yang mengalami defisit hingga sebesar 32 persen terhadap produk domestik bruto tercatat sebagai defisit anggaran terbesar di kawasan Eropa. Melihat fakta tersebut, sangat wajar kalau krisis Irlandia mulai menebar kekhawatiran global. Sebab posisi keuangan Irlandia yang tidak stabil tersebut berisiko tinggi terhadap gagal bayar obligasi yang diterbitkan pemerintah. (4)
Adapun keadaan Portugal yang tidak jauh berbeda dengan keadaan Yunani yang terbelit hutang, mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi yang berefek terhadap kehidupan politik dan sosial di Portugal. Di langsir, akibat krisis hutang tersebut 90% pekerja gabungan dari pekerja kantor pos, rumah sakit, dan pengajar, melakukan pemogokan guna menentang perluasan langkah penghematan pemerintah di dalam anggaran ketat 2012 dengan tujuan membantu negeri itu membayar utangnya.
Selain Irlandia dan Portugal, kini perluasan krisis eropa telah menjalar ke Italia seiring melonjaknya tingkat imbal hasil surat utang pemerintah. Tingkat imbal hasil surat berharga tersebut melonjak hingga 7,502 persen, tertinggi sejak euro diperkenalkan pada tahun 1999. Mengakibatkan para investor terpaksa menjual surat-surat berharga Italia setelah kustodian Eropa menaikkan kolateral yang dibutuhkan untuk meminjam dengan surat utang itu. Investor pun semakin khawatir ketidakstabilan kondisi politik setelah mundurnya Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi bisa menyebabkan reformasi ekonomi tertunda.
Tidak hanya pada keempat Negara di atas, krisis ekonomi yang terjadi di eropa sekarang semakin terasa mempengaruhi negara-negara anggota uni eropa lainnya, seperti Spanyol hingga “meracuni” Prancis. Kisruh ketidakstabilan ekonomi tersebut pun semakin menghawatirkan negara-negara eropa bagian utara khusnya Jerman yang memiliki peran penting dalam mekanisme perekonomian anggota uni eropa agar lebih bekerja ekstra mengamankan euro sebagai mata uang anggota uni eropa hingga tidak terpuruk pada nilai terendah. Sehingga untuk saat ini yang ditunggu adalah bagaimana upaya uni eropa dapat mengatasi imbas krisis yang semakin menggunung.


Sumber data penulisan :

Erlangga Djumena, “Empat Dilema yang Membuat Eropa Karut-marut”, Kompas, diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/11/29/14061778/Empat.Dilema.yang.Membuat.Eropa.Karut-marut, pada tanggal 19 Desember 2011 pukul 17.35

……, “Krisis Yunani, Penyebab dan Implikasinya”, Ferrylaks Wordpress, diakses dari http://ferrylaks.wordpress.com/2011/10/28/krisis-yunani-penyebab-dan-implikasinya/, pada tanggal 19 Desember 2011 pukul 17.35


Audi Yudhasmara, “ Krisis Utang Yunani, Penyebab Krisis Eropa”, Korando, diakses dari http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/10/09/krisis-utang-yunani-penyebab-krisis-eropa/, pada tanggal 19 Desember 2011 pada pukul 17.35

……. , “Krisis Irlandia, Bibit Krisis Baru Global”, Okezone, diakses dari http://suar.okezone.com/read/2010/11/18/279/394339/krisis-irlandia-bibit-krisis-baru-global, pada tanggal 19 Desember 2011 pada pukul 17.52

Sabtu, 14 Januari 2012

Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in International Politics



Book Review

Published in: Millennium: Journal of International Studies 28 (1), pp. 188-190
Margaret E. Keck, Kathryn Sikkink, Activists Beyond Borders: Advocacy Networks in
International Politics (Ithaca and London: Cornell University Press, 1998, 228 pp., £ 11.95 pbk.).

In recent years, an increasing amount of empirical research and theorizing in international relations has revived the debate on transnational relations. Although transnational relations have been successfully brought back in, many empirical and theoretical blind spots remain, especially as regards the factors contributing to the relative failure or success of non-state actor attempts to change state behaviour and thus policy outcomes in specific issue-areas. Margaret E. Keck and Kathryn Sikkink aim to fill some of these gaps by focusing on the role of transnational advocacy networks formed by Activists beyond Borders.

The authors define transnational advocacy networks as communicative structures whose members are primarily motivated ‘by shared principled ideas or values’ (p. 30), engaging in the ‘voluntary, reciprocal, and horizontal exchange of information and services’ (p. 200). It is the organization around shared values that distinguishes transnational advocacy networks from other transnational networks such as corporations and banks, which pursue purely instrumental goals, and epistemic communities motivated primarily by shared causal ideas. Domestic and international NGOs play central roles in all transnational advocacy networks which may also include local social movements, the media, intellectuals, parts of regional and international intergovernmental organizations and parts of the executive and/or parliamentary branches of
governments (p. 9).

In their conceptual introduction, historical overview of precursors to modern networks and three case studies (human rights advocacy networks in Latin America, environmental advocacy networks, transnational networks on violence against women), the authors seek to account for the origins, workings and conditions of effective advocacy networks. The 1960s cultural shift favouring international activism and better, cheaper and more readily available means of communication and transportation facilitated the emergence of transnational advocacy networks. Such networks ‘carry and re-frame ideas, insert them in policy debates, pressure for regime formation, and enforce existing international norms and rules, at the same time that they try to influence particular domestic political issues’ (p. 199). Advocacy networks are not powerful in the traditional sense but instead develop innovative strategies and techniques to make a difference.

Keck and Sikkink identify four clusters of strategies and techniques: Information politics (gathering and providing information, dramatizing facts by using testimonies), symbolic politics (use of symbolic events and conferences to publicize issues), leverage politics (linking issues of concern to money, trade or prestige and persuading more powerful actors such as the World Bank to exert pressure) and accountability politics (reminding governments or institutions of living up to previously endorsed principles). The case studies (in particular the ones on human rights advocacy networks in Argentina and Mexico) show that many activities of advocacy networks follow the ‘boomerang pattern’ (p. 13): State A blocks redress to organizations within it; they activate networks, whose members pressure their own state and (if relevant) a third-party
organization, which in turn pressure State A.

According to Keck and Sikkink, the key determining factors for the success of transnational advocacy networks are the strength and density of the networks, the vulnerability of the target state or organization, domestic structures (the nature of domestic institutions and society) and the nature of the relevant issue. The case studies show that issues involving ‘bodily harm to vulnerable individuals and legal equality of opportunity’ are most conducive to successful mobilization (p. 204).

Activists beyond Borders should be regarded as a pioneer work in the field of transnational activist networks and a major contribution to the literature on trasnational relations. By drawing on a broad range of comparative work on social movements, Keck and Sikkink manage to bridge the often deplored but persistent gap between domestic and international politics. They also make important contributions to ongoing debates in international relations theory, for example by demonstrating the importance of norms and ideas for change in the (inter)national arena. The international system, Keck and Sikkink argue, is ‘made up not only of states engaged in self-help or even rule-governed behavior, but of dense webs of interactions and interrelations among citizens of different states which both reflect and help sustain shared values, beliefs and projects’ (p. 213). Avoiding the premature optimism of ‘world polity’ theory (John Boli/George Thomas), they opt for a cautious extension of the notion of ‘international society’ from a society of states to an emerging, yet highly fragmented transnational civil society.

Effective advocacy networks, Keck and Sikkink assert, contribute to a transformed understanding of national interest in their target state. The underlying process - described as ‘socialization’ - remains undertheorized. Role theories and theories of learning might be helpful in shedding further light on this process. As with many pioneer works, the authors inevitably could not address many issues inviting criticism. Although the case studies offer a multitude of detailed and original insights, they at times lack sufficient analytical rigour necessary to fully integrate the empirical and conceptual chapters. For example, the use of symbolic politics and framing remains underexplored in the chapter on human rights advocacy networks. Moreover, while explaining the importance of norms and ideas, Keck and Sikkink hardly discuss the origins of the norms themselves. A more open engagement with potential critics who might regard transnational advocacy networks as mere instruments of power politics would also improve the overall analytical coherence of the study. Nonetheless, this work is a benchmark and an obvious starting point for further research on advocacy networks and transnational relations.

THORSTEN BENNER
Thorsten Benner is a Visiting Scholar at the Center for German and European Studies, University of California at Berkeley

Kamis, 12 Januari 2012

HUBUNGAN INDONESIA DAN ASEAN DALAM KERJASAMA AFTA



AFTA yang merupakan singkatan dari ASEAN Free Tread Area memiliki arti sebagai kawasan perdagangan bebas ASEAN, pertama kali disepakati pada tanggal 28 Januari 1992 waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura oleh enam negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam kemudian bergabung pada tahun 1995, serta Laos dan Myanmar pada tahun 1997, dan Kamboja pada tahun 1999.

AFTA di bentuk dengan dengan tujuan agar menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global, dan menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI) yaitu penanaman modal asing yang direpresentasikan di dalam asset riil seperti: tanah, bangunan, peralatan dan teknologi, serta meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN.

Dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, diberlakukanlah penurunan tarif barang perdagangan dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0–5 %) maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN melalui skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) dimana selain penurunan tarif juga dimaksudkan untuk penghapusan pembatasan kwantitatif (kuota) dan hambatan-hambatan non tarif lainnya.

Pengaruh Positif
Melihat dari banyaknya kelebihan dari skema dan tujuan-tujuan yang diharapkan dapat terlaksana dalam AFTA, maka dapat dicermati keuntungan yang akan diperoleh Indonesia dalam AFTA ini, yaitu dengan tanpa dikenanya tarif, produk-produk Indonesia dapat di ekspor ke kawasan negara-negara ASEAN dengan lebih murah, tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan yang dulu dikenakan sebelum persetujuan AFTA, kini produk-produk Indonesia dapat dengan mudah berada di kawasan ASEAN, hal ini tentu tidak hanya memberikan keuntungan dengan kemudahan perdagangan internasional dalam regional ASEAN tetapi juga akan memacu kreativitas dalam negeri sebab produk-produk negara lain di kawasan ASEAN pun akan marak di dalam negeri, sehingga jika dalam negeri tidak meningkatkan kreativitasnya, maka dengan mudah dilindas oleh produk-produk impor.

Adapun hal yang mencengangkan dengan adanya AFTA akan membuka peluang pasar yang besar dan luas bagi produk Indonesia, dimana penduduk yang notabene adalah konsumen dengan jumlah sebesar ± 500 juta jiwa berada di area ASEAN sehingga akan lebih memperlancar proses perputaran perdagangan bagi produk-produk Indonesia dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam akan membantu terdistribusinya produk-produk Indonesia dengan level yang bervariasi kepada tingkat sosial masyarakat yang variatif pula.

Selain itu para pengusaha/produsen Indonesia akan lebih rendah mengeluarkan biaya produksi, dimana diketahui bahwa beberapa produk Indonesia ada juga yang membutuhkan barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota ASEAN lainnya sehingga dengan adanya pembebasan tarif akan lebih meringankan pengeluaran biaya produksi yang juga akan secara bersamaan mengurangi biaya pemasaran, sehingga harga produk Indonesia tersebut dapat lebih ditekan yang akhirnya dengan kualitas yang baik produk Indonesia dapat dipasarkan dengan harga terjangkau yang kemudian akan memberikan keuntungan sebab para konsumen akan lebih tertarik dengan nilai harga yang ditawarkan.

Tidak hanya para pebisnis yang akan merasakan keuntungan melalui AFTA ini, konsumen di Indonesia pun yang merupakan konsumen terbesar dari 9 negara anggota AFTA akan menerima nilai plus pula, dimana dengan maraknya produk luar di pasar domestik akan memberikan keragaman produk dengan harga yang variatif yang dapat disesuaikan dengan kemampuan kantong setiap individu, dan pada bagian awal yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa dengan maraknya produk luar yang menggrogoti pasar domestik Indonesia, akan memacu kreativitas produsen lokal untuk bersaing agar tidak kehilangan konsumennya, serta memacu pula pemanfaatan sumber daya alam dan manusia pada tingkatan maksimal.

Serta keuntungan lain yang dapat diperoleh Indonesia adalah terbukanya kerjasama dalam menjalankan bisnis dengan beraliansi bersama pelaku bisnis di negara anggota ASEAN lainnya. Melalui aliansi ini, para pebisnis Indonesia akan lebih memperluas jaringannya, yang kelak akan mengamtarkan mereka tidak hanya berbisnis di area ASEAN saja tetapi juga dapat menjadi batu loncatan ke pasar global, hal ini akan sangat bermanfaat untuk prosuden-produsen rumahan, yang akan lebih meningkatkan kesejahteraan para pekerjanya serta memberikan keuntungan bagi negara dimana akan terbentuk pemahaman di benak konsumen luar negeri bahwa produk-produk yang dihasilkan oleh pasar domestik Indonesia memiliki kualistas internasional dengan penanganan yang berstandar tinggi.

Tantangan Bagi indonesia
AFTA bagi Indonesia adalah pisau bermata ganda. Selain meberikan keuntungan yang besar tetapi dapat pula mencengkeram dan memeras tanpa henti hingga akan berbalik memberikan kerugian jika ditangani tanpa maksimal dan dukungan penuh oleh setiap pihak yang berpengaruh di dalamnya. Sehingga perlu ditekankan kembali agar setiap kebijakan ekonomi ke depan dapat selalu dijalankan pada peningkatan daya saing dengan memperhatikan ketahanan ekonomi nasional. Ada beberapa tantangan besar yang harus siap dihadapi Indonesia dalam AFTA, yaitu :
1. Perekonomian yang terbuka tanpa pengenaan tarif akan menimbulkan ketergantungan antar berbagai kekuatan ekonomi di kawasan sehingga berpengaruh pada perekonomian domestik Indonesia, sehingga perlu di waspadai terutama investor-investor asing, sebab dapat terlihat bahwa Indonesia telah memiliki sejarah yang buruk dengan beberapa para investor, dimana kekayaan alam Indonesia terus dikeruk oleh mereka dan Indonesia tinggal menerima ampasnya saja.
2. Dari beberapa aspek, Indonesia tidak dapat berharap lebih terhadap AFTA, dimana keunggulan komparatif yang rendah terlihat dari kemiripan produk-produk ekspor andalan di antara sesama anggota AFTA, sehingga Indonesia diharuskan menciptakan terobosan di bidang perdagangan dengan maksimal dan spektakuler.
3. APEC sebenarnya telah cukup lebih memberikn manfaat bagi Indonesia dari pada AFTA sebab dengan partner-parner yang lebih luas dan beragam yang bersifat global, akan lebih memperluas pangsa pasar bagi produk Indonesia, tetapi bukan berarti Indonesia mesti meninggalkan AFTA sebab bentuk afta yang lebih meregional seperti Uni Eropa akan lebih mempermudah kontrol pemasaran bagi produk Indonesia, sehingga yang kiranya perlu dilakukan adalah menyiasati agar lahan yang sebenarnya menjanjikan tersebut dapat bermanfaat seoptimal mungkin bagi perekonomian nasional.
4. Dilihat dari hal investasi, AFTA menjadi penting bagi Indonesia untuk menarik modal yang keluar dari indonesia yang terjadi selama periode krisis ekonomi. Sehingga perlu menciptakan suasana kondusif di dalam negeri, dan Indonesia juga perlu semakin aktif melakukan promosi keluar. Meski secara alami bahwa faktor kekayaan alam yang melimpah serta jumlah pasar yang besar (210 juta orang) akan memposisikan Indonesia sebagai lahan subur bagi investasi, namun diketahui bahwa investasi selalu bergerak berdasarkan keuntungan dari pendapatan. Maka perlu diingat bahwa negara-negara lain akan mudah merebut pasar Indonesia jika Indonesia tidak jeli menangkap peluang yang ada.

Sebagai penutup, Indonesia untuk menciptakan angannya untuk mencapai kekuatan ekonomi yang besar di kawan Asia Tenggara dengan dukungan sumber daya alam melimpah dan sumber daya manusia yang besar masih membutuhkan kerja keras dan kecerdasan ekstra, agar tidak hanya terlena dengan angan keuntungan yang ada di depan mata tetapi dapat pula memaksimalkan limpahan karunia tuhan yang ada di wilayah domestik.

Selasa, 10 Januari 2012

Indonesia di Era Sistem Demokrasi Pancasila (1966-1998)



Demokrasi pancasila dimulai dari orde baru yang dicikal bakali oleh salah satu kejadian sejarah penting yaitu super semar yang merupakan surat dari Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil tindakan kepemerintahan Negara Republik Indonesia, dengan salah satu tugasnya mengbubarkan PKI dengan ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret 1966. Yang akhirnya memberi gelar kepada Soeharto sebagai pahlawan revolusi dan mempermudah jalannya menjadi Presiden Indonesia setelah ditunjuk oleh A. H. Nasution tanggal 12 Maret 1967 pada sidang istemewa MPRS, setahun kemudian.

Awal pelaksanaan sistem demokrasi pancasila dilakukan sebuah penyederhanaan sistem kepartaian. Kemudian muncul lah kekuatan yang dominan yaitu golongan karya (Golkar) dan ABRI. Pemilu berjalan secara periodik sesuai dengan mekanisme, meskipun di sana-sini masih banyak kekurangan dan masih diwarnai adanya intrik-intrik politik tertentu.

Soeharto dilantik secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pelantikannya secara berturut-turut tidak lepas dari kebijakan represifnya yang menekan rakyat agar memilih Partai Golongan Karya yang berkuasa ketika itu, ketimbang memilih partai oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Persatuan Pembangunan. Fakta membuktikan bahwa paling kurang 80% rakyat Indonesia dalam tiap pemilu selalu mencoblos Partai Golongan Karya. Barangsiapa yang ketahuan memilih kedua partai itu akan dipecat dari pekerjaannya, dipenjarakan, atau bahkan yang paling buruk akan dihilangkan secara paksa demi kelanggengan kekuasaan Cendana.

Kemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan sipil, karena Golkar sangat dominan, sementara partai-partai lain berada di bawah kontrol pemerintah. Kemenangan Golkar ini mengantarkan Golkar menjadi partai hegemoni yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim orde baru untuk mendominasi semua proses sosial dan politik.

Partai politik dan media massa pada mulanya diberi kebebasan untuk melancarkan kritik dengan mengungkapkan realita dalam masyarakat. Sejalan akan makna demokrasi pancasila sebagai sistem pemerintahan yang mengacu pada suatu pemerintahan dari rakyat yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, dan mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan. Namun sejak dibentuknya format yang baru dituangkan dalam UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tahun 1969 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD menggiring masyarakat Indonesia ke arah otoritarian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pengisian seperti anggota MPR dan seperlima anggota DPR dilakukan melalui pengangkatan secara langsung oleh Presiden tanpa melalui Pemilu. Hal ini dimaksudkan agar terjadi stabilitas politik yang pada gilirannya akan menciptakan stabilitas keamanan sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang tidak ditangani secara serius pada masa demokrasi terpimpin.

Selama orde baru, pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan rakyat, dan media massa berada pada kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh mekanisme reccal, sementara partai politik tidak mempunyai otonomi internal. Media massa selalu dibayang-bayangi pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Sedangkan rakyat tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas sosial politik tanpa izin dari pemerintah. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang mampu melakukan kontrol dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah yang sangat dominan. Praktek demokrasi pancasila pada masa ini tidak berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, bahkan cenderung ke arah otoriatianisme atau kediktatoran.

Warga keturunan Tionghoa adalah warga yang paling merasakan sisi negatif dari pelaksanaan demokrasi pancasila dalam pemerintahan Soekarno, dimana mereka dilarang berekspresi dengan bebas. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai dilarang, hari raya Imlek dilarang dirayakan, dan Bahasa Mandarin dilarang diucapkan atau disastrakan. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

Bentuk-bentuk ketidak selarahan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tersebut terjadi akibat kegagalan tiga partai besar dalam perannya sebagai lembaga kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan tidak berfungsinya check and balance, akibat terpolanya politik kompromistis dari elite politik. Demokrasi menjadi semu. DPR tidak mencerminkan wakil rakyat yang sesungguhnya. Terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme di segala bidang kehidupan, karena kekuasaan cenderung ke arah oligarki.

Indonesia yang dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis nasional. Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan pembagunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.

Semua itu akibat berawal dari kebijakan pemerintah akan pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU No. 1-1968) dan juga melalui pinjaman luar negeri (foreing loan) dan bantuan luar negeri (foreing aid). Mengakibatkan pula kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.

Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya. Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.

Hal ini mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan, menghancurkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, etika politik, moral, hukum dasar-dasar demokrasi dan sendi-sendi keagamaan. Khususnya di bidang politik direspon oleh masyarakat melalui kelompok-kelompok penekan (pressure group) yang mengadakan berbagai macam unjuk rasa yang dipelopori oleh para pelajar, mahasiswa, dosen, dan praktisi, LSM dan politisi. Gelombang demontrasi yang menyuarakan reformasi semakin kuat dan semakin meluas. Di tengah gejolak kemarahan massa, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Sumber data penulisan :
Demokrasi Pancasila (Deskripsi Konsep Demokrasi di Indonesia pada Masa Republik Indonesia III), http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_21/ppkn203_07.htm. Terakhir di unduh pada tanggal 08 Mei 2011.

Makalah Pendidikan Pancasila. Oleh, Bang. Ares.
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung: PT Sinar Baru.

Budiardjo, Miriam. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Indonesia di Era Sistem Demokrasi Liberal (1945-1959)



Kata Demokrasi berasal dari Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi demokrasi ialah rakyat yang berkuasa. Setelah Perang Dunia ke-II, secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Di Indonesia sendiri, saat ini sistem demokrasi yang dianut adalah demokrasi berdasarkan Pancasila yang masih dalam taraf perkembangan. Dan mengenai sifat dan cirinya masih terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Dalam perkembangannya, sebelum berdasarkan pada demokrasi pancasila, Indonesia mengalami beberapa periodeisasi penerapan demokrasi yang lain, salah satunya adalah demokrasi liberal.

Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.

Di awal pelaksanaan demokrasi liberal di tandai dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi, yang merupakan ciri khas dari demokrasi liberal yaitu multi partai. Kemudiaan pemerintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.

Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multi partai secara nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemiilhan parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.

Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness. Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya, yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.

Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya.

Kebobrokan demokrasi liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary democracy is not good for revolution”. Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.

Di masa demokrasi liberal dengan bergonta-gantinya bentuk kabinet, dikenal ada 7 kabinet yang pernah terbentuk, yaitu:
a. Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951)
b. Kabinet Soekiman (27 April 1951-23 Februari 1952)
c. Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953)
d. Kabinet Ali Sastroamijoyo I ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955 )
e. Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
f. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1957)
g. Kabinet Djuanda ( 9 April 1957-10 Juli 1959 )

Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen. Sehingga banyaknya kubu yang mengakibatkan instabilitas keadaan politik, sehingga kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal oleh akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.

Selain keadaan politik yang tidak stabil, Indonesia pun di masa demokrasi liberal diserang oleh keadaan ekonomi yang kocar-kacir. Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi kondisi ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat. Ada pun faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut,
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Indonesia belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabkan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.

Dari berbagai persoalan ekonomi tersebut pemerintah pun tidak tinggal diam dan gigit jari, ada beberapa kebijakan yang sempat dicanangkan oleh pemerintah, yaitu:
1. Gunting Syafruddin yang merupakan kebijakan Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya. Yang ditujukan untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng, merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia).
3. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Ditujukan untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba merupakan sistem ekonomi yang dimana Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina. Yang ditujukan untuk memajukan ekonomi Indonesia dengan adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek), dengan tujuan untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang merupakan program di masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, di mana pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara yang bertugas merancang pembangunan jangka panjang. Akan tetapi RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot. Dan perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Serta adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan yang dilatarbelakangi oleh terjadinya ketegangan hubungan antara pusat dan daerah di masa kabinet Juanda. Sehingga dilaksanakanlah Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Dengan tujuan untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.

Dari setiap kebijakn yang telah di usahakan masih saja tetap menimbulkan ketidak senangan rakyat dan pemerintah dengan keadaan Indonesia masa itu, hingga akhirnya dikeluarkan lah dekrit presiden sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, yang menandakan akhir dari demokrasi liberal yang kemudian berganti menjadi demokrasi terpimpin di mana Indonesia berada dalam bentuk pemerintahan otoriter dengan pemusatan kebijakan ada di tangan presiden. Hingga sampai di masa orde baru (masa Soeharto) dikenallah demokrasi pancasila yang hingga kini menjadi landasan pemerintahan Indonesia.

Sumber data penulisan :
Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal Dan Terpimpin, www.alhakiki.wordpress.com/2010/01/08/pemerintahan-pada-masa-demokrasi-liberal-dan-terpimpin/. Terakhir di unduh pada tanggal 13 April 2011.

Indonesia Masa Demokrasi Liberal (1950-1959), http://rinahistory.blog.friendster.com/2008/09/indonesia-masa-demokrasi-liberal-
1950-1959/. Terakhir di unduh pada tanggal 13 April 2011.

Masa Pemerintahan Demokrasi Liberal di Indonesia, http://whatteenagersneed.blogspot.com/2011/02/masa-pemerintahan-demokrasi-liberal-di.html. Terkhir di unduh pada tanggal 13 April 2011.

Makalah Politik Hukum Di Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Hukum), Oleh Zamrowi. Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Jayabaya 2010.

DRAMA PENDIDIKAN




Pendidikan sejatinya merupakan proses belajar mengajar yang menimbulkan interaksi antara Guru/Dosen dengan para anak didiknya. Tetapi apa jadinya ketika Guru/Dosen tidak ingin menerima masukan dari anak didiknya, dan seolah mentransformasikan ilmu secara tertutup? Maka yang tercipta adalah proses pembelajaran yang pasif, di mana murid seakan seperti kerbau yang dicolok hidungnya. Sehingga yang nampak di dunia pendidikan saat ini adalah keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Kaum muda, kaum yang seharusnya membangun bangsa ini, lebih banyak melakukan tindakan-tidakan yang tidak bermanfaat, seperti tawuran dan menggunakan obat-obat terlarang, akibat dari kurangnya perhatian dari pihak sekolah, disamping faktor-faktor lainnya. Padahal K.H.A. Dahlan pernah memaparkan sebuah konsep pendidikan,”bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya, kebenaran harus sama-sama dicari bukan hanya milik guru”.

Dari analisis sosial pun ditemukan banyaknya sarjana yang berkeahlian dari ilmu yang telah diperolehnya malah menjadi bagian dari penyakit masyarakat, yaitu pengangguran. Akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap tingginya kebutuhan lapangan pekerjaan. Menurut data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sampai Agustus tahun 2010, tercatat ada 961.000 sarjana yang menganggur. Mereka berasal dari 2.900 perguruan tinggi dengan berbagai disiplin ilmu. Jumlah itu meningkat dari tahun sebelumnya, yang mencapai 740.000 sarjana. Tiap tahun, ada sedikitnya 300 sarjana baru di Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata 20% jadi pengangguran. Sungguh sangat memperihatinkan.

Lebih parahnya lagi dunia pendidikan pun dijadikan lahan bisnis oleh pihak-pihak yang selalu mengejar materi duniawi. Hingga pendidikan seakan hanya untuk golongan elit, dan golongan kecil tinggal gigit jari. Anak tukang becak, kelak juga menjadi tukang becak, anak pedagang kaki lima, juga akan meneruskan pekerjaan orang tuanya. Haruskah terus seperti ini? Bukankah dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 telah menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, dan penghidupan yang layak demi kemanusiaan”. Ini menampakkan adanya ketidakberesan dalam penerapan makna UUD tersebut.

Bercermin kepada keadaan Indonesia saat ini, Indonesia yang merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi selalu saja di cap sebagai negara dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Padahal Indonesia memiliki banyak cendikiawan-cendikiawan yang lahir di berbagai bidang keilmuan. Di antaranya Dr.Choirul Anwar yang merupakan Ilmuwan teknologi yang kini bekerja di Japan Advanced Instate of Science Technology (JAIST), ada juga Dr. Ken Susanto yang memperoleh gelar doktor di bidang Applied Electronic Engineering di Tokyo of Institute Technology Medical Science dari Tahoko University dan gelar doktornya yang lain beliau peroleh di bidang pendidikan di almamater di tempatnya mengajar Universitas Waseda. Prestasi akademinya tersebut menimbulkan decak kagum negara Jepang dan Amerika Serikat.

Selain itu tokoh yang lebih hangat di bicarakan ialah si penemu planet, Johny Setiawan yang bekerja di MPIA (Instute Astromi Max Planck) yang berpusat di Jerman, belum lagi Pak Habibie serta tokoh-tokoh lainnya. Lantas mengapa negara kita Indonesia ini, masih juga disebut sebagai negara dengan sumber daya manusia rendah? Pertanyaan yang sangat miris. Para cendikiawan-cendikian tersebut mengakui salah satu faktornya adalah kurangnya kecakapan pemerintah dalam memanfaatkan dan menghargai ilmu yang beliau-beliau miliki, sehingga dengan berat hati mereka pun lebih memiliki menerapkan ilmu mereka di negara lain. Sungguh merupakan kerugian yang besar bagi Indonesia. Sedangkan UU SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003 PASAL 5 ayat 4 menyatakan bahwa, ”Setiap warga negara yang memiliki potensi kecerdesan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan yang khusus”. Sekali lagi kita kembali dikecewakan oleh kebijakan-kebijakan dari wakil-wakil kita di kursi pemerintahan.

Adapun upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut ialah negara dalam arti yang sebenarnya bertanggung jawab memajukan sistem pendidikan dengan kebijakan-kebijakan tegas dan adil bagi setiap golongan masyarakat. Serta masyarakat yang sadar akan arti penting dunia pendidikan. Karena tidakkah kita jenuh telah dijajah selama 350 tahun oleh kaum kolonial akibat kebodohan kita? Ditambah lagi dengan adanya sistem NKK/BKK di era Soeharto yang nyata-nyatanya membatasi gerak kaum intelektual yang hingga zaman reformasi sekarang ini masih saja dipertahankan hanya dengan kedok yang baru. Maka, sepatutnya kaum intelektual berpikir kritis guna memajukan pendidikan Indonesia yang semurninya demi tercapainya kelayakan pendidikan yang berkesinambungan untuk masa depan bangsa. Agar dunia pendidikan tidak sebatas sebagai lakon drama di atas panggung yang diseting oleh kaum-kaum tertentu semata. Tetapi menjadi lakon yang dapat memperlihatkan bahwa setiap tokoh adalah kunci penting terciptanya pentas yang sukses hingga akhir.

Senin, 09 Januari 2012

Masihkah Cita-cita Luhur K.H. Ahmad Dahlan Terjaga???



Lahir dari keluarga ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, Darwis muda telah memiliki bekal ilmu agama yang sangat baik untuk remaja seusianya. Serta pemahaman bahasa asing yang menunjang pergaulannya dengan para pemikir dari negara lain. Di usia yg baru menginjak 15 tahun (1883), Darwis muda telah menunaikan ibadah hajinya yang pertama, dimana dia berkenalan dan intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikirannya.

Selepas lima tahun menunaikan ibadah haji dan belajar di Mekkah, Darwis pun kembali ke Yogyakarta dan mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan yang kemudian diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Dari pergaulannya dengan para pemikir pembaharu di Mekkah sebelumnya, Ahmad Dahlan melihat bahwa ajaran Islam yang ada di tengah masyarakatnya telah mengalami kemunduran, dimana adanya penggolongan status masyarakat dan kurang diperhatikannya masyarakat miskin, sehingga Ahmad Dahlan pun memulai pergerakannya dalam melakukan pemurnian Islam.
Upaya yang dilakukan oleh K.H Ahmad Dahlan bermula dengan jalan yang tidak mudah, Beliau mendapat kecaman dari masyarakat bahkan dari keluarganya juga, yang mengganggap Beliau melakukan penyelewengan agama dan membentuk ajaran baru. Derasnya kecaman dari masyarakat membuat K.H Ahmad Dahlan pun merasa sedih hingga Beliau menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya pada tahun 1902 hingga tahun 1904.

Sepulang dari ibadah hajinya yang kedua, K.H Ahmad Dahlan semakin meneguhkan niatnya untuk melakukan pembersihan atas ajaran Islam yang telah jauh melenceng, walau kecaman tidak kunjung reda, dan fitnah-fitnah semakin mendera, K.H Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya tetap teguh menjalankan niatnya. Dan tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, K.H Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah, yang didirikan bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan.

Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H Ahmad Dahlan dalam pendidikan Muhammadiyah bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Dimana Beliau pada awal pengajarannya kepada para muridnya terus saja menjelaskan surat al-Ma’un hingga pada suatu saat salah seorang muridnya mempertanyakan hal tersebut, dan ternyata K.H Ahmad Dahlan melakukan hal tersebut agar para muridnya menghayati kandungan dari surah al- Ma’un tersebut dan mengamalkannya, dimana manusia diperintahkan untuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Dan K.H Ahmad Dahlan yang berfokus pada penggemblengan ilmu pada kaum muda, memperlihatkan bahwa kaum muda adalah pihak yang akan saat berpengaruh untuk mewujudkan perubahan pada masyarakat.

Menengok ajaran luhur yang telah diwariskan oleh K.H Ahmad Dahlan menimbulkan pertanyaan kepada kita sebagai penerus Beliau, bahwa MASIHKAH CITA-CITA LUHUR K.H AHMAD DAHLAN TERJAGA? DAN MASIKAH PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH BERPIHAK KEPADA KAUM LEMAH? Melihat bahwa zaman sekarang ini biaya untuk merasakan suasana pendidikan tidaklah murah, masyarakat mesti mengocek kantong cukup dalam, hingga tak jarang kaum muda yang seharusnya digodok dengan ilmu agar dapat menjadi penerus dan memberikan kemajuan bagi masyarakat dan negara, lebih memilih untuk bekerja serabutan demi sesuap nasib agar tetap dapat bertahan hidup. Sungguh ironis di sebuah negara dengan sumber daya alam yang melimpah.

Lalu apa yang terjadi pada dunia pendidikan Muhammadiyah? Jawabannya SAMA SAJA. Muhammadiyah yang memiliki banyak amal usaha yang salah satunya di dunia pendidikan, dari TK, SD, SMP, SMA, dan Kampus ternama, ternyata tidak dapat lepas dari penyakit tingginya biaya pendidikan, dari biaya masuk yang berjuta-juta, ditambah biaya pengembangan pendidikan yang dikenakan kepada peserta didik, bahkan biaya untuk masuk ke sekolah-sekolah unggulan dan jurusan-jurusan favorit di lembaga pendidikan Muhammadiyah membuat mata melotot ketika memandang nominal angka yang harus dikeluarkan untuk marasakan suasana pendidikan di sana, hingga bagi masyarakat yang kurang mampu seakan dari awal telah dibentengi untuk tidak bisa mengecapnya bahkan untuk beranganpun terasa tak mungkin, padahal jika dibandingkan dengan biaya di sekolah-sekolah dan kampus-kampus negeri tidak mencapai angka sebesar itu. Hingga tak jarang di tengah masyarakat muncul anggapan untuk lebih memilih menuntut ilmu di lembaga pendidikan negeri daripada di Muhammadiyah.

Maka tak hayal kita dapat merasakan bahwa harapan yang dibangun oleh K.H Ahmad Dahlan pada awal didirikannya Muhammadiyah telah kabur untuk saat ini, Muhammadiyah yang seharusnya dapat menjadi wadah alternatif untuk menuai ilmu bagi kaum lemah ternyata perlahan-lahan telah berubah arah dan menjerat mereka. Muhammadiyah seakan telah menjadi icon untuk kalangan berduit semata. Lalu bagaimana di masa yang akan datang? Kemana Kaum lemah akan melangkah? Akankah mereka dari kakek hingga cucu terus buta akan ilmu? Akankah Muhammadiyah tetap bersama mereka? Bukankah K.H. Ahmad Dahlan telah mengamanahkan kepada kita untuk terus menghidupkan Muhammadiyah (yang sebenarnya), bukan malahan menjadikan Muhammadiyah menjadi ladang mencari keuntungan (dan melupakan yang tertindas). Sungguh, jangan sampai K.H Ahmad Dahlan menangis “di sana”…